Terperangkap dalam bayang-bayang pria yang seharusnya hanya asing baginya, Arsila mendapati dirinya terikat oleh Samuel—bukan sekadar sebagai pembantu, tetapi sebagai obsesi yang tak terhindarkan. Sentuhan yang terlalu lama, tatapan yang menuntut lebih, hingga sebuah gairah tak tertahan. Mereka seolah tenggelam dalam permainan berbahaya, di mana batas antara keinginan dan kendali semakin kabur. Dan dalam jeratan itu, Arsila mulai bertanya-tanya: apakah ia masih memiliki dirinya, atau telah menjadi milik Samuel sepenuhnya?
View More“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”
Arsila mengernyitkan keningnya kala nomor Rio, sang tunangan yang dijodohkan dengannya 6 bulan lalu, tidak dapat hubungi sejak tadi. Belum lagi, sahabat Rio mengatakan jika pria itu menghilang tanpa pamit. Padahal, Rio seharusnya tidak pergi kemana-mana karena besok adalah hari pernikahan mereka.
Arsila menatap keluar jendela ada perasaan yang aneh yang menggantung di hatinya, meskipun dia sendiri bingung mendeskripsikannya.
Kembali gadis itu mencoba menghubungi nomor Rio sekali lagi. Sama. Suara operator. Lagi-lagi.
Haus, Arsila melangkah pelan di lorong rumah besar keluarga Jusman dan hendak menuju dapur.
Namun anehnya, ketika melewati kamar adik tirinya yang masih kuliah, ada suara desahan terdengar dari sana.
“Auuh, Sayang….."
Deg!
Jantung Arsila berdetak kencang. Kali ini, desahan pria.
Meskipun belum lama bersama dengan Rio, tapi Arsila bisa mengenali suara calon suaminya itu.
“Ah, sayang… kamu nanti gak boleh seperti ini sama Arsila ya,” ujar Anila di sela-sela desahannya.
“Iya, Sayang. Ini kan semua demi kita.”
“Tapi, aku cemburu melihat kamu dengannya,” rengek sang adik tiri, "kenapa kamu gak nikahin aku aja sih?"
“Sayang, aku menikah dengan Arsila untuk menguasai hartanya. Bukankah papa tirimu itu mewariskan semua hartanya kepada Arsila? Jadi, aku harus menikah dengannya, menguasai hartanya dan menyingkirkannya. Barulah kita menikah,” jawab Rio.
Tubuh Arsila gemetar.
Pantas saja, Rio mendesaknya untuk segera menikah. Jika bukan karena tekanan keluarga dan harapan akan kisah cinta yang tumbuh setelah akad, Arsila tak akan menerimanya!
Tidak bisa lagi mendengar lebih banyak, Arsila membuka pintu tesebut.
Braak!
“Kalian…!” teriaknya. Namun, dia idak mampu lagi melanjutkannya. Hatinya kini begitu sakit melihat pemandangan Rio dan Anila.
Kedua pengkhianat itu buru-buru menarik selimut dan memakai pakaian mereka.
Wajah keduanya pucat, tapi anehnya mata Anila tampak penuh kemenangan?
“Arsila, ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelaskan,” jawab Rio membela diri. Dia segera turun dari ranjang setelah mengenakan pakaiannya dan mendekati Arsila.
“Apa yang perlu kau jelaskan? Semuanya sudah jelas!”
“Arsila, mohon dengarkan aku. Ini tidak seperti pikiranmu,” ucap Rio lagi berusaha meraih tangan Arsila, namun Arsila menepisnya dengan kasar.
Plak!
Arsila menampar Rio, membuat ekspresi pria itu langsung berubah merah padam. “Arsila, kau menamparku?”
“Kenapa? Kau pantas mendapatkannya!” jawab Arsila.
Rio memegang wajahnya sambil tersenyum miring. “Ternyata seperti ini sifatmu. Kasar. Kau sangat berbeda dengan Anila.”
“Kau—“
“Ya! Aku dan Anila memang saling mencintai. Lalu kenapa?” potong Rio cepat.
Begitu juga dengan Anila yang tersenyum penuh kemenangan ke arah Arsila. Adik tiri yang selalu iri dengan Arsila, selalu berusaha memiliki apa yang Arsila miliki.
Padahal dia hanyalah anak tiri yang dibawa ibunya ketika menikah dengan Papa Arsila, sepuluh tahun lalu.
Namun, Arsila menahan diri. Tapi, lihatlah apa yang dilakukannya?
“Arsila, ada apa ini?” tanya suara wanita yang datang dengan tergesa-gesa mendengar keributan itu, ternyata itu adalah ibu tirinya, Mirna.
Arsila menoleh. “Rio dan Anila selingkuh,” jawabnya.
Mirna mengernyit. “Ah paling mereka hanya mengobrol, kau jangan asal menuduh,” ucapnya santai, tidak terkejut.
“Lihatlah, Ma. Mereka sedang berduaan.”
“Ya ampun Arsila, tidak selalu berduaan itu selingkuh. Mereka ini calon kakak dan adik ipar loh. Masa kau gak percaya,” jawab Mirna.
“Tanpa pakaian, apa itu wajar?” tanya Arsila sambil menggeleng pelan.
“Kau itu selalu saja tidak suka kepada Anila. Kau juga bukan wanita suci, kan?” tanya Mirna. “Kau juga berselingkuh, Arsila. Kau sudah tidak perawan, jangan pikir aku tidak tahu.”
“Apa maksud mama?“
“Sudahlah, Arsila. Toh, besok kau juga menikah dengan Rio. Jangan dipermasalahkan hal yang kecil seperti ini,” potong Mirna dengan cepat.
Arsila menggeleng, dia menatap ke arah Anila dan Rio yang kini sudah mengenakan kembali pakaiannya seperti semula. “Tidak ada pernikahan besok! Pernikahan batal!”
“Arsila, kau tidak bisa membatalkan pernikahan kita!” bentak Rio.
“Kenapa? Kau takut jatuh miskin?” tanya Arsila mengejek.
“Pokoknya pernikahan tetap dilakukan, kau tidak bisa membatalkannya!” balas Rio.
Begitu juga dengan Mirna dan Anila, mereka tidak terima Arsila membatalkan pernikahan dengan Rio.
Karena itu bisa merusak rencana yang telah mereka susun selama ini.
“Arsila! Jangan gila. Pernikahan harus dilaksanakan besok. Undangan sudah disebar. Wartawan sudah bersiap, jangan mempersulit keadaan!” teriak Mirna dengan penuh emosi.
“Aku tidak peduli!”
“Kau…” Mirna tampak mengangkat tangannya ingin menampar, tapi diurungkannya begitu menyadari
Hario Jusman, ayah kandung Arsila tampak di depan ruangan.“Ada apa ini ribut-ribut?” tanyanya.
“Pa, lihatlah. Arsila ingin membatalkan pernikahannya besok,” jawab Mirna yang langsung mendekat ke arah sang suami.
“Batal? Ada apa?”
“Dia menuduh Rio dan Anila selingkuh, Pa. Padahal dia sendiri yang selingkuh sebenarnya!” ucap Mirna cepat.
“Bahkan sampai tidur dengan lelaki lain,” sambung Mirna setengah bergumam, tapi semua masih bisa mendengarnya.
Hario mengernyit, menatap Arsila yang sudah berlinang air mata.
“Arsila?”
“Pa, aku tidak mau menikah dengan Rio,” jawab Arsila pilu.
Hario menggelengkan kepalanya, tidak terbayangkan kalau acara pernikahan ini batal, semua persiapan sudah seratus persen. Bagaimana reputasi keluarga Jusman kalau pernikahan ini batal?
“Arsila, sudah Mama katakan. Kamu jangan membuatnya menjadi sulit, kamu yang berselingkuh malah menuduh Rio dan Anila. Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” tanya Mirna dengan suara lembut yang dibuat-buat.
Hario tampak mengernyitkan keningnya, dia masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tapi, matanya tetap menatap kearah Rio dan Anila, anak tirinya.
“Arsila, jelaskan pada papa,” ujar Hario, kali ini dia menatap Arsila.
“Pa, aku memergoki mereka sedang—“
“Maafkan saya atas keributan ini, Pa.” Arsila belum menyelesaikan kata-katanya, tapi Rio melangkah maju memotong pembicaraan Arsila sambil menatap Hario dengan wajah sedih yang dibuat-buat.
“Arsila tidak ingin melanjutkan pernikahan kami, Pa. Karena, Arsila mencintai lelaki lain,” lanjutnya menunduk.
Sontak saja jawaban Rio itu membuat Arsila terkejut bukan main, dia tidak menyangka kalau lelaki itu sangatlah licik. Dan sekarang dia membalikkan fakta.
“Kau…” ucap Arsila sambil menggeleng.
“Arsila ingin menutupi fakta itu, Pa. Dia mencari kambing hitam dan menuduh Rio dan Anila berselingkuh. Dia melabrak Anila di tengah malam begini, padahal mereka tidak memiliki hubungan apa-apa,” sambung Mirna.
“Iya, seperti itu, Pa,” jawab Rio menunduk.
Anila dan Mirna tampak tersenyum penuh kemenangan.
“Pa, dia berbohong…” ujar Arsila lah, dadanya bergemuruh hingga tidak ada kata-kata yang bisa diteruskan.
Hario tampak kembali menatap Rio dan Anila bergantian, seolah sedang mencari siapa yang salah dan siapa yang benar.
Mirna kembali membuka suaranya.
“Mama punya video Arsila dengan lelaki lain, Pa. Mama sudah berusaha menutupinya, tapi sepertinya hubungan Arsila dengannya sudah terlalu jauh,” ujar Mirna menunjukkan ponselnya kepada Hario.
Hario menerima ponsel itu, tangannya mengepal saat melihat tayangan disana. Entah video seperti apa yang telah mereka siapkan.
Anila berpura-pura menangis. “Pa, mungkin karena aku hanyalah adik tirinya, jadi Kak Arsila sangat membenciku, sehingga dia tega menuduh aku berselingkuh dengan tunangannya… huhuhu…”
Arsila menggelengkan kepalanya melihat sandiwara mereka yang begitu mulus.
“Selama ini, Kak Arsila memang tidak pernah menyukaiku. Padahal aku tidak pernah menganggapnya orang lain, aku tulus menganggap dia kakakku,” sambung Anila sambil mengelap ingusnya.
“Pa…” panggil Arsila.
“Arsila, mengaku saja. Semua sudah seperti ini, yang penting Rio masih mau menikah denganmu. Lupakan lelaki itu, kalian lanjutkan pernikahan,” sambung Mirna.
“Iya, aku bersedia memaafkanmu. Kita lupakan saja kejadian malam ini, aku tulus mencintaimu, Arsila,” jawab Rio.
Arsila menggeleng, rasanya dia sangat muak mendengarnya. Kini, dia diserang oleh tiga orang. Semuanya memojokkannya, tidak ada yang membelanya. Bahkan ayahnya sendiri sepertinya tidak mempercayainya.
“Tidak…” jawab Arsila menggeleng.
“Pernikahan tidak bisa dibatalkan!” jawab Hario dengan wajah dingin.
“Tapi, Pa—”
“CUKUP, Arsila! Masih untung Rio mau menerimamu!” bentak Hario. Suaranya menggelegar, membuat semua orang terdiam, "Bukti ini sudah jelas. Jika kau masih tetap ingin membatalkan pernikahan ini. Mulai hari ini, kau bukan lagi bagian dari keluarga Jusman. Papa akan menghapus namamu dari ahli waris!”
“Pa…” panggil Arsila lagi.
“Silakan tinggalkan rumah ini sekarang!”
Suasana di ruang tamu kediaman keluarga Nugraha malam itu terasa jauh lebih dingin dari suhu AC yang menyala. Mutia Nugraha berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada, wajahnya penuh dengan kejengkelan dan tatapan tidak percaya yang menusuk ke arah suaminya.“Apa? Papa percaya pada Arsila?” tanya Mutia dengan suara meninggi, nyaris seperti teriakan.Deni Nugraha duduk santai di kursi favoritnya, masih mengenakan jas yang belum sempat dilepas sejak pulang dari kantor. Ia hanya menatap Mutia dengan pandangan tenang, seolah ledakan emosi sang istri tidak menggoyahkan tekadnya sedikit pun.“Iya,” jawab Deni pendek, tapi penuh tekanan.Mutia melangkah maju, wajahnya memerah. “Pa, tentu saja Samuel membela Arsila! Dia itu suaminya! Dia sudah dibutakan cinta! Dan Papa... Papa gak boleh percaya begitu saja hanya karena pengakuan anakmu sendiri!”Deni menghela napas, lalu menegakkan tubuhnya. “Justru karena aku melihat penjelasan Samuel sangat masuk akal, Mom. Selama ini aku hanya men
Suasana di ruang komisaris utama Nugraha Group terasa tegang, meskipun hanya ada dua orang di sana: Deni Nugraha dan putranya, Samuel. Cahaya dari jendela besar memantulkan bayangan kota Jakarta yang sibuk, tapi di dalam ruangan itu, waktu seakan berhenti.Deni duduk dengan kedua tangan saling mengunci di atas meja. Tatapan matanya tajam, namun kali ini bukan karena marah, melainkan karena kebingungan."Samuel," ucap Deni dengan nada berat, “jelaskan pada Papa, sebenarnya apa yang terjadi dengan Arsila? Papa bingung melihat berita yang silih berganti tentangnya. Apa memang dia seburuk itu, atau sebenarnya dia sedang melawan seseorang?”Samuel yang duduk di seberangnya sempat terdiam. Sejujurnya, ia tidak menyangka ayahnya akan bertanya seperti ini. Panggilan mendadak dari Deni membuatnya berpikir bahwa pertemuan ini sekadar ajakan untuk kembali bekerja di Nugraha Group, bukan membahas sang istri.“Semua berita itu fitnah, Pa,” jawab Samuel pelan tapi pasti. “Disebarkan oleh mantan ibu
