Nia langsung mendongak dan berdiri untuk memastikan siapa yang bersalah. Amarahnya sudah membuncah, tatapan matanya tajam seolah ingin menerkam seseorang hidup-hidup. Namun mata tajam itu tertuju pada seorang pria yang tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. Dan bisa dipastikan semua ini gara-gara dia, bukannya minta maaf malah dia seolah menertawakan Nia.
“Shutt ... dia marah kayaknya!” bisik salah satu pria tersebut.
“Tapi lucu banget, kayak tikus kecemplung selokan,” sahut temannya pelan sambil menahan tawa.
“Gak lucu, tahu!” ucap Nia lalu menyambar minuman yang ada di depannya, entah milik siapa mungkin pelayan tadi memegang 2 minuman tapi yang tumpah hanya satu.
Byurr ... minuman yang ada ditangan Nia dia tumpahkan di atas kepala pria yang menertawakannya tadi.
Semua pengunjung sontak histeris dengan tindakan Nia, tapi sayangnya semua sudah terjadi dan minuman juga sudah terbuang sia-sia.
“Kamu ...!” sentak pria yang bernama Bara tersebut, menatap tajam seraya memberikan telunjuknya dengan mata tak berkedip. Tidak pernah terpikirkan kalau gadis itu akan melakukan seperti itu padahal dia hanya menertawakannya.
“Nia, ada apa ini?” tanya Tina yang tiba-tiba datang lalu memandang ke arah dua orang yang sama-sama basah kepalanya.
“Maaf, Mbak. Saya yang salah tidak hati-hati sehingga menumpahi Mbaknya.” Seorang pelayan memperjelas kejadian yang sebenarnya dengan rasa bersalah dan wajah ketakutan. Karena darinya sumber masalah ini.
Tapi terlambat, Nia sudah terlanjur emosi dan amarahnya tidak bisa hindari. “Kita pergi saja, sudah gak nafsu aku,” ujar Nia ketus lalu menyambar tas dan meninggalkan tempat itu. Dia sudah terlanjur malu dengan kejadian itu maka secepatnya dia harus meninggalkan tempat itu.
“Eh, tunggu, Nia!” teriak Tina sembari mengejar langkah Nia yang semakin menjauh.
Sepeninggalnya kedua gadis itu, sekarang giliran Bara yang kesal karena rambutnya basah dan terasa lengket padahal sebentar lagi dia akan kembali ke kampus karena ada barangnya yang tertinggal di sana.
“Loe sih, pake ngetawain dia!” gerutu Andi, sahabat Bara.
“Udah deh, gak usah nyalahin. Emang dia aja yang bar-bar begitu!”
“Awas kamu ya, kalau ketemu lagi ha-”
“Mau apa? Nyatain cinta?” ledek Andi dengan cengiran sebelum meninggalkan sahabatnya yang masih menatap kepergian dua gadis itu.
Sedangkan di tempat lain.
Gagal menikmati mie ayam, Tina mengajak Nia berhenti di bakso kepala sapi. Depot ini juga langganan kedua gadis itu selain mie ayam.
“Gimana ceritanya yang tadi itu, hah?” tanya Tina penasaran karena sewaktu kejadian dia tidak ada di tempat.
Nia menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. Lalu dia menceritakan semua yang terjadi dari awal sampai akhir.
Tina beberapa kali menepuk-nepuk tangannya serta mengacungkan jempolnya. “Hebat kamu, tapi ... lain jangan lakukan itu ya! Seolah kamu seperti gadis yang pendendam.”
“Hah, barusan kamu berikan aku jempol itu apa maksudnya?” cibir Nia kesal.
Merasa Nia dalam kondisi tidak baik, Tina langsung mengalihkan pembicaraannya karena kalau dilanjutkan pasti bakal ramai sekali. “Terus apa rencana kamu untuk bisa bayar uang kuliah?”
Belum sempat menjawab, obrolan mereka terhenti karena pesanan datang. 2 porsi bakso, 2 porsi lontong, 2 porsi gorengan dan 2 gelas es jeruk.
30 menit dua gadis itu menikmati makanannya. Sepertinya mood Nia sudah kembali baik, buktinya dia bisa menghabiskan makanannya dengan tenang.
“Apa aku coba cari kerja tapi kerja apa?” gumam Nia ragu. “Tapi kerja apa?”
Tina sepertinya mengingat sesuatu, “Kamu bukannya sudah ngajar di bimbingan belajar?”
“Kalau mengandalkan itu masih kurang, Tin. Gaji di sana hanya buat biaya hidup sehari-hari saja.”
“Mungkin gak sih kalau coba tanya-tanya ke Dokter-Doter yang buka praktek gitu? Tapi apa harus punya ijasah dulu?”
“Aku juga gak tahu, Tin!” jawab Nia sembari menghela napas panjang. “Nanti aku coba ke lowongan biro jasa aja deh, biasanya di sana banyak jenis pekerjaannya.
Ghania Athari atau yang sering dipanggil Nia adalah anak tunggal dari pasangan suami istri yang bernama Yusuf Wibowo dan Maria. Gadis itu bisa melanjutkan kuliah di Universitas Kedokteran jurusan Keperawatan karena mendapatkan beasiswa kalau tidak diperpanjang bagaimana dengan perkuliahannya.
“Ya sudah, pulang yuk!” ajak Nia karena dia mau mempersiapkan untuk mencari lowongan pekerjaan. Tina menganggukan kepalanya tanda setuju.
***
Hari ini Nia akan melamar di beberapa biro jasa. Semalam berdasarkan informasi dari internet, gadis itu menetapkan akan mencoba keberuntungannya.
“Ah, surat lamaran, CV, Pas photo, FC ijazah sudah semua!” gumamnya seraya membolak-balik kertas yang ada dihadapannya.
Di kamar kost-an itu Nia sedang di depan cermin yang hanya bisa memperlihatkan wajahnya saja. “Perfect,” ucapnya kemudian.
Pagi ini kebetulan dia tidak ada jam kuliah tapi siang nanti ada jam kuliah, makanya dia memutuskan untuk mencari pekerjaan dulu sebelum nanti siang datang ke kampus.
Nia keluar kamar kost-an kemudian menguncinya. Sampai di ruang tamu bertemu dengan sesama penghuni kost-an mereka saling menyapa dan itu adalah hal yang wajar.
“Nia,” panggil temannya yang bernama Clara itu.
“Hei, ada apa?” tanya Nia. Memutar badannya lalu menghadap ke arah Clara dengan mengerutkan keningnya, penasaran apa yang membuat temannya itu memanggilnya.
“Gak, cuman mau kasih tahu kalau buku kedokteran kemarin yang aku pinjam, tak perpanjang ya? Soalnya belum selesai bacanya.”
“Oh, itu. Iya gak papa, bawa aja dulu kelarin bacanya trus diresapin udah gitu dipraktekin deh,” gurau Nia. Clara memang bukan anak yang kuliah di kedokteran tapi di Fakultas Kimia, namun dia suka dengan membaca untuk memperkaya ilmu, ujarnya seperti itu waktu ditanya kenapa suka baca buku kedokteran .
Obrolan singkat itu ternyata memakan waktu 15 menit. “Ah, hilang deh waktu 15 menitku,” gerutu Nia dalam hati sembari matanya mencari motor yang berjajar di teras kost-an.
Nia mengambil motornya yang terparkir itu. Perlahan sambil ditarik trus diputar-putar di sisi ujung motornya terakhir di dorong supaya bisa keluar. Area parkirnya memang sempit tapi ya harus pinter-pinternya saja bisa mengeluarkannya. Kadang sesama anak cewek saling membantu, tidak ada tenaga cowok di tempat itu karena memang semua penghuni kost-an hanya untuk wanita saja.
Motor yang dikendarai Nia melaju ke biro jasa, yang bernama AYO KERJA. Melihat dari luar saja penampakannya tidak meyakinkan. Nia ragu akan masuk terlihat tempatnya yang sepi dan tidak bagus sama sekali. Akhirnya menurut beberapa pertimbangan, dia membatalkan melamar di sana.
Beralih ke biro jasa yang kedua. Dari luarannya sih terlihat meyakinkan. Nia masuk ke dalam dengan keyakinan akan ada pekerjaan untuknya. “Permisi, saya mau tanya apa ada lowongan pekerjaan di sini ya?” tanya Nia sopan.
“Oh, Mbak, tolong ditinggalkan saja ya, nanti kalau ada yang cocok kami akan hubungi,” jawabnya kemudian. Setelahnya Nia keluar dari kantor tersebut dengan sedikit mengulas senyum berharap ada keberuntungan di sini.
Dari tempat itu, Nia mencoba keberuntungan pada biro jasa yang lain lagi. Kali ini kantornya terlihat bersih dan mewah. Penampakan dari luarnya meyakinkan sekali kalau tempat ini bisa menghasilkan uang. Nia dengan percaya diri masuk. Setelah diterima baik oleh seorang pegawai di sana, Nia disuruh untuk menunggu. Lima menit dia duduk di meja beralaskan kaca bening itu.
“Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?” tanyanya, seorang wanita dengan ramah serta mengulas senyuman.
“Maaf, saya mau mencari pekerjaan,” ucap Nia to the point agar cepat selesai keinginannya.
“Oh, pekerjaan yang bagaimana yang Mbak inginkan?” tanyanya.
“Terserah deh, yang penting halal, Bu,” sahut Nia cepat. Untuk sekarang tidak butuh yang bagus asalkan bisa menghasilkan uang untuk biaya kuliahnya.
“Sebenarnya ada, cuman saya tidak yakin kamu mau menerimanya,” lanjut wanita yang mengaku bernama Niken itu.
Mata Nia langsung berbinar bahagia ketika mendengar ada pekerjaan, meskipun belum tahu pekerjaan apa yang wanita itu tawarkan.
“Pekerjaan apa ya, Bu?” tanya Nia ragu.
“Ja-di asisten rumah tangga, mau?”
“Hah, apa? Pembantu?” ulang Nia meyakinkan.
Bersambung....
“Iya, kamu mau?” tanya balik Bu Niken pada Nia.“Ehm ...!” gumam Nia, belum memberikan jawaban.“Kebetulan yang nyari ini sedang butuh banget. Kerjanya gak berat koq. Cuman bersihkan rumah, masak nyuci dan jam kerjanya juga tidak seharian full. Pagi masuk nyuci dan bersih-bersih sampai siang saja,” terang Bu Niken. “Kalau kamu mau, saya bisa infokan sama customernya karena beliau ini sudah lama sekali nyari cuman saya belum menemukan orangnya.”Nia terlihat agak ragu untuk menerimanya, tapi mengingat batas dia hanya sampai 3 bulan saja akhirnya dia menyetujuinya. “Oke deh, Bu. Saya akan coba.”Setelah kesepakatan itu, Nia diminta untuk menandatangani surat perjanjiannya. Sebagai rasa tanggung jawab, Nia akan dikenakan denda apabila membatalkan kerjasamanya atau mengundurkan diri.“Aneh, orang mau kerja dapat uang, ini disuruh bayar denda” gerutu Nia sepanjang jalan menuju perki
Nia terbangun karena suara jam weker di kamarnya. Mencari keberadaan benda yang membuatnya terbagun kemudian mematikannya. Kembali ke posisinya tadi, dia pejamkan matanya kembali.30 menit kemudian, Nia membuka matanya. Merasa tidurnya sudah lebih dari cukup, Nia akan terbangun dengan sendirinya. “Aneh, kenapa alarm nya gak bunyi ya?” gumamnya sambil melirik ke samping tempat tidurnya, ada meja kecil dan di situ ada jam wekernya. Tangannya terulur untuk mengambilnya, memastikan jam berapa sekarang.“Hua ....” Nia terlonjak kaget melihat sudah pagi sedangkan dia belum sholat Subuh. Dengan cepat dia menuju kamar mandi yang berada di kamarnya ini untuk melaksanakan sholatnya yang terlambat itu.Selesai menyelesaikan sholatnya Nia melipat mukenanya itu dan kebiasaannya melanjutnya berbaringnya untuk menunggu jam perkuliahannya.Mendadak dia teringat sesuatu, harusnya pagi ini dia mulai bekerja. “Ah, semua ini gara-gara Rektor itu
Bara dengan santainya duduk menempati meja makan. Lelaki itu tidak menganggap ada keberadaan Nia yang jelas-jelas dia kenal. “Aku yakin setelah ini kamu pasti tidak akan nyaman berada di tempat ini,” batinnya lalu menyunggingkan senyuman sinis.“Mbok, apa sudah memberitahu apa saja yang harus dia kerjakan?” tanya Bara pada Mbok Ijah tanpa menoleh karena pandangannya sedang fokus dengan makanan di depannya.“Sudah, Tuan Muda,” jawab Mbok Ijah seraya mengangguk meski Bara tidak melihatnya.“Ih, sombongnya gak mau ngomong sama aku sendiri padahal jelas-jelas ada aku di sini. Ah, pria menyebalkan,” cibir Nia yang masih berdiri di belakang Bara. Untung saja tampan kalau jelek-” Nia langsung membekap mulutnya karena tanpa sadar memuji ketampanan Bara. “Oke.” Bara menjawab pernyataan Mbok Ijah barusan.“Oh, iya Tuan. Kalau yang masalah menu apa perlu Nia ini yang menginformasi Tuan setiap harinya?”“Kasih saja no ponsel saya. Biar kalau sewaktu-waktu saya perlu langsung minta dia.”“Idih .
“Ih ... lama-lama nih orang gue timpuk juga ya, ngeselin banget!” jerit Nia dalam hati. Tidak mungkin dia berani dalam dunia nyata.Bara tidak sabar, sudah memutar tubuh untuk meninggalkan Nia. Tapi dengan keberaniaanya Nia langsung menarik lengan Bara, hingga sang pemiliknya terperangah. Mata tajam Bara menatap Nia yang tampak santai dengan mengulas senyuman tipis. “Ups ... maaf!”“Kenapa lagi?”Nia menghela napas kalau bukan karena harus membayar SPP kuliah dia tidak akan mau bersikap seperti ini. Mengabaikan harga dirinya yang masih mungkin bernilai tapi tidak dihadapan pria di depannya ini.“Tuan Muda, yang baik, yang ....” Nia binggung mau ngomong apa. “Pokoknya yang the best deh, jangan pecat saya ya, Bapak kan tahu saya harus bayar kuliah kalau gak bisa bayar orang tua saya di kampung sedih. Mereka sudah senang saya bisa kuliah dan kalau lulus mau jadi perawat yang bisa membantu di puskesmas kampung.”Memang keinginan Nia dan orang tuanya, selepas lulus nanti Nia akan kembali k
Benar saja setelah kepergian Bara, Nia langsung masuk ke dalam rumah melanjutkan pekerjaannya. Mengambil kertas yang diberikan Mbok Ijah tadi, membacanya dengan teliti serta mendudukan dirinya di meja makan.Kerutan di keningnya mendadak terlihat, kemudian mulai mengumpat dalam hati. “Sial, dia mengerjaiku.” Tanpa banyak pertimbangan lagi, Nia segera beranjak untuk menyelesaikan pekerjaannya.“Non, sudah dibaca?” tanya Mbok Ijah yang sekarang sudah berada di depan Nia.“Mbok, panggil Nia saja jangan Non,” pinta Nia tersenyum pada wanita berumur itu. “Aku seperti majikan saja kalau dipanggil seperti itu padahal kita samaan, Mbok. Mungkin masih lebih baik Mbok Ijah karena Bara masih mau menghormatinya daripada diri aku yang sudah mendapat teguran pemecatan.”Alih-alih menjawab keinginan Nia, Mbok Ijah malah menegur gadis itu karena keceplosan memanggil hanya dengan nama saja. “Hush ... tidak sopan itu, panggil Tuan Muda.”“Ah, iya. Aku lupa, Mbok.” Nia langsung menutup mulutnya sendiri
Nia merasa Bara memang ingin mencari masalah dengannya. Jelas-jelas di tangannya jam nya tepat tapi pria itu mengatakan kalau sudah telat 5 menit.“Untung dia majikan aku, kalau tidak pasti sudah aku cincang-cincang kayak daging. Apalagi mulutnya itu luwes banget deh.”“Sudah, sudah. Jangan dimasukkan hati kalau seperti itu, mending kita berpikiran positif aja ya,” bujuk Tina sembari menyesap jus melon yang ada dihadapannya.Ya, mereka berdua telah menyelesaikan perkuliahannya setengah jam yang lalu dan masih ada dua jam lagi sebelum Nia harus kembali ke rumah Bara. Dan sambil menunggu itu Tina membawa Nia ke cafetaria kampus. Sekedar untuk meredam emosinya yang meningkat draktis.“Tin, hidup aku koq jadi seperti ini sih!” keluh Nia menampilkan raut wajah yang sedih. “Apa aku nyerah saja ya kuliah di sini?”“Shutt ... jangan berpikir seperti itu,” hibur Tina. “Percuma kalau kamu tinggalin kuliah tapi tetap kerja juga sama dia, bagaimanapun untuk saat ini kamu tidak bisa lepas darinya
“Ah, akhirnya sampai juga,” ujar Nia ketika sudah sampai di depan pagar kost-an. Gadis itu membuka pagar sedikit susah tapi setelahnya bisa berhasil. Memakirkan sepeda motor kemudian melangkah menuju kamarnya.“Nia, baru pulang?” tanya Asti-teman kost di kamar sebelah yang kebetulan berpapasan, dari membeli makanan.“Eh, Ti. Iya nih, capek banget,” sahut Nia tersenyum, berhenti sejenak kemudian berpamitan untuk masuk kamar.Itulah teman-teman kost-nya saling menyapa karena kepedulian mereka sangat tinggi. Tak hanya Asti, kebanyakan yang lain juga seperti itu.Nia langsung merebahkan diri ketika sampai di kamar, sepertinya dia juga harus mengatur waktu supaya tidak kelelahan. “Ah, itu cowok kenapa ya? Koq baik banget.” Mendadak Nia mengingat kebaikan Bara sampai suara ponselnya berdering.“Aduh, siapa sih! Gak tahu apa aku baru saja pulang dan masih capek!” gerutu Nia meski begitu dia tetap mengambil ponselnya dari dalam tasnya.Seketika matanya membelalak tidak percaya. “Ngapain dia t
Nia terbangun ketika sebelum adzan Subuh. Alarm yang berada di ponselnya sengaja dia setel pukul 3 pagi. Ya, alasannya supaya tidak datang terlambat ke kampus sehingga tidak harus menjalani hukuman dari Bara.Nia mengeliat dan mencari keberadaan ponselnya karena dia harus matikan supaya suaranya tidak menganggu penghuni kost lain. Lalu dia mulai bangun dan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya sekalian mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat malam.Setelah selesai dengan aktifitasnya, Nia segera merapikan kamar kost dan mempersiapkan kepergiannya ke rumah Bara.Sebenarnya jam kerjanya di rumah itu adalah jam 6 pagi, tapi semalam dia sudah mencoba negosiasi dengan hatinya dan pada akhirnya dia yang harus mengalah. Nia memutuskan pergi ke rumah mewah itu setelah sholat Subuh agar semua pekerjaannya dapat terselesaikan semua dan dia bisa datang tepat waktu di kampus. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan keputusannya ini, namun Nia bukan orang yang hanya bisa diam saja tanpa