Nia terbangun karena suara jam weker di kamarnya. Mencari keberadaan benda yang membuatnya terbagun kemudian mematikannya. Kembali ke posisinya tadi, dia pejamkan matanya kembali.
30 menit kemudian, Nia membuka matanya. Merasa tidurnya sudah lebih dari cukup, Nia akan terbangun dengan sendirinya. “Aneh, kenapa alarm nya gak bunyi ya?” gumamnya sambil melirik ke samping tempat tidurnya, ada meja kecil dan di situ ada jam wekernya. Tangannya terulur untuk mengambilnya, memastikan jam berapa sekarang.
“Hua ....” Nia terlonjak kaget melihat sudah pagi sedangkan dia belum sholat Subuh. Dengan cepat dia menuju kamar mandi yang berada di kamarnya ini untuk melaksanakan sholatnya yang terlambat itu.
Selesai menyelesaikan sholatnya Nia melipat mukenanya itu dan kebiasaannya melanjutnya berbaringnya untuk menunggu jam perkuliahannya.
Mendadak dia teringat sesuatu, harusnya pagi ini dia mulai bekerja. “Ah, semua ini gara-gara Rektor itu. Aku jadi pontang-panting seperti ini, coba kalau beasiswa itu masih ada pasti aku masih bisa menikmati pagi ini dengan rebahan cantik dulu,” gerutu Nia yang tidak tahu panjangnya sudah seperti jalan tol saja.
***
“Apa ini ya rumahnya?” gumam Nia sambil berhenti sebentar, mengecek alamat di ponselnya seraya mencocokan dengan rumah di depannya. Setelah memastikan lagi kalau sudah benar, Nia mulai mencari keberadaan belnya.
Beberapa menit kemudian keluar seorang wanita lanjut usia. Nia binggung apa ini pemilik rumahnya, tapi melihat secara keseluruhannya sepertinya wanita itu dari kampung. Mungkin juga sampai dengan dirinya.
“Permisi, Bu. Apa benar ini rumah Bapak Al Ghifari, ya?” tanya Nia sopan.
“Iya, benar. Mbak nya dari mana?” tanya Ibu tersebut.
“Saya Ghania Athari, dari biro jasa yang akan menjadi pembantu di rumah ini,” sahut Nia setelah mendapat pertanyaan itu.
“Oh, Mbaknya ya! Silahkan masuk, tadi Tuan Muda sudah pesan sama saya kalau pembantunya datang suruh langsung masuk saja,” balasnya kemudian dengan tangannya yang membuka pagar.
Nia ikut masuk membuntuti di belakang sang wanita tersebut, masuk dari pintu samping pada bagian rumah mewah tersebut. Sehingga membuat Nia berpikir, kalau dirinya tidak pantas masuk dari pintu bagian depan.
Saat di perjalanan, Nia sengaja bertanya pada Ibu tersebut sekedar untuk menjalin hubungan baik saja meski dia tidak tahu apa hubungan wanita tersebut dengan pemilik rumah.
“Maaf, dengan Ibu siapa ya?” tanya Nia ragu-ragu.
Sang wanita tersebut membalik badannya serta tersenyum ramah.”Panggil saja Mbok Ijah,” jawabnya sebelum melanjutkan langkahnya ke dalam lagi.
Ternyata Mbok Ijah membawa Nia menuju meja makan yang lumayan besar.
“Mbok, harus panggil siapa?” tanyanya kemudian.
“Ah, panggil Nia saja.”
“Kamu duduk dulu ya, sebentar Mbok tinggal dulu,” ucapnya meski Nia belum memberi jawaban.
“Ini kenapa rumah ini sepi sekali ya, memang gak ada orangnya apa?” gumam Nia sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. “Tapi lumayan besar juga. Kalau aku membersihkan pasti lumayan capek juga ya! Ah, tapi tidak masalah. Ini demi untuk bisa bayar kuliah, supaya aku segera bisa lulus dan membuat bangga Ayah dan Bunda. Semangat Nia,” ucapnya menghibur diri, mengepalkan tangan kanan sambil mensejajarkan dengan wajahnya.
“Maaf, lama ya?” Mbok Ijah tiba-tiba sudah ada di hadapan Nia. Lalu menyodorkan kertas pada Nia.
Nia bengong tapi meski begitu dia menerimanya sambil bertanya, “Ini apa, Mbok?”
“Itu, semua tugas-tugas kamu di rumah ini. Kamu bisa membacanya nanti kalau sudah menyelesaikan semua pekerjaannya,” jawab Mbok Ijah singkat.
“Lho, ini apa beda sama yang saya tanda tangani di biro jasa ya?”
“Mbok tidak tahu, tapi kalau di rumah ini. Aturan itu yang dipakai!”
Nia membaca sekilas, di tugas paling atas sama dengan yang di infokan pada biro jasa sehingga Nia berpikir kalau pasti yang kebawah juga akan sama. “Sepertinya sama, Mbok,” beritahu Nia tanpa membaca detailnya.
“Syukur kalau sama,” sahut Mbok Ijah.
Mbok Ijah menerangkan detail pekerjaan yang harus dilakukan oleh Nia. Di sampingnya Nia mengangguk-anggukan kepalanya saat Mbok dengan serius mencontohkan juga. Hampir sepuluh menit Mbok selesai menerangkan pada Nia dan sekarang Nia harus menyelesaikan semuanya.
“Pertama, kamu harus membersihkan semua ruangan ini. Menyapu dan mengepel karena Tuan Muda tidak suka saat melihat ruangan ini masih kotor.”
“Baik, Mbok. Kalau untuk menyapu sama mengepel sih aku bisa cepet koq.”
Nia mulai mengambil sapu dengan cepat dia sudah menyelesaikannya setelah itu dia mengambil air untuk mengepelnya. Setengah jam sudah Nia melakukan pekerjaan itu. “Ternyata berat juga ya, tugas pembantu,” gumamnya sambil napasnya yang terengah-engah karena capek.
Nia mengambil duduk di lantai kemudian mengibas-ngibaskan tangannya agar mendapatkan angin. Meski rumah ini sangat besar ternyata membuat gerah juga kalau pekerjaannya membutuhkan tenaga banyak seperti ini.
Sedang enak menikmati waktu istirahat, tiba-tiba Mbok Ijah datang. “Mbak, koq malah duduk-duduk nanti kalau Tuan Muda lihat saya bisa kena omel dikiranya Mbok gak ngajarin,” sindir Mbok Ijah yang sedikit kesal.
“Mbok, orang aku cuman duduk sebentar doang. Ya aku belum terbiasa kerja berat seperti ini, kalau di kampung malah aku cuman disuruh duduk-duduk saja saja karena kedua orang tuaku gak mau anaknya capek. Di kota ini saja aku terpaksa malah kerja seperti ini demi untuk bayar kuliah. Gara-gara Rektor tua itu. Tapi kenapa kata orang-orang dia cakep ya, dilihat darimana coba.”
“Sudah-sudah, Mbak Nia koq malah curhat sama Mbok. Mending nanti saja curhatnya sekarang kerja dulu sebelum Tuan Muda turun dan rumahnya belum bersih.” Mbok Ijah memperingati Nia.
“Ah, aku jadi penasaran gimana sih orangnya Tuan Muda,” tanya Nia penasaran. “Pasti orangnya jelek, gendut, perutnya buncit dan sukanya marah-marah ya?”
“Hush ... kalau ngomong hati-hati nanti kamu bisa kena omel. Mau?”
“Ya enggaklah, Mbok. Ya sudah aku lanjutin deh. Semangat Nia demi uang kuliah, demi keinginan Ayah dan Bunda.” Nia akhirnya berdiri dan meneruskan pekerjaannya.
Tanpa Nia tahu kalau seorang Tuan Muda yang dimaksud oleh Mbok Ijah sedang memperhatikannya dari lantai atas. Pria yang masih menggunakan piyama tidurnya itu tidak sengaja mendengar suara berisik di lantai bawah. Rumah yang biasanya sepi mendadak menjadi berisik dan itu mengundang rasa penasarannya. Kebiasaan Tuan Muda kalau turun dari kamarnya selalu berpenampilan rapi sedangkan dia belum membersihkan dirinya makanya dia hanya mengintip dari lantai atas yang langsung bisa melihat lantai bawah.