Keesokan harinya…Pagi di rumah keluarga Samuel dan Arsila berjalan seperti biasa. Juang bersiap untuk kelas bermainnya, sementara Samuel dan Arsila sarapan di taman belakang rumah.Namun, suasana tenang itu runtuh seketika ketika Eny, sekretaris pribadi Arsila, menelepon dengan suara panik.“Bu, mohon maaf... barusan ada berita tentang Ibu Mirna di headline beberapa portal besar,” katanya tergesa.Arsila mendadak terdiam. Samuel yang melihat perubahan raut wajah istrinya segera mengambil ponsel di meja. Hanya butuh beberapa detik untuk menemukan berita itu:"Mantan Istri Almarhum Jusman Dituding Diusir Secara Paksa: 'Saya Disingkirkan oleh Anak Tiri Sendiri' – Mirna Buka Suara!"Berita itu disertai foto Mirna dengan wajah pilu, duduk di sebuah rumah kecil dan sederhana. Narasi dalam artikel itu membangun simpati: menyebut Mirna telah hidup bersama Tuan Jusman selama lebih dari satu dekade, namun kemudian diusir tanpa diberikan hak apa pun. Disebut juga bahwa Arsila memaksa semua pemb
Pagi itu, suasana rumah keluarga Jusman terasa lengang, meski angin lembut dari halaman membawa aroma bunga kamboja yang segar. Arsila duduk di ruang tamu sambil memandangi sekeliling. Matanya menyisir setiap sudut rumah, mengamati harta benda yang menyimpan sejarah keluarganya.Kenangan tentang ibunya—wanita yang begitu kuat dan lembut—masih tertinggal dalam setiap perabotan tua, lukisan klasik, dan semua barang-barang yang ada di ruangan itu.Tiba-tiba, langkah kaki pelan terdengar mendekat. Bi Wati, pembantu setia yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Jusman, datang sambil membawa nampan berisi teh hangat dan juga beberapa makanan ringan.“Bi,” panggil Arsila pelan.“Iya, Nyonya?” sahut Bi Wati sambil meletakkan cangkir di meja.“Apa Bibi tahu ada berapa banyak barangnya Mirna di rumah ini?” tanya Arsila, menatap lurus ke mata Bi Wati.Bi Wati adalah pembangu yang paling lama bekerja di keluarga Jusman, bahkan sejak ibu kandung Arsila masih muda. Dan pastinya beliau tahu
Awan-awan tipis menggantung di langit biru saat mentari akhir pekan menebar sinarnya ke halaman rumah keluarga kecil itu. Aroma rumput basah dan suara gemericik air kolam renang menjadi simfoni tenang yang membelai jiwa.Hari ini, Arsila memilih untuk tidak pergi ke mana-mana. Ia hanya ingin menikmati kebersamaan dengan keluarga kecilnya tanpa gangguan siapa pun. Dunia luar, dengan segala keributan dan drama, ditinggalkannya sejenak di luar pagar."Yakin gak mau main di luar?" tanya Samuel, muncul dari dalam rumah dengan dua cangkir—kopi hangat untuk dirinya, dan susu untuk Juang.Ia sudah siap dengan celana renang, handuk terlilit di leher, dan semangat yang tak kalah dengan anak kecil."Yakin. Aku ingin menghabiskan waktu di rumah saja. Dan jujur, justru momen kayak gini lebih terasa ‘feel’-nya, main sama Juang," jawab Arsila, mengenakan bathrobe dengan rambut masih digulung handuk.Samuel tersenyum. “Aku juga ngerasa lelah banget. Akhir-akhir ini, banyak kejadian yang nguras energ
Mentari sore perlahan tenggelam di ufuk barat, menebarkan semburat oranye di langit kota yang mulai meredup. Di teras depan rumah keluarga kecil itu, tawa kecil Juang terdengar renyah saat Samuel melemparkan mainan balok-balokan ke udara. Keduanya tampak larut dalam momen yang sederhana tapi berharga. Namun tawa itu segera mereda begitu Arsila melangkah masuk ke pekarangan, dengan langkah yang tak biasa, setelah turun dari mobilnya.Langkahnya pelan. Raut wajahnya lelah. Matanya menatap kosong ke depan seolah membawa beban yang tidak ringan."Hai anak Mama yang ganteng. Lagi main apa sama Papa?" tanya Arsila menatap Juang.Samuel menyambutnya dengan senyum yang sedikit menurun. Ia bisa merasakan sesuatu yang salah. Ia segera berdiri dan menghampiri sang istri, membiarkan Juang bermain sendiri di teras."Kamu sudah pulang?" tanya Arsila membalas pelukan Samuel."Iya, baru sekitar tiga puluh menit, Juang langsung ngajak main.""Oke."“Kenapa? Kamu terlihat begitu lesu?” tanya Samuel le
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments