Share

6. Syarat Memaafkan

“Ih ... lama-lama nih orang gue timpuk juga ya, ngeselin banget!” jerit Nia dalam hati. Tidak mungkin dia berani dalam dunia nyata.

Bara tidak sabar, sudah memutar tubuh untuk meninggalkan Nia. Tapi dengan keberaniaanya Nia langsung menarik lengan Bara, hingga sang pemiliknya terperangah. Mata tajam Bara menatap Nia yang tampak santai dengan mengulas senyuman tipis. “Ups ... maaf!”

“Kenapa lagi?”

Nia menghela napas kalau bukan karena harus membayar SPP kuliah dia tidak akan mau bersikap seperti ini. Mengabaikan harga dirinya yang masih mungkin bernilai tapi tidak dihadapan pria di depannya ini.

“Tuan Muda, yang baik, yang ....” Nia binggung mau ngomong apa. “Pokoknya yang the best deh, jangan pecat saya ya, Bapak kan tahu saya harus bayar kuliah kalau gak bisa bayar orang tua saya di kampung sedih. Mereka sudah senang saya bisa kuliah dan kalau lulus mau jadi perawat yang bisa membantu di puskesmas kampung.”

Memang keinginan Nia dan orang tuanya, selepas lulus nanti Nia akan kembali ke kampung dan mengabdi di puskesmas di sana. Banyaknya masyarakat dengan pendapatan rendah, membuat mereka mengabaikan kesehatannya. Tak jarang angka kematian di sana juga sangat tinggi. Mereka berpikir lebih memilih meminum ramuan-ramuan yang dibuat sendiri padahal terkadang ada penyakit yang harus disembuhkan dengan perawatan di medis.

“Kamu pikir, saya peduli?” sahut Bara santai dengan mengendikkan bahunya tampak sombong sekali. “Itu urusan kamu, kalau mau kuliah ya bayar kalau gak bisa ya cari kerja.”

“Astaghfirullah,” sebut Nia dalam hati sambil mengelus dadanya. “Koq ada ya orang seperti ini di kalangan pendidikan.”

“Kamu mengumpati saya lagi, hah?”

“Enggak, Tuan Muda. Mana berani saya melakukan itu, Tuan saja yang berpikiran seperti itu,” bantah Nia seraya mengelengkan kepalanya.

Bara mulai malas menanggapi ucapan Nia. Dia ingin segera pergi dari hadapan gadis itu, namun lagi-lagi Nia mencegahnya.

“Berhenti, Tuan Muda! Oke, maaf kalau saya sudah buat Anda kesal. Tapi apa iya Anda itu lebih baik daripada saya. Bagaimana kalau seisi kampus tahu kalau Rektornya seperti ini, memperlakukan pembantu seenaknya sendiri.”

“Maksud kamu apa memperlakukan seenaknya sendiri?”

“Ya, Anda tadi memecat saya. Apa itu namanya kalau tidak seenaknya sendiri. Sedangkan saya tidak tahu apa kesalahan saya!”

“Kamu tahu kesalahan kamu adalah mengumpati saya. Bagaimana saya akan mempekerjakan seorang yang berani kurang ajar begitu, hah?”

“Ih ... saya kurang ajar itu karena Anda yang memulai juga. Makanya kalau tidak mau dikasari orang jangan mengasari duluan, gini kan jadinya!” lirih Nia dengan menundukkan kepalanya.

“Oke, saya maafin kamu tapi dengan syarat ....”

“Ah, terima kasih, Tuan Muda,” jawab Nia dengan wajah berbinar karena senang meski belum tahu apa syarat dari majikannya itu.

“Iya, apa itu syaratnya, Tuan.”

“Lakukan semua tugas kamu dan jangan sampai telat datang ke kampus,” sahut Bara tersenyum remeh. Lelaki itu sudah bisa memprediksikan kalau semua pekerjaan Nia tidak bisa dikerjakan dengan cepat dan pasti akan terlambat datang. Bisa jadi itu adalah pemecatan Nia tapi dengan cara halus.

Nia dapat melihat ada senyuman Bara yang tidak tulus. “Anda tidak sedang merencanakan hal buruk sama saya kan, Tuan Muda?”

Sontak Bara langsung berubah mimik wajahnya, seperti sedang ketahuan kalau berbohong. “Buat apa?” Mengabaikan pertanyaan Nia, Bara langsung membuka pintu mobilnya dan bersiap untuk berangkat ke kampus.

“Ih ... dasar, pria aneh. Tapi kalau dugaanku benar, dia hanya akan membuatku dipecat. Ah, bagaimana ini?” keluh Nia sambil menatap mobil Bara yang sudah keluar dari rumah.

Bersambung.........

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status