Adam Ashford menikahi Laura dengan identitas barunya sebagai Keanu Royce. Hanya Laura dan Sam yang tahu bahwa Keanu Royce adalah Adam Ashford. Mereka menyimpan rahasia itu seumur hidup mereka. Demi melindungi rahasia itu, Laura memutuskan keluar dari lingkaran pertemanannya dengan para sosialita. Semakin sedikit teman yang mengenalnya, akan semakin aman bagi mereka. Laura tak mau terhubung dengan media sosial. Ia ingin hidupnya terlindungi dari mata publik dan jagat internet yang selalu penuh dengan gosip. Dia ingin melindungi sosok suaminya yang baru dari orang-orang yang mungkin memiliki niat jahat. Tak ada yang boleh tahu bahwa Adam masih hidup dalam sosok Keanu Royce. Karena itulah dia hanya mendaftarkan pernikahan resminya dengan Keanu Royce, tanpa perayaan pesta. Lagipula setiap malam bersama Adam adalah pesta baginya, suaminya itu menyentuhnya dengan penuh cinta dan mempersembahkan kepuasan yang tak tertandingi. Mereka berdua hidup bahagia dalam kedamaian dan kebahagiaan mer
“Dasar, anak sialan! Sekarang kita jadi omongan orang sekampung gara-gara laporanmu ke polisi.” “Bikin malu keluarga saja!” “Puas kamu mencoreng muka keluargamu sendiri, hah?!” Jeritan amarah bersahut-sahutan di sekitar Jelita. Semua orang menuding-nuding dirinya sambil melotot dan memakinya. Bahkan di antaranya ada yang sambil menggebrak meja dan menendang kursi. Mereka semua paman dan bibi Jelita sendiri. “Kenapa kalian membelanya?” protes Jelita seraya terisak-isak kala ingatannya terlempar kembali pada hari kejadian. Malam itu dia sedang tidur saat bapaknya tiba-tiba memasuki kamar dan menindih tubuhnya, lalu menyelipkan tangannya ke dalam pakaian Jelita. Jelita menjerit kaget, tetapi mulutnya dibungkam dan pakaiannya dirobek. Jelita melawan, tetapi dia ditampar berkali-kali hingga nyaris pingsan, bahkan bibirnya sampai berdarah. Kemudian lelaki yang seumur hidup dipanggilnya bapak itu memulai aksi cabulnya saat mengira Jelita sudah pingsan. “Dia mau memperkosaku!” Jelita men
Pertama kalinya Jelita melayani William di meja makan, lelaki itu tak banyak bicara dan tak suka diajak bicara. Jelita salah tingkah kalau dekat-dekat dengannya. Entah kenapa William kerap menatapnya dengan sorot mata mengusir. Seakan tubuhnya penuh kuman dan virus yang sangat menular.‘Beda banget dengan ibunya yang baik dan ramah. Mungkin dia menuruni sifat bapaknya,’ pikir Jelita cuma menerka-nerka, dia sendiri tak tahu seperti apa suami Nyonya Cindy sebab perempuan itu sudah lama sekali menjanda, dan tak ada satupun foto suaminya tampak terpajang di dinding rumahnya yang megah ini. Semua foto hanya menampilkan Nyonya Cindy beserta ketiga anaknya yang semua lelaki, William salah satunya.‘Apa aku bakal betah serumah dengan manusia kutub ini?’ batin Jelita sambil geleng-geleng kepala memikirkan sikap William kepadanya. Tapi dibanding tinggal di kampung ini dengan keluarga besar yang membencinya, lebih baik ikut William ke Jakarta dan menjadi asisten rumah tangganya.“Semua barang ya
William terpaksa menggandeng tangan Jelita setibanya di bandara Soekarno-Hatta. Khawatir kalau-kalau gadis itu tertinggal jauh di belakangnya lalu hilang karena kebanyakan menoleh seperti orang linglung. Kalau sampai hilang, bakal lebih merepotkan dan bikin pusing saja. Dia tak boleh lupa kalau yang dia bawa ini gadis kampung yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di bandara sebesar ini. Dua jam kemudian, mobil yang membawa mereka sampai di sebuah komplek perumahan. Jelita tertegun memandangi rumah-rumah besar di sekelilingnya. Mulutnya nyaris menganga sepanjang waktu. Ini memang bukan jenis komplek perumahan biasa, komplek ini ditinggali golongan orang-orang menengah atas, bahkan ada juga politisi dan artis ternama ibukota. “Masuk,” perintah William karena sejak tadi Jelita diam mematung saja memandangi rumahnya. Meskipun rumah William tak semegah rumah Nyonya Cindy di kampung, tetapi rumah ini terlihat cantik dan estetik. “Wah. Rumahnya Bapak bagus banget.” Rumah William me
Jelita menuruni tangga dan mencari-cari letak dapur. Tadi William sempat berpesan padanya agar tak sungkan untuk mempelajari isi rumah ini tanpa perlu izin dulu darinya. Dan gadis itu ternganga begitu menemukan ruang dapur yang sungguh apik. Beberapa perlengkapan memasak tergantung rapi dan terlihat masih seperti baru. Entah jarang dipakai atau memang karena terawat baik. Tapi ia rasa yang kedua. Jelita haus dan mengambil minum dari dalam kulkas yang pintunya dipenuhi magnet souvenir dari berbagai kota dan negara. Lalu duduk di kursi konter yang tinggi dengan bantalan empuknya yang berwarna merah. Jelita mengangguk hormat melihat William juga memasuki dapur. “Bapak suka warna merah, ya?” Jelita berkata untuk mengurai kecanggungan, sambil mengedarkan pandang mengamati aneka perabot dan furniture dapur yang didominasi warna merah, kemudian menyodori William segelas air dingin. “Silakan, Pak."William menerima dan meneguknya sampai habis, lalu meletakkan gelas kosongnya di meja sambi
Jelita merapikan peralatan makan dan mencuci piring, lalu membersihkan dapur. Sedangkan William keluar dari ruang makan dengan agak terburu-buru sambil menerima telepon. Kemudian pria itu berkutat di depan laptop dengan mimik tegang dan serius di sebuah meja. Jelita yang memperhatikannya membatin, ‘Dia sudah kembali menjadi William yang dingin dan kaku.’Dua jam kemudian, William memanggil. “Lita ..., tolong bikinin kopi.” Pria itu bicara tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop yang menampilkan aneka grafik yang rumit.“Iya, Bang.” Jelita menyahut sambil mengelap tangannya yang basah sehabis mengepel area dapur dan ruang makan. Gadis itu membuka-buka rak mencari kopi dan menemukannya dalam dua wadah tabung kaca yang berbeda. Dia tak tahu kopi mana yang diinginkan William. Jelita pun menghampiri William dan bertanya ingin kopi yang mana, dengan menunjukkan keduanya.William menoleh dengan kening yang dipenuhi kerut, dan menghela napas yang kedengarannya tidak enak. “Ini,” kata
William merenggangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal setelah tak terasa sekian jam duduk di kursi dan bergelut dengan pekerjaan. Pria itu menutup laptop setelah hari menjelang malam. Dia merasa penat dan butuh kopi panas. Mulutnya hampir saja menyerukan nama Jelita, tapi kemudian dia teringat kejadian tak mengenakkan soal kopi tadi. "Kubikin sendiri saja," gumamnya sambil beranjak ke dapur. Saat menyalakan kompor, keningnya berkerut dan mengecek gas. Kemudian dia baru teringat jika sepertinya tadi Jelita sempat membahas soal gas habis ketika menyela urusannya. William pun memakai ketel listrik untuk mendidihkan air. "Padahal tadi dia bisa pakai ini kalau gas habis." Tapi kemudian pria itu termenung dan memikirkan beberapa hal. William menghela napas setelah menyadari sesuatu. Bagaimanapun Jelita asisten rumah tangganya yang baru dan benar-benar baru datang dari kampung. Gadis itu masih dalam proses adaptasi dengan rumah ini dan pekerjaan barunya, bahkan William lupa tidak memberita
"Nah, aku akan memberi training singkat padamu. Kuharap kamu cepat belajar, aku terlalu sibuk kalau harus mengajarimu lagi besok-besok.” William meluangkan waktu di hari libur terakhirnya ini untuk memberikan training pada Jelita. Dia menjelaskan banyak hal terkait pekerjaan yang perlu dilakukan Jelita dirumahnya. Juga mengajari gadis itu cara memakai beragam peralatan rumah tangga. 'Canggih banget,' pikir Jelita takjub saat William mengajarinya cara menggunakan remote untuk menyalakan fungsi robot buat menyapu, memvakum, dan mengepel lantai. "Oya. Kalau ini namanya diffuser, alat untuk aromaterapi. Ini gunanya bisa buat terapi pernapasan, peningkatan mood, relaksasi, pemurnian udara, dan banyak lagi, tergantung dari essential oil yang digunakan." William menjelaskan sambil menunjukkan stok essential oil yang dia miliki dan menerangkan masing-masing manfaatnya. "Tolong dinyalakan saat aku pulang kerja, selama 30 menit atau sampai satu jam saja, biar aroma ruangan jadi nyaman dan bi