Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang makan di apartemen yang ditinggali Samuel dan Arsila, namun tak mampu menghangatkan suasana antara Samuel dan Arsila.Keduanya saling diam, semenjak keributan semalam, mereka tidak saling bicara.“Masih gak mau bicara?” tanya Samuel, menatap dingin ke arah istrinya yang sedang menghabiskan sarapannya dalam diam. Sudah tiga helai roti tawar berpindah ke mulut Arsila tanpa satupun kata keluar selain gumaman halus saat menelan.Satu gelas susu rasa coklat juga hampir tandas, disantap dalam diam oleh Arsila.“Gak ada yang perlu dibicarakan,” jawab Arsila tanpa menoleh.Nada bicaranya tenang, tapi tegang seperti benang yang siap putus. Samuel hanya menghela napas berat, masih terbayang keributan semalam yang membuat mereka memutuskan tidur terpisah. Arsila kembali ke kamar lamanya, seolah seluruh ikatan suami istri itu kini hanya formalitas belaka.“Oh begitu. Kamu yakin gak ada yang mau dibicarakan?” tanya Samuel.“Yakin.”“Aku tanya se
“Harus seperti apa aku katakan padamu?” tanya Samuel dengan suara menekan. Malam itu dingin, tapi kabin mobil mereka panas oleh emosi yang meletup-letup. Suasana hening di antara mereka sebelumnya kini pecah oleh nada tinggi dan sorot mata yang membara.“Aku hanya ingin hidup normal, Samuel,” jawab Arsila pelan, matanya memerah menahan tangis.Samuel menoleh cepat, menatapnya tajam. Sorot matanya berubah, seperti bara yang baru saja di sulut bensin. Rahangnya mengeras, nafasnya mulai tidak beraturan. Kemarahan yang tidak bisa dikendalikan.“Jadi selama ini kau hidup tidak normal? Kau gila? Apa maksudmu?” desis Samuel seperti mendesisnya ular sebelum menyengat.Tatapan Samuel sekarang benar-benar menakutkan. Mata itu memerah, penuh amarah, dan bagi Arsila—itu adalah hal yang paling dia takuti. Tatapan itu pernah hadir sebelumnya, dan sejak saat itu, dia tahu bahwa ketika Samuel seperti ini, tidak ada kata yang bisa menjangkau hatinya.Arsila menunduk, tapi dadanya bergetar hebat. Ketak
“Tapi, kamu belum makan, Samuel,” ujar Mutia Nugraha dengan nada lembut yang dibuat-buat, matanya menatap piring di depan putranya yang masih utuh. Hidangan istimewa yang dimasaknya sendiri—sup asparagus dan steak sapi lada hitam—bahkan belum tersentuh sama sekali oleh Samuel.Namun Samuel hanya menatapnya sekilas. Tanpa sepatah kata, ia berdiri dan menggenggam tangan Arsila dengan erat. “Kami akan pulang. Selera makanku sudah hilang.”Ruangan itu mendadak sunyi. Semua yang hadir di ruang makan keluarga Nugraha terdiam dalam keterkejutan. Baru saja mereka duduk bersama untuk memulai makan malam keluarga—rencana yang sudah diatur dengan matang oleh Mutia—dan kini Samuel sudah ingin pergi? Begitu cepat perubahan suasana hatinya.Deni Nugraha, sang kepala keluarga, menatap putranya dengan tajam. “Samuel, kau tidak menghargai keluarga ini lagi. Makan malam seperti ini jarang kita lakukan, karena kesibukan kita masing-masing. Saat ada waktu, kau malah merusak suasana.”Samuel menoleh, soro
“Lima belas menit lagi aku jemput. Kita ke rumah Papa dan Mama,” ujar Samuel tanpa basa-basi di ujung telepon ketika Arsila menjawab panggilannya.“Apa? Untuk apa?” tanya Arsila refleks, namun hanya hening yang menjawab.Tut!Sambungan terputus. Begitulah Samuel. Dingin. Tegas. Dan selalu berbicara seperlunya.Arsila menatap layar ponsel yang kini gelap. Dia mendengus pelan. “Lima belas menit? Astaga! Kalau aku memakai pakaian biasa saja, nanti dikatain lagi. Dibilang nggak tahu diri lah, nggak bisa menyesuaikan diri lah...”Dengan langkah tergesa, ia berlari menuju kamar. Dressers dibuka, hanger-hanger baju berjatuhan saat ia mencari pakaian yang pantas. Artikel tentang Jusman Group yang belum sempat dia baca kembali terabaikan begitu saja. Dia hampir menemukan petunjuk tentang masa lalunya yang hilang, tentang koneksi antara dirinya dan perusahaan besar itu—namun demi ‘beruang kutub’ yang entah kenapa kini suaminya, semuanya harus disingkirkan.Samuel tidak suka menunggu. Itu sudah
Sementara itu, di lain tempat, waktu dan kesempatan…Suasana diluar begitu terang, langit tampak biru, awan putih seolah menggantung. Namun, di sebuah kamar bernuansa elegan justru terasa panas oleh kegelisahan yang membara.Viola mondar-mandir tak henti di dalam ruangannya. Langkah kakinya yang teratur nyaris tidak bersuara, namun gemuruh dalam dadanya tak bisa disembunyikan. Di tangannya, dia menggenggam erat ponselnya, disaat ada sebuah foto—dirinya dan Samuel, tersenyum dalam balutan suasana bahagia. Gambar itu seperti menyayat perasaannya setiap kali ia menatapnya lebih lama.Itu foto dia dan Samuel ketika keduanya berlibur ke Eropa, lima tahun lalu. Hubungan mereka masih hangat, Samuel belum menyadari kalau dia telah dikhianati.“Samuel, benarkah kau mencintainya?” tanya Viola dengan senyuman miring, nyaris seperti gumaman pada diri sendiri.Wajahnya menegang. Matanya memerah menahan marah. Beberapa tahun ini dia merasa telah menang, Samuel masih menyendiri dan begitu terpuruk d
“Arsila!” seru Samuel, kali ini lebih keras.Arsila tersentak. Tubuhnya terlonjak seperti orang yang baru saja dibangunkan dari tidur panjang. Tatapannya kosong sejenak, sebelum tangannya mulai bergerak refleks, menggaruk lengan dan tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Tubuhnya menggeliat seolah dipenuhi semut. Dia menyamarkan kekacauan dalam pikirannya dengan gerakan yang dibuat-buat.Dia tersadar kalau dia telah membuat Samuel waspada dan curiga. Dia tidak mau Samuel berpikir aneh tentangnya.“Aku... aku sepertinya salah makan,” katanya tergagap, sambil terus menggaruk kepalanya seperti seekor monyet yang tak sabar. “Badanku nggak nyaman, gatal, panas... dan aku susah bernapas. Maaf.”“Kamu ada alergi?” tanya Samuel.“Aku tidak tahu. Tapi, ini sangat tidak nyaman,” jawabnya terus menggaruk-garuk seperti tingkah seekor monyet.Sementara itu, jantungnya berdenyut kencang, matanya melirik ke arah Samuel. Dia tahu, jika Samuel tahu alasan sebenarnya kenapa dia begitu terguncang setel