Lampu sudah menyala, tautan bibir itu belum terlepas.
Lala tersentak menyadari dirinya begitu terbuai dalam pesona Glenn. Tidak terkira begitu merahnya pipi Lala dan tidak tahu harus disembunyikan di mana lagi.
“Astaga Lala tanganmu berdarah?!” Glenn kaget melihat darah di telapak tangan Lala, dan di kemejanya juga. “Kakimu juga berdarah,” serunya. Kemudian laki-laki itu pergi mengambil kotak obat.
Perih, memang perih tapi itu tidak seberapa di bandingkan ketakutan Lala. Lala kecil tidak takut gelap, sebelum dia bertemu makhluk mengerikan di kamarnya saat mati lampu. Saat itu di rumah hanya ada bi Narti dan bi Narti datang terlambat. Lala terlanjur pingsan di kamarnya. Sejak itu Lala begitu takut gelap.
“Akhh ...” Lala meringis menahan sakit. Ketika obat dalam botol itu di oleskan ke bagian lukanya.
“Sakit banget ya?” tanya Glenn begitu khawatir.
“Iya,” ucap Lala mengangguk.
“Sudah di obatin masih sakit?” tanya Glenn lagi.
Lala tertatih kembali ke kamarnya, hari ini dia bolos kuliah. Luka di kakinya masih terasa nyeri. Di depan laptop gadis itu fokus merangkai untaian kata, menyambung satu demi satu menjadikan kalimat. Terkadang terjeda sejenak karena butuh berpikir, setelah mendapat inspirasi jemari lentik itu kembali menari di atas keyboard.Sudah beberapa sinopsis berhasil ia kirimkan, dari platform lokal dulu baru merambah ke platform yang lebih besar dan banyak di kenal. Apalagi yang bisa ia lakukan selain mengandalkan kerajinannya menulis. Guru bahasanya pernah berkata Apa pun pekerjaanmu jika di tekuni dengan baik pasti mendatangkan rezeki. Bukankah kerja hannyalah cara paling indah dalam menjemput rezeki, setelah itu biarkan doa bertarung di angkasa demi merayu sang Maha pemberi rezeki.Thing.Lala membuka ponselnya. d[Sudah makan]_Glenn.Lala menatap angka di sudut atas ponselnya pukul 14.00. Astaga dirinya dari pagi baru makan roti. Tetapi ada yang aneh, t
Sepanjang perjalanan pulang, Sabila terus mendiamkannya. Semua jurus sudah di coba Glenn, tetapi tetap saja tiada guna. Mulai dari merayu, menawari barang branded, mengajak ke salon untuk perawatan, sampai ngajak nonton. Sabila tetep saja bertahan pada posisi marah. Pikirannya buntu. Glenn memutuskan mengantarnya pulang saja. Besok dia akan memikirkan cara untuk mencairkan hati beku kekasih. “Cill, aku sudah pulang? Kamu di mana?” Sebenarnya percuma saja teriak-teriak. Lala nggak bakal menyahutnya. Glenn mencari pembantu kecilnya itu, di mana lagi kalau bukan di kamar? “Enak ya, pembantuku makan gaji buta. Kerjanya di kamar, main hape, main laptop, makan, tidur!” sindir Glenn dan tanpa basa-basi langsung ngeloyor masuk dan merebahkan tubuhnya di kasur. Lala menutup laptop, sebenarnya dirinya sedang membaca kontrak untuk novelnya, tapi membaca dengan buru-buru itu sungguh tidak bagus dan memperbesar resiko kesalahan. Lala me
Pagi masih begitu dingin tapi Lala sudah terbangun, setelah buang air kecil dan cuci muka gadis itu sudah duduk di depan laptop. Ceritanya Curi start, sebelum semua rutinitasnya hari ini. Ya. Lala harus pintar membagi waktu antara, menjadi pembantu, kuliah dan kegiatan menulisnya. Sesaat dirinya melirik cangkir kopi yang masih penuh itu, “Maksudnya apa coba? Pas meminta begitu memaksa tapi akhirnya di sentuh pun tidak sama sekali, untung ganteng kalau jelek sudah pasti kusiramkan ke mukanya,” ucap Lala sebal. Lala mulai berkonsentrasi, sebagai penulis pemula dirinya menyukai hening sewaktu menulis. Karena untuk menghadirkan tulisan bagus perlu penjiwaan, dirinya tidak mengejar jumlah kata yang banyak. Menulis sedikit nggak apa-apa asalkan dirinya bisa memberi rasa nikmat untuk tulisan itu. Terutama untuk dirinya dulu. Setelah di rasa cukup, gadis itu membawa keluar kopi Glenn semalam ke dapur, baru dua langkah dari pintu kamarnya. BRAKKK!!! Tu
Serapuh hati wanita, jangan sekalipun berani menyakitinya. Asal kamu tahu, jika kau pernah menorehkan luka, maka rasa sakit itu akan kekal dan tidak mudah terhapus oleh kata maaf. Meskipun sudah terdengar kata maaf dari mulutnya. Bukan berarti dia sudah baik-baik saja. Satu hal lagi wanita itu lebih kuat dari apa pun, apalagi ketika harus menanggung luka seumur hidupnya. Jangan sekali pun kau meremehkannya, atau kau akan dibuatnya menyesal. Selesai kelas paginya Lala masih mendapati Alan menunggunya di depan gedung. Mau apa lagi dia, kalau tidak untuk memperjuangkan cintanya. Setelah bertemu dengan Glenn di mall itu. Pikiran Alan baru terbuka, dan menyesal sempat tidak mempercayai Lala. Dia menyadari jika sudah dikendalikan emosi dan mengambil keputusan salah. “La, aku ingin bicara,” ucapnya kaku. Lala menatap Alan sesaat kemudian mengangguk. Bagaimanapun dia harus menyelesaikan masalah yang sebenarnya sudah selesai sejak lama. Bahkan se
“Glenn, kamu sudah pulang?” tanya Lala berbasa-basi. Sekilas dirinya melihat raut muka Glenn yang tidak suka. “Hmm iya ... Tolong kamu simpan tas ini di kamar ya, setelah itu siapkan air hangat, dan handuk putih yang kemarin kamu cuci itu, setelah itu siapkan juga makan malam. Oya aku mau makan sup iga pake lada yang agak banyak biar pedes. Jangan lupa wortel dan kentangnya jangan terlalu matang karena aku tidak suka,” ucap Glenn dengan gaya bossy dan mengulurkan tasnya. Lala sudah paham, pasti ini semua cuma akal-akalan Glenn untuk mempermalukan dia di depan Alan. Karena biasanya tidak pernah sekalipun menyuruh membawa tasnya masuk. Meskipun Lala jengkel, apa boleh buat akhirnya Lala bangkit dan menerima tas itu. “Kalau begitu aku permisi pulang saja, La. Sepertinya kamu sangat sibuk, oiya besok pagi aku akan menjemputmu,” ucap Alan. Perasaannya mengatakan jika Glenn tidak suka dengan dirinya. Mengingat perlakuan Glenn di mall tempo hari. “Oh
Setelah mengirim pesan untuk Alan, Lala mengunci pintu dan meletakan kuncinya di atas meja dekat laptop. Lala sudah tidak peduli lagi dengan rentetan tugas yang sudah diberikan Glenn. Dirinya sudah lelah. Gadis itu berbaring dan menunggui pesan balasan dari Alan. Benar saja tak lama kemudian ponselnya bergetar. Lala tersenyum ketika mengetahui Alan membalas pesannya. [Maaf baru balas, aku baru sampai kos La, besok pagi aku jemput ya?] [Nggak usah Al, aku sudah langganan ojek purple kok. Lagi pula kalau sampai ketahuan Glenn, bisa tambah marah nanti majikanmu itu]_ balas Lala. [Majikanmu itu sudah keterlaluan La. Aku takut kamu tertekan atau dia Cuma memanfaatkan, mending kamu keluar saja cari pekerjaan lain, nanti kubantu]_Alan. [Nggak Al, lagian aku cuma dua ratus hari dan kesepakatan itu sudah hampir selesai]_Lala. [Oh ya]_Alan. [Iya, Al. Dua bulan lagi aku sudah bebas]_Lala [Syukurlah, ya sudah kamu banyak-banyak sab
“Jangan khawatir aku akan menjagamu,” ucap Glenn dalam hati, sambil mempererat pelukannya kemudian menghirup pucuk kepala Lala. Tidak tahu kenapa Glenn tiba-tiba ingin melindungi gadis dalam pelukannya itu dan tidak rela jika Lala balikan dengan Alan. Gadis ini berbeda, tidak seperti kebanyakan gadis seusianya. Bahkan dirinya terlihat mandiri dan tidak manja sama sekali. Bahkan sangat sederhana dan tidak silau dengan harta. Seperti wanita-wanita di kantornya, yang terkadang menggodanya terang-terangan tanpa tahu malu. Glenn melepaskan tubuh kecil dengan muka tersipu itu, sepertinya Lala malu, Glenn menyadari itu. “Kita makan, yuk!” ajak Glenn mencairkan suasana. Karena sepertinya Lala masih larut dalam suasana sebelumnya, sejujurnya Glennpun demikian bahkan jiwa laki-lakinya meronta ingin menandai gadis itu. Tetapi itu tidak akan terjadi, karena Sabila masih bertahta di hatinya. Kenapa Glenn sedemikian egois, sebentar lagi bahkan dia akan tunangan. Di
Lala turun dari mobil Glenn. “Nggak bilang makasih dulu, Cil?” Glenn mulai menggoda Lala lagi, pasalnya sepanjang perjalanan gadis itu hanya diam. “Terimakasih,” ucap Lala tanpa menatap Glenn sama sekali. Kemudian membiarkan mobil itu melesat pergi. Nggak tahu sejak kapan tiba-tiba Alan sudah datang menghampirinya, sepertinya laki-laki itu menunggu kedatangan Lala. “Maaf ya, Al. Soalnya tadi Glenn memaksa bareng,” ucap Lala tidak enak hati. Alann mengangguk kemudian tersenyum, “Oh, ya nggak apa-apa La,” “Eum tapi kelasku hampir dimulai, Al. Aku tidak mau terlambat,” ucap Lala sambil melihat arloji di tangannya dan sedikit bingung. Memang tadi kondisi jalan macet jadi memakan waktu lebih lama untuk sampai di kampus. “Oke, La. Kamu masuk dulu saja, kebetulan aku juga ada kelas kok, nanti kita bertemu di tempat biasa ya,” jawab Alan. Lala mengangguk kemudian menuju kelasnya dengan tergesa. Ya. Dirinya tidak boleh terlambat