Benar saja setelah kepergian Bara, Nia langsung masuk ke dalam rumah melanjutkan pekerjaannya. Mengambil kertas yang diberikan Mbok Ijah tadi, membacanya dengan teliti serta mendudukan dirinya di meja makan.
Kerutan di keningnya mendadak terlihat, kemudian mulai mengumpat dalam hati. “Sial, dia mengerjaiku.” Tanpa banyak pertimbangan lagi, Nia segera beranjak untuk menyelesaikan pekerjaannya.
“Non, sudah dibaca?” tanya Mbok Ijah yang sekarang sudah berada di depan Nia.
“Mbok, panggil Nia saja jangan Non,” pinta Nia tersenyum pada wanita berumur itu. “Aku seperti majikan saja kalau dipanggil seperti itu padahal kita samaan, Mbok. Mungkin masih lebih baik Mbok Ijah karena Bara masih mau menghormatinya daripada diri aku yang sudah mendapat teguran pemecatan.”
Alih-alih menjawab keinginan Nia, Mbok Ijah malah menegur gadis itu karena keceplosan memanggil hanya dengan nama saja. “Hush ... tidak sopan itu, panggil Tuan Muda.”
“Ah, iya. Aku lupa, Mbok.” Nia langsung menutup mulutnya sendiri sambil meringis.
“Sudah, segera selesaikan tugasnya! Kalau tidak nanti kamu tambah lama selesainya,” pinta Mbok Ijah sebenarnya Mbok tahu kalau Nia sedang dalam tahap percobaan, seperti pembantu yang sebelum Nia. Bara selalu memberikan perintah yang memberatkan agar di awal sudah terbiasa kemudian selanjutnya tidak malas-malasan.
Menurut Mbok Ijah, Bara adalah majikan yang baik hati dan tidak suka aneh-aneh asalkan pembantu itu dapat melakukan pekerjaan dengan benar dan tidak malas, dia tidak akan komplain. Tapi sepertinya Tuan Mudanya itu berbeda perlakuan pada Nia dan Mbok Ijah tidak tahu apa alasan Bara, yang dapat ia lakukan adalah menuruti semua perintah Bara.
“Ya sudah, ayo Mbok antar!”
Kedua wanita berbeda usia itu sama-sama menaiki tangga menuju lantai dua. Mbok Ijah yang seperti pemandu wisata, memberitahu semua yang harus Nia kerjakan.
“Jadi aku harus membersihkan semua ruangan di lantai ini, Mbok?” sela Nia saat Mbok Ijah sedang menjelaskan.
“Iya, makanya kamu kerjanya yang cepet karena yang harus dibersihkan banyak,” sahut Mbok.
“Tapi di lantai ini hanya ada 1 kamar yang dipakai koq, yang 2 lagi tidak dipakai jadi tidak terlalu kotor. Oh, iya kamar Tuan Muda yang bersih ya soalnya nanti dia pasti tahu kalau masih kotor.”
“Iya, Mbok.”
“Setelah itu, kamu nyuci. Habis itu nanti sore masak dan membersihkan lantai 1 saja,” jelas Mbok, masih setia memberi penjelasan pada Nia.
“Mbok, kalau aku gak kerjakan dia gak akan tahu kan?” tanya Nia tiba-tiba.
“Jangan bicara seperti itu, bisa jadi Tuan Muda mendengarnya.”
“Ah, Mbok ini jangan nakutin aku, orang dia sudah pergi koq jadi gak bakal ketahuan,” jawab Nia santai.
Gadis itu tidak tahu kalau di rumah itu dipasang CCTV dan bisa merekam suara juga. Jadi semua ucapan yang terlontar dari bibirnya bisa didengar Bara.
Sementara di tempat lain. Sejak dia meninggalkan rumah, netranya tidak lepas dari layar pipih berbentuk persegi itu. Senyuman menyeringai tampak di wajah tampannya. “Kamu pikir bisa main-main denganku, Ghania Athari.”
Hampir satu jam, Nia sudah menyelesaikan membersihkan lantai dua. Cucuran keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Terlihat beberapa kali Nia mengusap pelipisnya yang selalu basah. “Gila, ternyata capek banget ya,” gumamnya seraya duduk di lantai untuk meng-istirahatkan tubuhnya yang lelah.
Saat pandangan matanya tertuju pada dinding, mata Nia terbuka lebar karena jam perkuliahannya satu jam lagi dimulai. Mengabaikan lelahnya, dia segera turun ke lantai satu dan secepatnya ke ruangan cuci.
“Ah, selesai sudah semuanya,” lirihnya sambil menghela napas lega kemudian tersadar melihat jam yang sudah bergerak cepat.
Gadis itu segera berpamitan pada Mbok untuk meninggalkan rumah itu. “Hati-hati di jalan. Jangan ngebut!” pesan Mbok yang memperlakukan Nia layaknya anaknya sendiri.
Nia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi karena dia ingin segera sampai tepat waktu, kalau tidak Bara akan memecatnya.
Baru saja dia menginjakkan kaki di depan kelasnya, sebuah suara mampir di telinganya. “Kamu telat 5 menit!”
Bersambung....
Nia merasa Bara memang ingin mencari masalah dengannya. Jelas-jelas di tangannya jam nya tepat tapi pria itu mengatakan kalau sudah telat 5 menit.“Untung dia majikan aku, kalau tidak pasti sudah aku cincang-cincang kayak daging. Apalagi mulutnya itu luwes banget deh.”“Sudah, sudah. Jangan dimasukkan hati kalau seperti itu, mending kita berpikiran positif aja ya,” bujuk Tina sembari menyesap jus melon yang ada dihadapannya.Ya, mereka berdua telah menyelesaikan perkuliahannya setengah jam yang lalu dan masih ada dua jam lagi sebelum Nia harus kembali ke rumah Bara. Dan sambil menunggu itu Tina membawa Nia ke cafetaria kampus. Sekedar untuk meredam emosinya yang meningkat draktis.“Tin, hidup aku koq jadi seperti ini sih!” keluh Nia menampilkan raut wajah yang sedih. “Apa aku nyerah saja ya kuliah di sini?”“Shutt ... jangan berpikir seperti itu,” hibur Tina. “Percuma kalau kamu tinggalin kuliah tapi tetap kerja juga sama dia, bagaimanapun untuk saat ini kamu tidak bisa lepas darinya
“Ah, akhirnya sampai juga,” ujar Nia ketika sudah sampai di depan pagar kost-an. Gadis itu membuka pagar sedikit susah tapi setelahnya bisa berhasil. Memakirkan sepeda motor kemudian melangkah menuju kamarnya.“Nia, baru pulang?” tanya Asti-teman kost di kamar sebelah yang kebetulan berpapasan, dari membeli makanan.“Eh, Ti. Iya nih, capek banget,” sahut Nia tersenyum, berhenti sejenak kemudian berpamitan untuk masuk kamar.Itulah teman-teman kost-nya saling menyapa karena kepedulian mereka sangat tinggi. Tak hanya Asti, kebanyakan yang lain juga seperti itu.Nia langsung merebahkan diri ketika sampai di kamar, sepertinya dia juga harus mengatur waktu supaya tidak kelelahan. “Ah, itu cowok kenapa ya? Koq baik banget.” Mendadak Nia mengingat kebaikan Bara sampai suara ponselnya berdering.“Aduh, siapa sih! Gak tahu apa aku baru saja pulang dan masih capek!” gerutu Nia meski begitu dia tetap mengambil ponselnya dari dalam tasnya.Seketika matanya membelalak tidak percaya. “Ngapain dia t
Nia terbangun ketika sebelum adzan Subuh. Alarm yang berada di ponselnya sengaja dia setel pukul 3 pagi. Ya, alasannya supaya tidak datang terlambat ke kampus sehingga tidak harus menjalani hukuman dari Bara.Nia mengeliat dan mencari keberadaan ponselnya karena dia harus matikan supaya suaranya tidak menganggu penghuni kost lain. Lalu dia mulai bangun dan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya sekalian mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat malam.Setelah selesai dengan aktifitasnya, Nia segera merapikan kamar kost dan mempersiapkan kepergiannya ke rumah Bara.Sebenarnya jam kerjanya di rumah itu adalah jam 6 pagi, tapi semalam dia sudah mencoba negosiasi dengan hatinya dan pada akhirnya dia yang harus mengalah. Nia memutuskan pergi ke rumah mewah itu setelah sholat Subuh agar semua pekerjaannya dapat terselesaikan semua dan dia bisa datang tepat waktu di kampus. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan keputusannya ini, namun Nia bukan orang yang hanya bisa diam saja tanpa
Nia menghembuskan napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Hatinya sakit dengan ucapan Bara, namun dia bisa apa. Tentu saja yang dia lakukan adalah hanya diam dan menganggap tidak terjadi apa-apa.“Anda tenang saja,” balas Nia menahan sesak di dadanya. “Saya termasuk orang yang tahu diri koq, bahkan saya tidak berpikir ke arah situ.”Bara langsung menatap remeh ke arah Nia yang masih tersenyum meski hatinya terluka di lecehkan seperti itu.“Bagus kalau seperti itu jadi saya tidak perlu lagi menjelaskan padamu dan tetaplah dibatasmu,” kata Bara. “Kamu masak dulu saja, saya sudah lapar.”“Oke.”“Kenapa dia nurut saja, biasanya bibirnya itu nyerocos untuk membantah,” keluh Bara sambil mengerutkan keningnya. “Atau dia masih kesal soal tadi malam? Ah, kenapa aku yang repot memikirkan itu, terserah maunya dia kayak apa!”Yang dilakukan Nia sekarang adalah berdiri di depan wastafel. Matanya mulai sembab, di depan Bara tadi dia menguatkan hatinya tapi sekarang buliran bening ini tidak
Hari ini terasa sangat lama sekali berada di rumah Bara. Datang setelah waktu subuh dan hingga kini jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Akhirnya Nia dapat menyelesaikan semua pekerjaan di rumah itu.Tidak ditemani Mbok Ijah karena wanita berusia lanjut itu nyatanya tidak datang. Mungkin ucapan Bara tadi memang benar kalau Mbok Ijah pulang kampung, kalau seperti ini Nia jadi merasa sendirian karena tidak ada teman ngobrol.“Akhirnya aku bisa langsung ke kampus karena pekerjaanku sudah selesai,” gumam Nia. Namun baru saja gadis itu akan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badannya lagi tiba-tiba suara sang Tuan Muda terdengar sangat keras.“Nia ...! Nia ... Nia ...!”“Aduh, kenapa lagi sih dia!” dengus Nia kesal. Pada akhirnya dia menurut dan mendatangi sang majikan itu.Sampai di depan pintu kamarnya, Nia mengetuk pelan sambil memanggilnya. “Ada apa, Tuan Muda?”“Masuk!” bentak Bara dari dalam.“Duh, apalagi sih ini,” gerutu Nia tapi tak urung dia membuka pelan pintu kama
“Sebel ... sebel ... sebel deh sama manusia seperti dia,” geram Nia dengan kaki yang dihentak-hentakkan ke lantai.Tidak lagi di rumah Bara. Sekarang Nia sudah tiba di kampusnya. Duduk di kantin kampus hanya berdua dengan Tina. Setelah kepergian Bara tadi, Nia buru-buru melakukan yang diperintah Bara untuk mengganti spreinya dan usai dari situ Nia langsung menuju kamar mandi untuk mandi dulu sebelum berangkat ke kampus.“Aduh, aku sebenarnya kasihan sama kamu,” ucap Tina-sang sahabat. “Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, semoga kamu sabar aja ya!”Tidak bisa melihat sahabatnya sedih lagi, Tina merentangkan tangannya agar Nia bisa berada dipelukannya. Tak butuh lama untuk Nia bisa berada dalam dekapan sang sahabat. Kini keduanya saling berpelukan seolah saling merasakan kesedihan satu sama lain.“Terima kasih, Tin. Kamu adalah sahabat aku yang terbaik, aku gak tahu dengan siapa lagi aku bisa curhat seperti ini,” ungkap Nia dalam pelukan Tina.“Iya, sama-sama,” jawab Tina seraya
“Aduh, yang mana ini?” gumam Nia.Tidak lagi di kampus. Pembantu sang Rektor itu sudah memasuki rumah sang majikan. Mendengar ancaman akan menerima hukuman kalau melebihi waktu yang telah ditentukan, membuat gadis itu tidak mengulur waktu lagi menuju rumah mewah Bara.Namun setelah sampai di kamar sang Tuan Muda, mendadak dia binggung harus memilih baju yang seperti apa, pasalnya banyak sekali baju yang bisa dikategorikan baju olah raga sedangkan Nia sendiri tidak tahu sang majikan akan berolah raga apa.Pada akhirnya Nia memutuskan untuk menghubunginya daripada menghabiskan waktu untuk berpikir baju mana yang akan dia berikan. Salah bisa jadi, benar belum tentu. Setidaknya itu yang ada di benak Nia sekarang.Tidak lama kemudian panggilan Nia sudah tersambung dan Bara langsung menjawabnya.“Tuan, baju olah raga apa yang harus saya ambil?” tanya Nia begitu panggilannya tersambung.[Ambil saja tas yang bertuliskan Adidas karena saya sudah masukkan sendiri bajunya!] perintah Bara singkat
“Hah? Apa, Pak?”Kali ini Nia yang melongo mendengar permintaan sang majikan. “Memangnya pembantu juga berkewajiban menemani majikannya ya?” lirihnya yang ditanggapi lirikan tajam oleh Bara.“Memang kamu bisa menolak semua ucapan saya!” ucapnya seraya tersenyum meremehkan status Nia yang seorang pembantu.Tidak bersikap biasa lagi, nyatanya Nia kini menatap dengan tidak suka dengan mengepalkan kedua tangan di kedua sisi badannya, andai dia bisa menghajar makhluk di depannya mungkin kesempatan itu tidak akan dia lewatkan.“Kenapa, gak terima?”“Tapi sa-saya ada mau ngasih les privat sebelum datang ke rumah Bapak,” balas Nia sedikit ragu karena Bara masih tajam lirikannya.“Saya gak mau ada penolakan, dan bawa tas ini!” sahut Bara cepat lalu berjalan mendahului Nia.Nia merasa berhak menolak karena jam kerjanya belum dimulai. “Tapi, Pak. Saya tidak bisa!”Bara menghentikan langkahnya, kesal karena Nia tetap menolaknya. “Ada apa lagi?”“Maaf, Pak. Saya harus kerja juga sekarang sebelum