Satu tahun kemudian...Banyak hal telah berubah, tak hanya wajah kota yang kian ramai, tapi juga hati-hati yang dulunya keras dan tertutup, kini luluh oleh waktu dan ketulusan.Hari itu, cuaca cerah dan langit biru membentang sempurna di atas gedung Jusman Group. Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan lobi utama. Dari dalamnya keluar sosok perempuan paruh baya dengan langkah anggun dan senyum lembut—Mutia Nugraha, ibu dari Samuel, mertua dari Arsila, dan kini, seorang nenek yang begitu mencintai cucunya."Arsila, biar Mommy yang jemput Juang sekolah, ya," ucap Mutia, memasuki kantor dengan senyum lebar, menyambut sang menantu yang tengah sibuk memeriksa dokumen.Arsila mendongak dan tersenyum, wajahnya tak lagi segugup atau seragu dulu. Kini, dia perempuan yang berdiri dengan kepala tegak, diakui, dicintai oleh sang mertua."Iya, Mom. Tapi, apa nggak merepotkan?" tanyanya pelan. Bukan takut, tapi menghargai. Dia ingin sang mertua menghabiskan masa tua dengan bahagia.Mutia t
Ruang kantor Sassy di Nugraha Group siang itu diterangi cahaya matahari yang menyusup lewat tirai kayu. Aroma kopi hangat yang belum sempat disentuh memenuhi ruangan, tetapi bukan kopi itu yang mengusik ketenangan Sassy sore ini—melainkan kehadiran seseorang dari masa lalu.Viola berdiri anggun di depan mejanya, dengan blazer krem dan parfum yang terlalu mencolok untuk pertemuan "damai." Senyumnya manis, tapi tak cukup tulus untuk menipu Sassy.Setelah kepergian Samuel tadi, kini Viola yang datang. Katanya, sengaja ingin menemuinya.“Oh, kau mau apa?” tanya Sassy santai, menyandarkan punggung ke kursinya sambil menyilangkan kaki.Viola menundukkan kepala sedikit, berusaha menunjukkan ekspresi bersalah yang seolah-olah sudah dilatih di depan cermin.“Aku ingin minta maaf pada Samuel dan keluarga Nugraha atas apa yang terjadi dulu,” katanya dengan suara lirih. Tapi nada bicaranya terlalu sempurna—seperti akting murahan dalam sinetron pagi.Sassy menghela napas. Dalam pikirannya, semua
Pagi itu, suasana kantor Nugraha Group masih tenang saat langkah kaki Samuel terdengar menyusuri lorong. Tak banyak yang berubah sejak terakhir kali dia datang ke sana—hanya suasana yang terasa lebih hangat, lebih terbuka.“Pak Samuel kembali ke Nugraha?” tanya Leo, sekretaris lamanya, yang langsung berdiri dari kursinya begitu melihat Samuel datang. Wajahnya tampak terkejut namun sopan.Samuel tersenyum singkat dan menggeleng. “Nggak kok. Hanya ada janji dengan Sassy.”“Oh, saya kira kembali,” ujar Leo, tertawa kecil sambil mengantarkan Samuel menuju ruangan CEO.Samuel hanya tersenyum. Ia tidak kembali sebagai pewaris, bukan juga untuk mengambil alih apa pun. Ia hanya datang untuk urusan kerja sama antara perusahaannya dengan perusahaan keluarga. Kali ini, ia datang untuk menemui adiknya, Sassy Nugraha—sosok yang dulu sempat ia ragukan, namun kini menjadi tumpuan utama keluarga Nugraha setelah Deni memutuskan mempercayakan kepemimpinan kepada sang putri.Sesampainya di depan ruangan
“Hai Juang, ini kado dari Aunty,” ujar Sassy sambil menyodorkan kotak berbungkus kertas biru metalik. Senyum cerah terukir di wajahnya, berusaha menyembunyikan rasa kikuk yang masih menggantung akibat kejadian lalu.Deni Nugraha telah berhsasil membuat anak dan istrinya menerima kehadiran Arsila dan Juang menjadi bagian dari keluarga Nugraha. Tidak peduli lagi dengan dendam ataupun persaingan lama, kini mereka adalah satu keluarga. Juang memiliki darah keluarga Nugraha dan juga keluarga Jusman.Juang memandangi kado itu, namun tidak langsung menerimanya. Bocah kecil itu hanya melirik pada ibunya, mencari isyarat dari wajah tenang Arsila.“Bilang terima kasih sama Aunty Sassy,” ujar Arsila lembut sambil menyentuh punggung Juang.Juang menunduk, jemari mungilnya mencengkeram ujung kausnya. Suaranya cadel dan pelan saat mengucap, “Te—terima kasih.”Sassy tersenyum lebar, hatinya meleleh melihat kepolosan Juang. “Oh, so sweet. Sini peluk.”Dengan antusias, Sassy merentangkan tangannya. Ju
“Terima kasih, Pa.”Suara Arsila terdengar lirih namun penuh emosi. Matanya berkaca-kaca saat memandang Deni Nugraha, sosok yang selama ini menjadi tembok besar penghalang antara dirinya dan penerimaan yang selama ini ia harapkan. Kini pria itu berdiri di sisinya—bukan untuk menjatuhkannya, tapi untuk membelanya. Dukungan itu datang dengan nada datar dan wajah keras, namun bagi Arsila, itu lebih dari cukup.“Karena Samuel sangat mencintaimu. Dan juga, ini untuk membalas kebaikan kakekmu beberapa puluh tahun lalu,” ujar Deni dengan suara tenang, nyaris tanpa ekspresi.Ucapan itu mungkin terdengar datar bagi orang lain, tapi bagi Arsila, ada begitu banyak makna yang terkandung di baliknya. Bertahun-tahun ia menahan luka batin karena dianggap tidak layak, karena terus-menerus berada di bawah bayang-bayang masa lalu dan prasangka buruk. Kini, meski masih terselip gengsi dan keraguan, pengakuan itu telah melubangi dinding tebal yang selama ini memisahkan mereka.Arsila menunduk sejenak, me
Suasana di ruang tamu kediaman keluarga Nugraha malam itu terasa jauh lebih dingin dari suhu AC yang menyala. Mutia Nugraha berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada, wajahnya penuh dengan kejengkelan dan tatapan tidak percaya yang menusuk ke arah suaminya.“Apa? Papa percaya pada Arsila?” tanya Mutia dengan suara meninggi, nyaris seperti teriakan.Deni Nugraha duduk santai di kursi favoritnya, masih mengenakan jas yang belum sempat dilepas sejak pulang dari kantor. Ia hanya menatap Mutia dengan pandangan tenang, seolah ledakan emosi sang istri tidak menggoyahkan tekadnya sedikit pun.“Iya,” jawab Deni pendek, tapi penuh tekanan.Mutia melangkah maju, wajahnya memerah. “Pa, tentu saja Samuel membela Arsila! Dia itu suaminya! Dia sudah dibutakan cinta! Dan Papa... Papa gak boleh percaya begitu saja hanya karena pengakuan anakmu sendiri!”Deni menghela napas, lalu menegakkan tubuhnya. “Justru karena aku melihat penjelasan Samuel sangat masuk akal, Mom. Selama ini aku hanya men