Pria itu tersenyum menyadari pembantu barunya itu adalah mahasiswi kemarin yang mendatanginya karena beasiswanya dihapus. Tapi bukan itu fokus Bara saat ini karena lebih dari itu, mahasiswinya itu adalah orang yang sama yang menumpahkan minuman di kepalanya. Sejak saat ini dia sudah berjanji akan membuat perhitungan pada gadis itu. Rupanya keberuntungan sedang berpihak padanya karena dia tidak perlu jauh-jauh mencari karena gadis itu yang datang sendiri ke rumahnya.
Senyum kemenangan tersungging di wajahnya yang tampan, seenggaknya itu kata orang-orang yang melihatnya.
“Oke, pembantuku. Perjalanan kamu dimulai dari sini. Aku akan tunjukkan bahwa posisimu di sini adalah seorang pembantu dan aku majikan yang bebas menyuruh-nyuruhmu.” Setelahnya dia beranjak pergi, masuk ke dalam kamarnya kembali.
Selesai mengerjakan menyapu dan mengepel. Nia dibawa ke dapur oleh Mbok Ijah. Di sana dia dijelaskan tentang memasak. Dia tidak perlu repot memikirkan menu apa yang harus dimasak karena sudah ada menunya, dia tinggal mengolah bahan saja untuk menjadikan masakan. Biasanya malam hari harus menginformasikan pada Tuan Muda, menunya untuk besok. Kalau misalnya tidak cocok Tuan Muda akan merevisinya.
“Lha, Mbok aku bilangnya sama Tuan Muda bagaimana?” tanya Nia masih binggung kan dia tidak punya kontaknya.
“Kamu bisa pakai telepon itu atau langsung ke ponselnya Tuan Muda,” jelas Mbok dengan menunjuk telepon yang berada di meja ruang tamu. “Tapi sementara ini, Mbok saja dulu karena Mbok harus tanya apa boleh kasih no ponselnya sama kamu.”
“Oke, deh!” jawab Nia santai padahal sebentar lagi dia akan masuk ke dalam permainan Rektornya sendiri, pria yang dibencinya.
Tiga puluh menit sudah Nia berada di dapur itu dan sekarang sudah selesai memasaknya. Tentunya sangat cepat karena masih dibantu oleh Mbok.
“Sekarang kamu siapkan di meja makan ya, sebentar lagi Tuan Muda pasti turun untuk sarapan,” ucap Mbok Ijah.
“Oke, Mbok.”
Nia membawa menu masakan itu ke meja makan, menatanya bersama piring, sendok dan garpu. “Ah, minumnya,” gumamnya kemudian mengambil gelas dan menuangi dengan air putih.
“Perfect,” serunya seraya mengibas-ngibaskan telapak tangan seakan puas dengan pekerjaannya itu.
“Gimana, sudah selesai?” tanya Mbok Ijah sambil melihat pekerjaan Nia yang menata makanan di meja makan. Senyum puas langsung tersungging di wajah Mbok Ijah sambil memberikan jari jempolnya.
“Trus, selanjutnya harus ngapain aku, Mbok?”
“Tunggu, Tuan Muda turun trus makan. Setelah itu piringnya kamu bersihkan.”
“Gitu aja, yang lain?” Nia masih belum yakin sama penjelasan Mbok Ijah.
“Iya, yang lain nanti kamu bisa baca-baca yang Mbok kasih ya,” terang Mbok kemudian.
Benar saja, sekitar 15 menit terdengar derap langkah kaki yang besar-besar. Nia yang berdiri di sebelah Mbok, menunduk karena merasa takut. Sebisa mungkin dia akan memberikan sikap yang baik agar majikannya itu tidak marah karena sesuai informasi dari Mbok kalau Tuan Mudanya ini suka marah kalau ada pekerjaan yang tidak sesuai makanya dia sudah merasa takut duluan.
“Pagi, Mbok!” sapanya ketika sudah sampai di meja makan.
Nia merasa mengenali suara itu tapi tidak yakin apa benar dugaannya. Saat keberaniannya muncul, dia mendongakkan kepalanya dan secara tidak sengaja kedua mata saling bertatapan. Sementara Mbok Ijah menjawab sapaan itu. “Pagi, Tuan Muda!”
Nia membeku di tempat merasa tubuhnya tidak bisa digerakkan. Ujian apalagi ini, ternyata pria yang dia tumpahi minuman, Rektor di kampusnya dan majikannya adalah orang yang sama.
“Damn it,” umpatnya dalam hati.
Bersambung..
Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan
“Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng
“Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu
“Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana
“Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu