“Juang Angkasa…”Suara dari pengeras suara apotek itu menggema, menembus kegaduhan ringan di ruang tunggu. Itu nama yang tak biasa—unik, penuh makna. Nama itu adalah harapan dan kekuatan, namun saat ini terasa seperti bunyi yang menghentak dada Arsila."Juang Angkasa..." kembali nama itu dipanggil.Obat Juang sudah siap. Tapi Arsila masih mematung.Pandangan matanya terpaku pada layar televisi di dinding sana, meski kini hanya menampilkan iklan sabun. Kilasan berita yang tayang sebelumnya belum bisa dia enyahkan dari pikirannya. Samuel mengundurkan diri. Dari semua hal yang mungkin terjadi, itu bukan yang dia bayangkan.Padahal, seharusnya dia tidak perlu mengkhawatirkan itu. Tapi, entah mengapa dia tidak bisa mengabaikannya.“Arsila, biar Ibu yang ambil obatnya,” suara Bu Liana menyentak lamunannya.Karena sudah tiga kali nama Juang dipanggil, akhirnya bu Liana yang bergerak maju untuk mengambil obat Juang.Tapi Arsila tetap diam. Sorot matanya kosong, seakan jiwanya belum kembali ke
"Yang ini selesai," ucap Arsila.Panas mentari siang itu tak menyurutkan semangat Arsila yang sedang menyusun rak susu di minimarket. Tangannya sigap bekerja, wajahnya berkeringat namun tetap tersenyum. Pekerjaan ini mungkin sederhana bagi banyak orang, tapi bagi Arsila, setiap detik di balik seragam minimarket ini adalah pembuktian bahwa dia mampu berdiri di atas kakinya sendiri.Jika dulu dia adalah bos, kini dia belajar menjadi bawahan. Belajar mengumpulkan uang dari gaji yang mungkin tidak seberapa. Sudah tiga bulan berlalu sejak kelahiran Juang, buah hati yang dia lahirkan dengan tangis dan harapan. Juang adalah segalanya. Hidupnya. Jiwanya. Bahkan nafasnya. Dan meskipun Bu Liana berkali-kali memintanya berhenti bekerja dan cukup merawat Juang di rumah, Arsila tetap memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Bukan karena dia tidak percaya Bu Liana, tapi karena dia tak ingin selamanya menjadi beban.Dan kini, dia menikmati pekerjaannya. Dia menikmati setiap perjuangannya menjadi or
“Samuel, kau sudah parah sepertinya,” gumam Sassy sambil menempelkan tangannya di kening Samuel, seolah dia mengatakan kalau Samuel sedang sakit.“Aku gak gila, Sassy. Arsila memang keluarga Jusman, dia adalah pewaris sah dan satu-satunya Jusman Group. Hanya saja sekarang, sedang ada sedikit masalah di Jusman Group,” jawab Samuel santai.“Kau bahkan tahu semua itu?” tanya Sassy lagi.“Iya.”Suasana ruang makan keluarga Nugraha berubah seketika. Lampu gantung yang sebelumnya menyinari meja makan dengan hangat, kini terasa seperti sorotan tajam yang menyilaukan. Diam membekukan udara. Ketegangan menggantikan keakraban. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, berdetak seperti penanda waktu yang akan segera memecah segalanya.“Apa?! Dia dari keluarga Jusman?” Mutia menatap Samuel, wajahnya menyiratkan keterkejutan dan penolakan dalam satu waktu. Beberapa detik dia hanya terdiam, seolah pikirannya sedang menafsirkan kembali kata-kata anaknya yang baru saja diucapkan.“Iya, Mom.”Deni
“Samuel, keluarga Diva ingin kita mengadakan pertemuan keluarga segera,” ujar Mutia membuka pembicaraan malam itu.“Untuk apa?” tanya Samuel cuek.“Untuk apa lagi? Ya tentunya untuk membahas rencana pernikahan kamu dengan Diva lah!” jawab Mutia tegas.Malam itu, ruang makan keluarga Nugraha terasa lebih panas daripada biasanya. Padahal, lampu kristal gantung masih memancarkan cahaya keemasan yang lembut, dan AC menyala seperti biasa. Tapi bukan suhu ruangan yang membuat semua terasa menyesakkan—melainkan suasana yang mendadak tegang setelah Mutia mengutarakan tujuan mereka berkumpul mala mini."Aku gak mau dijodohkan, Mom. Aku bukan anak kecil!" seru Samuel, suaranya keras, namun tetap menahan diri agar tidak terlalu membentak.“Kenapa sih selalu saja sibuk untuk urusan pernikahan. Bisa gak biarkan aku menentukan jalan hidupku sendiri, Mom? Menikah bukan hanya menyatukan lelaki dan perempuan, tapi perasaan. Aku hanya ingin menikah tanpa adanya perpisahan lagi,” sambung Samuel dengan te
“Leo, ke ruangan saya,” panggil Samuel melalui intercom kepada sang sekretaris.“Siap, pak.”Langit mendung sore itu seakan mencerminkan kegelisahan dalam hati Samuel. Duduk di kursi kerjanya yang megah, dia menatap kosong ke arah jendela kaca yang menampilkan pemandangan kota. Namun, yang dia lihat bukan gedung-gedung tinggi atau mobil-mobil lalu lalang, melainkan bayangan wajah seseorang yang sejak enam bulan lalu menghilang tanpa jejak—Arsila.Pintu diketuk dua kali, lalu terbuka. Leo masuk dengan raut serius.“Ada apa, Pak?” tanya Leo sedikit bingung, karena saat ini jam kerja sudah berakhir. Biasanya Samuel tidak pernah memanggilnya diluar jam kerja.“Leo, apa masih belum ada kabar dari orang-orang yang kamu utus itu? Bagaimana perkembangan pencarian mereka, sudah sampai mana?” tanya Samuel, matanya langsung menatap pria itu dalam-dalam.Bukan soal bisnis yang ingin dibahas kali ini, melainkan pencarian yang diam-diam telah menjadi obsesi. Pencarian seorang wanita yang pernah—dan
Arsila duduk di pinggir tempat tidur, memandangi Juang yang sedang terlelap di bantal kecilnya. Bayi mungil itu baru berusia beberapa minggu, tapi dunia seolah telah berubah total sejak kehadirannya. Tangis kecilnya, tawa dalam tidurnya, dan genggaman jemari mungilnya membuat semua luka dalam hati Arsila terasa lebih ringan—walau belum benar-benar sembuh.“Jagoannya Mama, kamu sangat mirip dengannya,” bisik Arsila tersenyum menatap sang anak.Di sudut ruangan, Bu Liana menyetrika baju-baju bayi sambil bersenandung pelan. Malam sudah larut, tapi bagi wanita paruh baya itu, lelah tidak pernah menjadi alasan untuk berhenti memberi cinta. Dia merasa hidupnya kini benar-benar berwarna dengan kehadiran Juang, rumah yang selama ini sepi, kini ramai dengan tangis Juang.“Bu, maaf. Aku jadi merepotkan Ibu,” ujar Arsila pelan. Suaranya serak, seperti menahan sesuatu yang telah lama terpendam. Dia menatap Bu Liana dengan sorot mata penuh rasa bersalah. Wanita itu terlalu baik padanya. Melebihi s