Home / Romansa / Pembantu Rahasia Sang Rektor / 3. Datang Di Tempat Yang Salah

Share

3. Datang Di Tempat Yang Salah

Author: Mkarmila
last update Last Updated: 2022-04-13 15:29:14

“Iya, kamu mau?” tanya balik Bu Niken pada Nia.

“Ehm ...!” gumam Nia, belum memberikan jawaban.

“Kebetulan yang nyari ini sedang butuh banget. Kerjanya gak berat koq. Cuman bersihkan rumah, masak nyuci dan jam kerjanya juga tidak seharian full. Pagi masuk nyuci dan bersih-bersih sampai siang saja,” terang Bu Niken. “Kalau kamu mau, saya bisa infokan sama customernya karena beliau ini sudah lama sekali nyari cuman saya belum menemukan orangnya.”

Nia terlihat agak ragu untuk menerimanya, tapi mengingat batas dia hanya sampai 3 bulan saja akhirnya dia menyetujuinya. “Oke deh, Bu. Saya akan coba.”

Setelah kesepakatan itu, Nia diminta untuk menandatangani surat perjanjiannya. Sebagai rasa tanggung jawab, Nia akan dikenakan denda apabila membatalkan kerjasamanya atau mengundurkan diri.

“Aneh, orang mau kerja dapat uang, ini disuruh bayar denda” gerutu Nia sepanjang jalan menuju perkiran.

Akhirnya, Nia sudah sampai diparkiran. Gadis dengan tubuh tinggi sempai itu dengan cepat mulai duduk di motornya seraya melirik jam tangan di pergelangan tangannya. “Ah, sudah siang ya, aku harus ke kampus ini,” gumamnya setelah berhasil menstater motornya. Kemudian melajukan motor matic tersebut meninggalkan parkirkan biro jasa tersebut.

Nia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi agar sampai lebih cepat ke kampus. Tepat 20 menit gadis itu sudah berada diparkiran kampus.

“Nia ...!”

Nia menoleh pada sumber suara dan mendapati Tina yang barusan berlari dengan mulut berteriak memanggil namanya. “Apaan?” tanyanya pada Tina.

“Gak cuman nanya aja, gimana melamarnya?”

“Eh, kamu tahu baru melamar aku langsung diterima kerja,” ungkap Nia riang dengan mata yang berbinar karena masalah uang kuliah bisa terselesaikan karena dia diterima kerja.

“Hah ... alhamdulillah, deh! Btw, jadi kerja apaan?” tanya Tina antusias bahagia karena melihat sahabatnya itu juga memancarkan kebahagiaan.

“Jadi ... pembantu.” Nia menaikan turunkan alisnya lalu tersenyum.

“Apa! Pembantu?” Mulut Tina mengangga tidak percaya.

***

“Jadi rencana untuk ketemu Rektor batal nih?” tanya Tina pada Nia yang sedang membereskan buku-buku yang dia pakai kuliah tadi. “Kan kamu sudah diterima kerja.”

Perkuliahan sudah selesai 15 menit yang lalu tapi sengaja Nia terakhir meninggalkan kelas karena tadi ada CV yang kurang makanya dia sekarang melengkapinya.

“Jadi dong ... kalau ternyata Rektornya kasih kebijakan sama aku, kan lumayan buat nambah uang jajan,” jawab Nia dengan tersenyum. Berharap sang Rektor berbaik hati dan memberikannya pengecualian padanya. Tanpa dia tahu setelah bertemu nanti, pasti dia akan menyesali perbuatan telah masuk ke dalam ruangan sang Rektor.

“Oke, yuk. Aku anterin sampai depan ruangan saja ya, kamu masuk sendiri.” Tina mengandengan sahabatnya itu menuju ruangan sang Rektor.

Kedua gadis itu melangkahkan kakinya dengan santai menuju ruangan sang Rektor. Ruangan yang berada di pojokkan, dan merupakan ruangan satu-satunya di area itu. Makanya kalau berjalan di sini pasti orang bisa menebak kalau mau menuju ruangan petinggi no 1 di universitas tersebut.

Keduanya sudah berada di depan ruangan tersebut. Tanpa beban Nia akan masuk. “Jangan lupa baca doa sebelum masuk dan sampaikan semua keluhan kamu kalau bisa dimelas-melasin aja biar beliau iba akhirnya membatalkan keputusannya itu.” Nasehat Tina sembari mencekal tangan Nia agar fokus pada ucapannya.

“Oke ...!” sahut Nia percaya diri seraya membentuk kedua jarinya menjadi huruf O.

Dengan perasaan gugup, Nia mengetuk pintu tersebut dan tidak lama terdengar balasan dari dalam menyuruhnya masuk. Sebelum masuk Nia sempat tersenyum pada sahabatnya yang menunggu di depan pintu tersebut.

“Permisi, Pak,” sapa Nia. Lalu melangkahkan kakinya menuju meja sang Rektor.

“Iya, jawab sang Rektor dengan posisi membelakangi Nia karena sedang mencari file yang berada di bawah kursinya.

Nia sempat menunggu beberapa detik tapi posisi sang Rektor yang tidak mengindahkannya membuatnya sedikit kesal. “Uh, gak sopan banget sih masa aku dikacangin gini,” batin Nia tapi dia masih bersikap sopan dan hormat.

Namun sebuah suara mengagetkannya, “Ada apa? Maaf, saya sambil nyari file ya?” beritahu sang Rektor dengan lugas.

Nia terperangah. “Ih, suaranya lembut banget pasti orangnya ganteng banget,” batin Nia, tidak masih penasaran dengan wajah sang Rektor karena dari tadi belum mengubah posisinya.

“Apa masih di situ?” suara sang Rektor sedikit lebih tinggi.

Nia tersentak dengan ucapan itu. “Sa-saya ... mau ... minta kebijakan tentang ... beasiswa saya, Pak,” ujar Nia dengan ragu dan terbata-bata.

“Memang kenapa dengan beasiswa kamu?” tanya Rektor seraya memutar kursi menghadap Nia.

Mata Nia membelalak dengan mulut yang mengangga, seolah tidak percaya dengan makhluk Tuhan yang ada di hadapannya sekarang ini.

“Kamu ...!” refleks dia menunjuk dengan jari telunjuk di hadapan sang Rektor.

Tak beda jauh dengan Bara, yang terperangah dengan gadis yang pernah menumpahkan minuman di kepalanya. Pria itu tidak mungkin lupa ingatan kalau harus mengingat kejadian kemarin. Namun dia berusaha menyembunyikannya dan bersikap seolah tidak pernah mengenalinya.

Barayudha Al Ghifari, seorang pria yang berhasil menjadi Rektor diusianya yang menginjak diangka 30 tahun. Tentunya bukan hal yang mudah hingga dia sampai di titik tersebut. Kepintarannya sudah tidak bisa diragukan lagi , sebelum menjadi Rektor  dia juga menjadi seorang Dosen.

Dengan santai Bara menyentuh jari itu dan menurunkannya hingga membentur meja seraya berucap, “Apa kamu tidak punya sopan santun, apa kita sedekat itu hingga kamu berani bersikap seperti itu, hah? Saya Rektor di sini, bersikaplah hormat sama saya?” ucapnya dingin disertai seringainya.

“Aduh, mampus aku kalaubeneran dia Rektor yang baru itu,” batin Nia masih menatap pada sang Rektor.

“Oh, maaf Bapak Rektor yang terhormat, mungkin saya salah mengenali seseorang karena kemarin saya bertemu dengan orang yang mirip dengan Bapak tapi ...!” sindir Nia dengan wajah polosnya, tidak ada ketakutan sedikitpun pada sang Rektor. Bahkan dia melupakan tujuannya, harusnya dia bisa bersikap mengambil hatinya agar keinginannya disetujui. Tapi ini yang terjadi malah dia menebarkan permusuhan.

“Tapi?” tanyanya, mengerutkan keningnya.

“Ah, gak penting juga,” balas Nia dengan mengibaskan tangannya seolah hal itu tidak berhubungan dengan pria itu padahal jelas-jelas kemarin itu ulah pria ini.

Bara memundurkan punggungnya untuk bersandar pada kursinya serta melipat kedua tangan di depan dada. Seringai tipis terpancar dari wajahnya yang tampan. “Kamu tadi bilang apa? Beasiswa?” tanya Bara menyambung ucapan Nia di awal tadi.

“Iya, saya minta sama Bapak agar membatalkan penghapusan beasiswa saya.” Nia mengatakan dengan percaya diri seolah Rektor itu akan mengabulkan keinginannya.

“Tidak bisa, itu sudah jadi keputusan saya dan harus dipatuhi!” tolak Bara dengan penekanan di akhir kalimatnya. “Memangnya kamu siapa berani menyuruh saya, hah.”

Tampak kedua tangan Nia, di bawah sana terkepal dengan erat. Dadanya bergemuruh namun dia tahan gejolak amarahnya. Kalau saja posisinya tidak di dalam ruangan Rektor dia bisa meluapkan emosinya.

Mungkin keputusannya datang di tempat ini salah, dan secepatnya dia harus segera pergi dari sini. Percuma saja dia tidak akan mendapatkan keinginannya.

“Oke, silahkan lakukan sesuai keinginan Bapak. Semoga Bapak bahagia,” ucap Nia sebelum dia balik badan untuk pergi.

“Hey, kamu nyindir saya?” teriak Bara sebelum melihat Nia menutup pintu.

Nia kembali berhenti dan memutar badannya, “Buat apa, atau kalau Bapak memang menyadarinya seperti itu.” Nia tersenyum tipis sebelum benar-benar menutup ruangan tersebut.

“Gimana, disetujui sama Rektor?”

Nia tidak menjawab pertanyaan Tina karena dia berjalan menjauh dari ruangan tersebut. Tina membuntuti sahabatnya itu, berpikir pasti ada hal buruk terlihat dari wajah Nia yang tertekuk itu.

Baru sampai di tempat yang biasa mereka kunjungi Nia mulai bersuara. “Kamu tahu, Rektor itu adalah orang yang sama saat kita makan mie ayam kemarin.”

Tina masih belum bereaksi. Gadis itu binggung yang dimaksud oleh Nia, tapi mengingat wajahnya yang tidak bahagia itu mendadak ingatannya tentang seorang pria yang membuat sahabatnya itu kesal.

“Jangan bilang kalau Rektor itu adalah pria yang kamu guyur pakai minuman kemarin?”

Nia menoleh pada Tina seraya mengangguk dengan mencembikkan bibirnya. Tina spontan menutup mulutnya karena kaget.

“Tin, dia tidak bisa ngasih aku kebijakan dan itu artinya aku harus kerja jadi pembantu,” ujar Nia sembari memeluk Tina.

“Lha, tadi sepertinya bahagia banget bisa dapat kerja, kenapa sekarang jadi sedih begini?” sahut Tina yang masih membalas pelukan Nia.

“Sebenarnya aku hanya ingin membahagiakan hatiku yang bersedih, Tina!”

Tina terbengong dengan pengakuan sahabatnya cantiknya itu.

“Masak gadis cantik kayak aku gini jadi pembantu! Argh ....” setelah mengatakan itu Nia berteriak dengan kencang hingga membuat Tina menutup kedua telingannya.

Bersambung......

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembantu Rahasia Sang Rektor   146. Bhalendra Al Ghifari

    Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan

  • Pembantu Rahasia Sang Rektor   145. Kontraksi Palsu

    “Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng

  • Pembantu Rahasia Sang Rektor   144. Bye, Papa

    “Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu

  • Pembantu Rahasia Sang Rektor   143. Menjaga Miliknya

    “Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana

  • Pembantu Rahasia Sang Rektor   142. Perlakuan Manis

    “Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben

  • Pembantu Rahasia Sang Rektor   141. Bantu Aku

    Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status