“Pekerjaan apa ya, Bu?" tanya Nia ragu. “Ja-di asisten rumah tangga, mau?” “Hah, apa? Pembantu?" ulang Nia meyakinkan. ****** Ghania, gadis dari kampung yang melanjutkan kuliah di Ibukota karena mendapatkan beasiswa. Namun, kebijakan baru dari sang Rektor yang membuat dia tidak mendapatkan beasiswanya lagi. Akhirnya Ghania bekerja menjadi pembantu, untuk bisa melanjutkan kuliah. Siapa sangka ternyata sang majikan adalah Rektornya tersebut. Bagaimana kelanjutan kehidupan Ghania, terjebak menjadi pembantu sang Rektor yang sangat dia benci? Ikutin terus ceritanya ya!
View MoreNakas yang dibalut dengan cat berwarna putih dan terbuat dari bahan partikel board itu terletak rapi di sudut kanan tempat tidur.
Tercipta getaran dari nakas tersebut. Rupanya ada seseorang yang meletakkan benda yang menimbulkan getaran itu begitu saja di atasnya.
Tangan seorang wanita yang tengah berbaring di tempat tidur meraihnya pelan. Benda yang menimbulkan getaran itu adalah sebuah ponsel. Jemari lentiknya mulai menari di layar ponselnya. Ternyata ada notifikasi pesan yang masuk.
"Lula! Kamu jangan ganggu Jaka lagi, ya! Aku sama Jaka mau nikah lusa!" ~Lina
Begitulah isi pesan singkat yang dikirim oleh Lina. Ia adalah calon istri Jaka. Lina dan Jaka sudah menjalin hubungan sejak di bangku kuliah.
Kallula adalah seorang gadis berumur 23 tahun yang sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Ya, saat ini ia sedang hamil anak Jaka.
Alih-alih menikahi Kallula yang mengandung anaknya, Jaka malah memilih menikahi Lina. Lina pun tetap mempertahankan hubungannya hingga bertahun-tahun lamanya meski sudah dikhianati berkali-kali.
Meski begitu, Kallula tidak ingin mempertahankan Jaka untuk tetap berada di sampingnya. Ia merelakan Jaka menikah dengan Lina, karena bagi Kallula tidak ada gunanya mempertahankan lelaki pengecut yang lari dari tanggung jawabnya.
Setelah membuka pesan dari Lina, Lula tidak membalasnya sama sekali. Ia tak menghiraukan pesan dari Lina kemudian kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia pun lebih memilih untuk beranjak dari tempat tidurnya daripada harus menggubris pesan yang tidak penting baginya.
Lula berjalan pelan menyusuri ruangan-ruangan di rumah kecilnya seraya memegangi perutnya yang besar menuju kamar mandi.
"Ibuuuk!" Lula berteriak histeris memanggil Ibunya saat dirinya terkejut melihat ada cairan bening bercampur darah yang mengalir dari paha ke kakinya hingga menetes ke lantai.
"Kenapa, La?" Ibunya berlari ke arah dapur dengan tergopoh-gopoh. Ia terlihat sangat panik.
"Ketuban itu, La!"
"Terus aku harus gimana, Buk?" Lula bingung bercampur bahagia karena ia sadar akhirnya penantiannya selama ini datang juga. Memang sudah melebihi HPL, tapi bayinya belum lahir juga. Lula sempat khawatir dengan kondisinya beberapa hari terakhir.
"Perutmu gimana rasanya?" Ibu bertanya untuk memastikan.
"Gak kerasa apa-apa tuh, Buk." Sejauh yang Lula rasakan, perutnya memang tidak terasa sakit sama sekali.
"Ya sudah kalau gitu. Sekarang kamu mandi bersihin badan dulu! Nanti sewaktu-waktu kerasa kita bisa langsung ke klinik." Setelah mendengar titah dari sang Ibu, Lula segera masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri.
Setelah selesai membersihkan diri ia kembali beraktivitas seperti biasanya di rumah. Hingga waktu semakin siang dan perutnya sudah mulai merasakan mulas.
Lula menunggu hingga malam hari dan rasanya masih sama. Sedangkan keluarga besarnya sudah sigap berkumpul di rumah kecil itu untuk mendampingi persalinannya nanti.
Saat tengah malam, frekuensi sakitnya semakin naik. Hingga kini, ia mulai merintih menahan rasa sakit saat perutnya terasa semakin kencang. Namun, ia tak segera bergegas ke klinik juga. Ia memutuskan untuk menunggu hingga pagi karena jarak sakitnya masih belum terlalu dekat.
Sebenarnya ia sangat gelisah. Tapi melihat seluruh keluarganya siap mendampingi, memberikan kekuatan tersendiri untuknya.
Lula tetap berada di ranjangnya. Posisi apapun yang ia lakukan tetap saja tidak mengurangi rasa sakitnya. Sepanjang malam ia terjaga hingga badannya mulai lelah. Kantung matanya menghitam, rambutnya berantakan. Ditambah nafsu makannya juga hilang. Ingin muntah rasanya setiap kali memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Kamu harus tetep makan lho, La! Biar nanti kuat ngedennya! Ini diminum teh angetnya!" Ibu menyodorkan satu cangkir teh hangat untuknya.
"Tapi kok aku mual ya, Bu? Memang gini ya kalau mau lahiran? Ibu dulu begini gak?" Lula mencoba menggali informasi seputar persalinan dari ibunya.
"Dulu Ibu sih enggak. Orang hamil beda-beda pengalamannya, La" Ibu memberi penjelasan sesuai pengetahuannya.
Setelah minum teh, Lula pun berjalan-jalan di depan rumahnya. Kedua Tantenya pun menemaninya. Konon, berjalan kaki memudahkan proses persalinan. Ia berjalan-jalan selama berjam-jam berharap bisa mempercepat proses persalinannya.
Tenaga Lula mulai terkuras. Keluarganya pun semakin khawatir karena sudah menunggu begitu lama tapi tak kunjung ada kemajuan.
"Nak, kita ke klinik sekarang aja yuk!" Bapaknya memutuskan untuk membawanya ke klinik terdekat untuk memastikan kondisinya.
"Iya, Pak." Ibu dan Tantenya pun sudah siap membawakan perlengkapan persalinannya. Mereka membantu Lula naik ke atas mobil.
Tak butuh waktu lama hingga sampai di klinik. Tidak ada antrian sama sekali, Lula langsung mendapat kamar bersalin.
Seorang bidan memeriksa kondisinya. Ternyata masih bukaan 2 yang artinya perjalanan yang ditempuh masih lah sangat jauh untuk mencapai bukaan ke 10.
Perawat menyuruhnya untuk menunggu sembari berjalan-jalan hingga naik turun tangga lagi di sekitar klinik.
Baru bukaan 2 tapi rasa nyerinya sudah sangat sakit menurut Lula. Ia pun berkali-kali meringis, menunjukkan ekspresi wajah menahan kesakitan.
Ia memandang keluarganya yang tengah menemaninya di klinik. Dalam hatinya sedih, ia dan calon anaknya sedang berjuang mempertaruhkan keselamatan dan nyawa mereka, sedangkan Jaka malah sedang mempersiapkan pernikahannya dengan wanita lain. Pada umumnya suami lah yang menemani istrinya pada proses persalinan. Bukankah itu hal yang normal untuk wanita hamil? Tapi hal normal seperti itu pun tak bisa ia dapatkan.
Mungkin Tuhan sudah menggariskan takdir seperti ini untuknya. Tak bisa dipungkiri, sedikit penyesalan pun sering terlintas. Menyesal karena pernah mengalami fase yang hampir setiap orang alami. Fase di mana menjadi manusia sangat bodoh ketika sedang mencintai seseorang.
Terbuai akan rayuan maut mulut manis Jaka yang memberikan janji-janji indah untuknya. Berhasil meyakinkan perasaan Lula yang tulus kepadanya. Hingga ia akhirnya mengingkari janji-janji yang ia buat sendiri.
Lula mengutuki kebodohannya, menyesali kebodohannya. Begitu saja percaya dengan semua kebohongan Jaka. Lelaki yang berprofesi sebagai aparat negara itu, kini hanya menjadi lelaki keparat di mata Lula. Bagaimana tidak? Hanya untuk lari dari tanggung jawabnya ia tega memfitnah Lula di depan keluarganya.
Menuduh Lula seorang wanita mata duitan bahkan tidak mengakui darah dagingnya sendiri. Lula baru mengetahui sifat asli Jaka setelah dirinya hamil.
Demi Tuhan! Lula sama sekali tak menyesali kehadiran darah dagingnya ini. Semenjak pertama kali ia mendapati dirinya hamil pun ia sangat bahagia. Ia berharap Jaka memiliki perasaan bahagia yang sama, namun betapa terkejutnya mengetahui ternyata Jaka tak menginginkan darah dagingnya itu.
Kekuatan hati harus dimiliki Lula dengan tiba-tiba tanpa persiapan sama sekali. Keadaan seperti ini sangat jauh dari prediksi Lula. Sebelumnya Jaka sering bercerita kalau dirinya sangat menginginkan anak. Jaka sangat pandai membohonginya.
Lula tak percaya mampu menghadapi kerasnya hidup seorang diri saat hamil anak pertamanya hingga anaknya akan lahir. Sedangkan Jaka sendiri seketika membuangnya setelah mengetahui dirinya hamil.
Perlakuan buruk Jaka lah yang membuat Lula semakin kuat menjalani kehidupan beratnya.
Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan
“Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng
“Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu
“Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana
“Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments