LOGINDua jam yang terasa seperti dua tahun itu akhirnya berlalu. Lampu indikator di atas pintu ruang operasi yang semula menyala merah kini padam, memberi tanda bahwa prosedur sudah selesai. Pintu perlahan terbuka, dan seorang dokter keluar sambil menarik masker ke bawah dagunya.
Ariana langsung bangkit dari kursi bahkan hampir tersandung saking gugupnya. Jemmy, Jonas, dan Sita sama-sama mendekat dengan langkah cepat.
“Dokter, bagaimana kondisi Jason?” tanya Ariana dengan suara bergetar, seolah hanya seutas napas yang menahannya agar tidak jatuh pingsan.
Dokter itu melepas sarung tangannya dan menghela napas pendek. “Kondisinya cukup parah, tapi operasi berjalan dengan lancar.”
Ariana langsung menutup mulutnya dan air mata kembali mengalir serta lututnya gemeta
Usai pertemuan resmi itu berakhir, suasana ruang rapat masih menyisakan ketegangan yang samar.Lampu-lampu neon di langit-langit tetap menyala terang, memantulkan bayangan empat pria yang masih berada di dalam ruangan.Hanya Jason, Jemmy, dan Zoro yang tersisa, duduk mengelilingi meja panjang berlapis kayu gelap.Dokumen-dokumen kerja sama proyek masih terbuka, namun tak satu pun dari mereka kembali membahasnya. Fokus pembicaraan perlahan bergeser ke arah yang jauh lebih personal.Zoro menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu menghela napas pendek sebelum akhirnya membuka suara.Nada bicaranya terdengar lebih rendah dibandingkan saat rapat berlangsung, seolah ia sengaja menurunkan intonasi agar pembicaraan ini terasa lebih tertutup.“Kirana dalam kondisi yang tidak stabil semalam,” ujar Zoro dengan hati-hati.“Kau tahu, Jason? Dia sepertinya mengalami tekanan mental cukup berat, emosinya naik turun, dan beberapa kali kehilangan kendali.”Jason, yang sejak tadi bersandar dengan kedua ta
Di sebuah klub malam yang remang, cahaya lampu berwarna merah dan biru berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di dinding berlapis beludru gelap.Musik berdentum rendah, teredam oleh pintu tebal yang memisahkan ruang utama dengan sebuah ruangan VVIP yang tersembunyi di sudut terdalam klub itu.Di ruangan tersebut, lima orang pria duduk santai di sofa kulit hitam, masing-masing dengan gelas minuman di tangan.Wajah-wajah mereka tampak tenang, namun sorot mata mereka tajam dan penuh perhitungan.Pintu ruangan terbuka dengan kasar.Madam Rose mendorong tubuh Kirana masuk ke dalam ruangan itu tanpa kelembutan sedikit pun.Langkah Kirana tersandung, hampir jatuh, sebelum akhirnya berhasil berdiri dengan napas terengah.Gaun yang dikenakannya tampak kusut, wajahnya pucat, dan matanya menyiratkan ketakutan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.“Rose, aku mohon. Aku sudah lelah, beri aku waktu—”“Waktu?” Rose memotong ucapan Kirana lalu senyum tersungging di bibirnya.Dia berdiri
Malam telah larut ketika Ariana selesai menidurkan Ethan di kamarnya.Anak itu tertidur dengan damai, napasnya teratur, wajahnya polos dan tenang seolah tidak menyimpan beban apa pun.Ariana menarik selimut dengan hati-hati agar menutupi tubuh kecil itu dengan sempurna, lalu mengusap kening Ethan sebentar sebelum mematikan lampu tidur dan menutup pintu kamar perlahan.Langkah Ariana terdengar pelan saat ia kembali menuju kamar utama. Tubuhnya memang terasa sedikit lebih berat dibandingkan biasanya, namun pikirannya justru jauh lebih penuh daripada kelelahan fisiknya.Setibanya di kamar, ia mendapati Jason sudah duduk bersandar di sandaran tempat tidur.Sebuah tablet berada di tangannya, menampilkan artikel panjang tentang perusahaan yang dia pimpin.Tentang grafik yang terus menanjak, tentang keberhasilan memenangkan tender besar di luar negeri, dan tentang prediksi para analis yang menyebutkan bahwa perusahaan itu tengah berada pada puncak kejayaannya.Ariana menghampiri Jason, lalu
