“Saya mau menyampaikan kalau beasiswa kamu sudah tidak bisa diperpanjang lagi,” ucap Bu Hermin selaku kepala tata usaha Universitas.
Deg. Jantung Nia seolah berhenti berdetak, karena itu merupakan berita buruk buatnya. “Tapi ke-”
Belum selesai Nia berkata mendadak Bu Hermin menjulurkan telapak tangannya menyuruh Nia diam dulu.
Beliau menghela napas sesaat kemudian bibirnya mulai bergerak lagi. “Keputusan dari Rektor yang baru bahwa penerima beasiswa hanya diberikan selama 2 tahun berturut-turut saja. Karena banyaknya mahasiswa yang juga ingin mendapatkan beasiswa, jadi biar pembagiannya merata,” lanjut Bu Hermin lugas.
“Saya berharap bisa mendapatkan kebijakan lain, Bu?” mohon Nia seraya mengerutkan kening. “Terus terang saya kesulitan kalau harus menanggung biaya sendiri tanpa beasiswa itu.”
Bu Hermin mengeleng, “Tidak ada, Rektor sudah bilang tidak ada kebijakan lain. Yang masih mau bertahan di kampus ini, ya harus berkorban. Tapi kalau tidak mau ya terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikan di sini.”
“Dasar Rektor tidak punya hati, bisa-bisanya memberikan kebijakan seperti itu,” gerutu Nia dalam hati. Mulutnya ingin merutuki kebijakan baru itu. Namun dia masih menjunjung tinggi sopan santun, ajaran dari orang tuanya di kampung.
“Lalu bagaimana saya bisa melanjutkan kuliah kalau tanpa beasiswa itu, Bu!” tanyanya retoris. Tidak ada lagi wajah yang ceria seketika semua berubah menyedihkan.
“Maaf, Ibu juga tidak bisa membantu kamu,” sesal Bu Hermin. “Semoga keputusan ini bisa kamu terima dengan lapang dada dan semoga Allah memberi kemudahan kamu dalam hal ini. Kamu masih punya waktu 3 bulan ke depan sebelum mulai pembayaran uang kuliah setiap bulannya.”
Bu Hermin yang juga merangkap sebagai Dosen nya itu hanya bisa mendoakan saja. Wanita paruh baya itu pastinya tahu betul kondisi Nia yang hanya mengandalkan beasiswanya untuk bisa kuliah di kampus ini.
Nia dengan lesu ke luar dari ruangan tata usaha tersebut, menuju ke belakang gedung kampusnya. Sebuah taman kecil tempatnya melepas semua kepenatan jika sedang mendapatkan masalah. Entah masalah kampus atau masalah pribadi.
Sampai di tempat itu, Nia mendudukan dirinya dengan hati yang tak menentu. Baru 2 tahun dia kuliah di kampus ini. Cita-cita kedua orang tuanya menginginkan dia menjadi seorang Perawat agar bisa membantu banyak orang. Makanya dia berusaha keras agar bisa mengabulkan keinginan tersebut. Selain karena pintar, beruntung Nia juga mendapatkan beasiswa.
“Ayah, Bunda, bagaimana ini? Nia tidak bisa mendapatkan beasiswa lagi!” keluhnya seraya menatap menerawang di langit yang mendung.
“Hai mendung, apa kamu turun hujan? Apa kamu juga merasakan kesedihanku?” gumamnya dengan bibir mencembik.
“Hai ... cantik!” sapa Tina yang tiba-tiba datang dan menepuk bahu Nia dari belakang.
“Hai ....” Nia menjawab dengan lemah, menoleh sebentar lalu kembali pandangannya ke awal tadi.
Tina sampai ikut melihat arah pandang Nia, demi memastikan rasa penasarannya apa yang sedang sahabatnya itu lihat. “Tidak ada apa-apa sih, kenapa dia fokus sekali ke situ!” gumamnya.
Refleks, Nia menoleh setelah mendengar gumaman Tina. “Apa?”
“Kamu lihat apa sih? Apa ada cowok cakep di sana, hah?” kekeh Tina mengulas senyum. Tina paling tidak bisa kalau melihat cowok ganteng, pasti matanya akan setia memandanginya terus.
“Lihat cowok ganteng yang nempel di pohon beringin tuh,” sahut Nia kesal seraya menunjuk pohon yang berada di pojokan, tidak jauh dari mereka duduk.
“Hah, hantu dong!” jawab Tina dengan mulut melongo.
“Pikir aja sendiri,” sahut Nia kesal, sahabatnya itu masih saja menanggapi ucapannya yang asal itu.
Tina yang penasaran sampai mendekati pohon tersebut dan berdiri lalu menatapnya dengan intens.
“Woi ... kamu ngapain?” teriak Nia yang melihat Tina menuju pohon beringin tersebut seraya celingak celinguk.
“Cari cowok ganteng,” jawab Tina sambil tersenyum lebar.
“Tin, udah dong sadar kamu ...!” teriak Nia kembali. “ Gak bakalan ada cowok ganteng di sini, yang ada malah dedemit. Sinian aku mau curhat nih.”
Tina akhirnya memutar badan dan berjalan menuju Nia. “Aku sih, sudah paham kamu ngaco cuman aku penasaran aja mungkin tiba-tiba jadi kenyataan.”
Keduanya kini duduk berhadapan dan saling menatap.
Nia menghembuskan napas panjang. “Beasiswa aku tidak diperpanjang lagi,” setelah mengatakan itu Nia langsung mengarahkan pandangan pada Tina yang masih tetap berdiri di depannya.
“Ah, koq bisa? kamu kan mahasiswa pandai. Iya kalau aku, cuman satu tahun saja mendapatkannya karena nilaiku tidak mencukupi untuk memperolehnya lagi,” papar Tina dengan wajah menyedihkan.
“Tadi aku dipanggil Bu Hermin, kata Rektor kebijakan baru beasiswa yang sudah 2 tahun tidak diperpanjang lagi.”
“Oh, coba langsung bicara dengan Rektor saja, mungkin ada cara lain untuk bisa dapat lagi?” usul Tina kemudian.
“Bu Hermin bilang sudah tidak ada kebijakan lagi, Tin!” sanggah Nia geram. Padahal Tina hanya memberikan usul.
“Oh. Apa, Rektor yang baru itu ya?”
Nia menoleh lagi hanya untuk memastikan ucapan sahabatnya itu. “Rektor baru?” ulang Nia.
Tina mengangguk. “Iya, kamu gak tahu? Rektor lama kan sudah diganti, sekarang ada Rektor baru. Beredar isu sih, orangnya masih muda dan ganteng poollll deh.”
“Kamu sudah tahu?”
Tina mengeleng, “Aku belum pernah ketemu nanti deh, aku samperin!”
“Gaya, pakai samperin memang dia sepantaran kita? Palingan orangnya sudah tua, perutnya buncit atau seumuran om-om,” sangka Nia acuh, padahal Rektor barunya itu orangnya masih muda berbeda sekali dengan perkiraannya.
“Lha itu sudah tahu kamu!”
“Tadi itu cuman perkiraan aku doang, Tin.”
“Gak koq, katanya masih muda dan ganteng,” bantah Tina kemudian. “Bisa dong kamu rayu supaya masih mendapatkan beasiswa gitu.” Tina tersenyum mengoda. Tingkah konyol Tina selalu membuat Nia mengulum senyum.
“Ah, tau lah, pusing aku mikirin beasiswa. Mungkin aku ke luar saja dari kampus ini,” terangnya lalu berdiri hendak meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya ditahan oleh Tina. “Aku anterin ke ruangan, Rektor sekarang.”
“Hey ... hey ... kamu sudah gila ya, aku gak mau!” namun Tina tetap saja menyeret sahabatnya itu menuju ruangan Rektor. Buat Tina lebih baik dia kehilangan malu daripada kehilangan Ghania, sahabat baiknya.
Kedua gadis itu sudah berdiri di depan ruangan yang bertuliskan Ruangan Rektor. Pada saat yang bersamaan, keluar seorang pria yang mereka kenal sebagai karyawan di tata usaha.
“Kalian mau apa?” tanyanya ramah memandang ke arah kedua gadis itu.
“Ah, Pak. Mau ketemu sama Pak Rektor bisa?” tanya Tina dengan senyum manisnya.
“Oh, apa sudah ada janji? Soalnya barusan Pak Rektornya keluar,” beritahu karyawan tersebut sopan.
“Ah, harus janjian ya? Oke kalau begitu tolong di sampaikan sama Pak Rektor ya. Bahwa mahasiswa yang bernama Ghania Athari, mau bertemu dengan Pak Rektor ya.” Tina mengatakan dengan sangat lancar.
“Harusnya janjiannya langsung ke sekretarisnya saja, tapi kebetulan juga sudah keluar jadi mungkin lusa saja ya?” ungkap karyawan tersebut kemudian.
“Ah, kenapa harus lu-”
“Maaf, Pak. Ya sudah makasih atas infonya ya,” sela Nia sebelum menyeret lengan Tina supaya berhenti menyerocos.
“Ih ... kenapa aku ditarik sih!” omel Tina ketika mereka sudah menjauh dari ruangan Rektor tersebut.
Nia mengambil duduk di salah satu bangku yang ada di koridor kampus dan menarik Tina supaya ikut duduk juga.
“Kamu juga aneh, gak mungkin kan kalau Pak Rektor akan menyetujuinya hanya karena aku protes. Lagian kita juga belum tahu watak Rektor baru itu bagaimana. Kalau dia tersinggung dan marah bagaimana?” keluh Nia. “Aku gak mau deh, berurusan dengan aparat kampus. Nanti pasti ujung-ujungnya berimbas sama nilai aku. Gak kebayang deh, pas nilaiku jatuh gak dapat beasiswa lagi. Pasti aku langsung didrop out deh!”
“Aduh, sejak kapan sih kamu jadi introvert gitu?” protes Tina. “Kamu itu pinter, pastilah ada cara untuk dapat beasiswa itu. Atau nanti kita temuin lagi Rektor baru itu, aku juga penasaran sih bagaimana orangnya. Seenaknya saja bikin kebijakan, emang dia pikir orang kaya semua yang kuliah di sini.”
“Aku cuman sadar diri, Tin. Aku tidak punya biaya masuk di kampus ini jadi aku merasa menjadi orang kecil yang harus bersyukur dan harus mau menerima semua konsekuensinya,” tutur Nia pasrah.
“Aduh ... mindset kamu harus di ubah itu!” Tina berucap dengan geram pada Nia.
“Ah, gak tahu deh aku, pusing!” keluh Nia memandang Tina.
Tina prihatin dengan kondisi Nia, andai dia punya banyak uang mungkin akan membantunya tapi Tina sendiri bukan dari golongan orang kaya.
“Sekarang temenin aku makan dulu, ayo!” ajak Tina sudah berdiri dan mengulurkan tangannya pada Nia.
Nia yang binggung mengerutkan alis sambil bertanya, “Di mana?”
“Mie ayam Bang Dirja,” sahut Tina cepat.
Tiga puluh menit kedua gadis ini sampai di depot mie ayam tersebut. Ternyata depotnya sangat ramai sekali. Setelah memakirkan motornya Tina langsung menuju penjualnya untuk memesan, sedangkan Nia mencari tempat duduk. Gadis itu memilih duduk yang lesehan meski ada yang pakai kursi.
Baru saja mendudukan dirinya mendadak. Byurrrr ... segelas es teh meluncur bebas di atas kepalanya.
“Ya Allah, Al ... tanggung jawab loe,” celetuk seseorang.
Bersambung.....
Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan
“Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng
“Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu
“Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana
“Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu