"Pakeeeet!"Aku yang saat ini tengah bersantai menonton tv, merasa terusik dengan teriakan seorang kurir dari depan rumah. "Mel, kamu belanja online?" tanya Mas Rama. Hari ini adalah hari minggu, dia tidak bekerja seperti hari-hari biasanya.Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Mas Rama, dan lebih memilih mangambil ponsel mengangkat panggilan yang masuk."Lo, mau bikin gue jadi patung di sini? Buruan, lo keluar, gue udah bawa yang lo, inginkan!" Segera aku menutup sambungan telepon, melirik pada Mas Rama yang menunggu jawaban dariku."Biar aku aja yang ambil paketnya."Mas Rama berdiri hendak keluar menemui kurir yang ternyata temanku."Jangan!" "Kenapa?" tanyanya dengan menatapku heran."Kamu pegang Raka aja, aku pegel. Biar aku yang menemui kurir itu." Aku memberikan bayi dalam gendonganku kepada Mas Rama. Ia hendak menolak, tapi tidak bisa berkutik saat Raka sudah berada dalam gendongannya.Dengan cepat aku berjalan ke luar menemui seseorang yang berdiri di luar pagar rumahk
"Ekhem!"Mas Rama datang dan menghentikan ucapan Bi Mina. "Sayang, kita jalan-jalan ke luar, yuk. Sudah lama rasanya kita tidak pergi berdua. Kamu juga pasti sumpek di rumah terus. Iya, kan?"Aku mengernyitkan kening, heran dengan sikap Mas Rama yang sering berubah-ubah. Sedikit baik, sedikit jutek. Kadang cuek, kadang romantis."Ayo, Sayang," ajaknya lagi dengan nada yang lebih lembut."Aku lagi mau makan buah, Mas. Lagipula, kalau aku pergi, siapa yang jaga Raka. Gimana kalau dia minta ASI?" kataku dengan terus memotong buah apel."Nanti lagi makan buahnya. Aku kangen banget, lho jalan-jalan sama kamu. Dan Raka, bisa dititip sama Mama, sebentar." Semakin aku menolak, Mas Rama malah semakin membujukku.Kini tangannya sudah berpindah ke tanganku. Menggenggam pergelangan tangan dengan sedikit menariknya."Yaudah, deh iya. Aku ganti baju dulu." Aku bangkit dari dudukku. Memasukkan potongan buah apel yang belum sempat aku makan ke dalam kulkas. Saat masuk ke kamarku, ternyata sudah ada
"Eh, Mama udah pulang?" tanyaku, sedangkan tanganku sibuk menggeser foto-foto Mas Rama agar berjatuhan ke tanah."Sudah, makanya sekarang Mama ada di sini. Kamu ngapain dengan pembantu itu? Terus, siapa yang tadi kamu bilang durhaka?" Pertanyaan demi pertanyaan Mama berikan padaku.Setelah memastikan tidak ada satu lembar foto yang tersisa, aku bangkit dan menghampiri Mama. Menggandeng tangan Mama Tuti untuk masuk, meninggalkan Bu Mina.Ya, setelah aku tahu jika wanita yang kusebut pembantu itu adalah ibu kandung Mas Rama, aku memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan Ibu."Itu, tadi Bi Mina menceritakan tentang sinetron yang dia tonton sebelum tidur. Katanya, ceritanya tentang anak yang durhaka kepada ibunya gitu, Ma." Aku menjelaskan dengan kebohongan."Halah, si Mina kamu percaya, Mel. Palingan juga dia ngada-ngada, mencari perhatianmu agar dekat denganmu," tutur Mama tidak suka.Aku tidak lagi menjawab. Hanya berjalan beriringan menemui suamiku. Di sofa, suamiku tengah duduk
Langkah demi langkah, aku menuruni tangga untuk sampai di lantai bawah. Senyum manis aku ukir sebagai sambutan untuk wanita yang kini berdiri dengan memegangi tas besarnya.Tatapan heran diperlihatkan suamiku kepadaku saat aku sudah berada di antara mereka."Mel, jadi benar kamu yang menghubungi yayasan untuk meminta dikirim baby sitter?" tanya Mas Rama lagi."Iya, Mas." Aku melangkah semakin mendekati wanita itu."Kamar kamu bersebelahan dengan kamar saya di lantai atas. Kamu boleh masuk ke sana sekarang. Nanti saya akan menemuimu," ujarku sambil mengedipkan mata.Wanita itu mengangguk patuh. Dengan sangat sopan, ia pamit dan naik ke lantai dua rumahku."Mel, kamu ini apa-apaan, sih. Kamu sudah tidak patuh sama aku? Kamu mau tetap kerja, iya?" cecar Mas Rama membuat telingaku berdengung.Tidak lama kemudian keluarlah Mama Tuti dan Kak Nada dari kamar mereka. Menghampiriku yang sedang diintrogasi oleh Mas Rama.Dengan masih sangat santai, aku menjatuhkan bokongku pada sofa. "Ada apa,
"Waktu Ibu, datang untuk pertama kalinya ke sini, Rama pernah membawa Nada ke sini. Bahkan, dia menginap di sini selama dua malam," tutur Bu Mina membuatku tertegun."Saat aku di rumah sakit?""Iya."Aku menutup mulutku tidak percaya."Terus, waktu pertama kamu pulang dari rumah sakit, Nada pun ke sini lagi, tapi dengan sembunyi-sembunyi. Dia menginap, dan pulang sebelum subuh."Astaga, ternyata tanda merah yang aku lihat di leher suamiku, adalah jejak bibir dari kakakku sendiri."Maaf, Ibu baru bisa bilang saat ini, karena waktu itu kamu tidak akan percaya sama Ibu. Dan Ibu pun mendapatkan ancaman dari Rama. Maaf, Nak."Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Kecurigaanku tentang kedua orang itu ternyata memang benar adanya. Mereka telah mengkhianatiku.Dengan langkah lebar aku meninggalkan Bu Mina, aku langsung berjalan dan berdiri tepat di depan pintu kamar kakakku itu. Ingin rasanya aku membuka dan melihat sedang apa mereka di dalam sana. Namun, apa aku akan kuat melihat kenyataan merek
"Bu, pintunya dikunci." Citra yang hendak masuk ke kamar Kak Nada, mengalami kesulitan karena ternyata Kak Nada mengunci pintu kamarnya."Akan aku cari kunci cadangannya," kataku lalu pergi.Sepertinya Kak Nada memang menyembunyikan sesuatu di dalam kamarnya. Itu sebabnya ia sampai mengunci kamar itu, agar tidak ada satu orang pun yang masuk ke sana.Namun, sayangnya ini adalah rumahku. Aku memiliki kunci cadangan untuk bisa masuk ke dalam sana.Setelah menemukan kunci cadangan, aku segera membawa dan memberikannya kepada Citra. Pintu berhasil terbuka, aku dan Citra pun masuk ke dalam sana.Wangi parfum menguar memenuhi ruangan ini saat pertama menginjakkan kaki. Penampakan di dalam kamar ini pun tidak serapi sebelumya. Beberapa helai pakaian Kak Nada teronggok di lantai. Juga lemari pakaian yang tidak tertutup rapat.Sepertinya tadi pagi ia bangun kesiangan, hingga tak sempat merapikan kamarnya.Kedatangan Kak Nada ke rumahku sebagai pelarian karena katanya akan dijodohkan, itu hanya
"Uang yang kamu berikan pada Ibu, diambil Tuti.""Astaghfirullah, semuanya?" Bu Mina mengangguk.Keterlaluan Mama Tuti. Padahal tadi aku sudah memberikan dia uang, jauh lebih banyak dari yang aku berikan pada Bu Mina. Benar-benar serakah."Kenapa Ibu, gak lawan?" ujarku merasa jengkel."Ibu malu, jika harus ribut di tempat umum. Biarkan saja, mungkin Tuti memang lebih membutuhkan daripada, Ibu."Ya Allah, sabar sekali Bu Mina ini. Tega sekali Mama Tuti. Sudahlah dia mengambil hak Bu Mina sejak dulu, kini pun dia masih saja menginginkan rejeki yang didapatkan adiknya ini."Oh, iya, Nak. Ibu tadi beli ini untukmu." Bu Mina mengambil kantong keresek hitam yang ia bawa tadi. Ia membukanya dan mengeluarkan isi dari dalamnya."Memang tidak mahal, tapi uang yang Ibu pakai, uang halal. Ini Ibu beli dari tabungan Ibu, yang sengaja Ibu simpan," tuturnya seraya memberikannya padaku.Aku tertegun melihat apa yang Ibu berikan padaku. Satu set pakaian bayi lengkap dengan topi dan kaus kakinya. "
Lima belas menit setelah kepergian Mas Rama, aku mulai membuka mata. Bangun dari pembaringan dan mengambil ponsel yang sedari tadi bergetar."Bu, saya lihat, tadi Bapak masuk ke kamar bawah." "Ok, sekarang aku ke sana."Aku mematikan sambungan telepon dan keluar dari kamar setelah mendengar laporan dari Citra.Aku melihat ke lantai bawah, memastikan memang tidak ada Mas Rama di sana. Dan ternyata benar, semua ruangan di lantai bawah sudah gelap. Itu artinya, tidak ada siapa-siapa, semua penghuni rumah sudah berada di kamarnya masing-masing."Di mana laptop-nya?" tanyaku setelah berada di kamar Raka.Citra mengambil laptop dari dalam lemari pakaian. Aku memang menyuruhnya untuk menyembunyikan itu, agar tidak ada yang mencurigainya.Aku membuka laptop, menyalakan layarnya untuk melihat apa yang terjadi di kamar Kak Nada. Aku juga sudah memakai headset untuk mendengarkan percakapan mereka.Benar, Mas Rama memang berada di kamar Kak Nada. Dari layar laptop, aku bisa melihat jika suamiku