Usia kandungan Ariana kini telah memasuki dua minggu terakhir menjelang Hari Perkiraan Lahir.Berdasarkan perhitungan dokter, paling lambat dua minggu ke depan, ia akan segera melahirkan.Sejak awal, Ariana telah menyampaikan keinginannya untuk menjalani persalinan normal.Meskipun demikian, Jason sempat menyimpan keraguan. Kekhawatirannya bukan tanpa alasan; ia takut Ariana tidak cukup kuat menghadapi proses persalinan yang panjang dan melelahkan.Namun pada akhirnya, Jason memilih menuruti keputusan istrinya, selama kondisi medis Ariana memungkinkan dan dokter menyatakan aman.Siang itu, mereka bertiga—Jason, Ariana, dan Ethan berada di sebuah toko perlengkapan bayi terbesar di pusat kota.Deretan rak yang dipenuhi pakaian bayi, botol susu, kereta dorong, hingga perlengkapan tidur memenuhi pandangan.Ariana tampak bahagia meskipun langkahnya tidak lagi selincah dulu. Jason setia berjalan di sisinya, sesekali mengingatkan agar Ariana tidak terlalu lelah. Sementara itu, Ethan terlihat
Dering ponsel Jason terdengar nyaring tepat ketika ia tengah mengenakan jam tangan di pergelangan kirinya.Gerakannya terhenti sejenak. Ia menoleh ke arah meja kecil di sisi ranjang, tempat ponselnya tergeletak. Alisnya terangkat perlahan saat melihat nama yang tertera di layar: Madame Rose.Tatapan Jason mengeras. Tanpa ragu, dia mengangkat panggilan itu dan menempelkannya ke telinga.“Ada apa?” tanyanya singkat dengan nada yang datar namun sarat kewaspadaan.Di seberang sana, suara Madame Rose terdengar tenang, bahkan nyaris santai. Jason tidak membuang waktu.“Aku tidak mau mendengar kabar bahwa Kirana kabur,” ucapnya tegas sebelum Rose sempat berbicara panjang.Terdengar tawa kecil dari seberang sambungan. “Kau terlalu meremehkanku, Jason,” jawab Rose. “Aku tidak pernah kecolongan sampai membiarkan anak buahku melarikan diri.”Jason tidak tersenyum. “Lalu apa?” tanyanya kembali.Rose menghela napas ringan, kemudian menjelaskan dengan nada profesional. “Kirana sudah kutempatkan ses
Pukul sebelas malam, suasana rumah telah lama sunyi. Lampu kamar utama masih menyala redup, menampakkan Ariana yang duduk gelisah di tepi sofa kecil dekat ranjang.Sejak beberapa jam lalu, ia berkali-kali melirik jam dinding, menahan kegundahan yang tak mampu ia sembunyikan.Pintu kamar akhirnya terbuka perlahan, dan Jason masuk dengan langkah tenang, meski raut wajahnya menyiratkan kelelahan yang mendalam.Ariana segera berdiri. Senyum tipis terbit di bibirnya, senyum yang lebih mencerminkan kelegaan daripada kegembiraan.Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah mendekat dan menatap suaminya seolah ingin memastikan bahwa pria itu benar-benar baik-baik saja.Jason berhenti tepat di hadapannya. Ia lalu mengulurkan tangan, seakan hendak memeluk, tetapi Ariana lebih dulu berbicara dengan suara pelan yang sarat kekhawatiran.“Kau tidak membunuh mereka, bukan?” tanyanya memastikan.Jason terkekeh lirih. Nada tawanya tidak mengandung kegembiraan, melainkan keletihan yang tertahan.Tangannya tera







