Home / Romansa / Pembantu Rasa Nyonya / Bab 11. Aku Mau Punya Kakak

Share

Bab 11. Aku Mau Punya Kakak

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-07-22 19:34:38

Hari minggu yang cerah.

Matahari pagi, menghangatkan badanku. 

Alhamdulillah ....

Kami, aku dan Amelia berkeliling di komplek perumahan. Berlari kecil saja. Taman yang rindang dan indah di kiri kanan. Suasana sepi, hanya sesekali saja kami bertemu Pak Satpam yang berpatroli keliling. Maklum, di hari minggu biasanya hari malas sedunia. Tuan Kusuma saja tadi belum ke luar kamar.

Sepanjang jalan, tidak henti-hentinya Amelia bercerita tentang teman-teman sekolahnya. Dia berlari ke sana sini tanpa arah, serasa jalan ini hanya miliknya saja. Sesekali dia tertawa terbahak-bahak, menceritakan kekonyolan temannya. 

Riang sekali dia. 

Anak ini sangat manis, semakin hari aku semakin sayang sama dia. Naluri keibuanku tersentuh ketika dia bersikap manja kepadaku. Kelihatan sekali selama ini dia kesepian.

"Istirahat dulu, ya. Tante capek!" teriakku. Aku mengatur napas yang ngos-ngosan.

"Capek, ya?! Faktor U, ya ...!" ledeknya sembari tertawa. "Di sana saja, Tante. Ada taman yang ada ayunannya. Deket, kok!" Dia menunjuk ke depan, ke arah areal yang rimbun penuh pepohonan tinggi. 

Kami istirahat di taman, udaranya sejuk sekali. Aku regangkan tangan dan kakiku. Rasa kaku terasa menghilang, lama tidak olah raga. Biasanya aku rutin menemani Wisnu jalan-jalan pagi. Kadang-kadang ikutan nge-dance ala kadarnya sambil melihat video NCT. "Hati-hati encok, Ma," kelakar Wisnu. Saat itu kami sangat bahagia.

"Tante, anak tante di mana sekarang. Apa dia tidak kangen?" Tiba-tiba dia bertanya tentang Wisnu. 

"Anak tante kuliah, Say. Ya kadang-kadang dia hubungi Tante. Kalau ngikutin kangen, ya gak bisa. Wisnu harus konsentrasi dengan cita-citanya." Sengaja aku cerita tentang Wisnu untuk memotivasi dia.

"Namanya Wisnu? Cowok? Dimana sekolahnya, Te?" tanyanya penasaran. 

"Iya, namanya Wisnu. Dia sekolah negeri di Malang, Arsitek."

"Cerita, dong. Aku pingin tahu Kak Wisnu, orangnya bagaimana," rajuknya. Tanganku digoyang-goyang menunjukkan ketidaksabarannya. 

Pikiranku melayang teringat dia. 

Seketika hatiku berdesir. 

Kangen. 

Tidak pernah kami berpisah lama semenjak dia kecil. Dulu, aku dan Mas Bram-Papanya Wisnu- selalu bersama.  Walaupun saat itu kami pasangan muda yang bekerja, Wisnu kami rawat sendiri. 

Untuk keseharian dia, aku langsung yang menangani. Karena kami tahu seorang anak tidak hanya membutuhkan makan dan minum, tetapi perkembangan karakter untuk bekal hidupnya nanti, juga sangat penting. Terbukti, sekarang Wisnu jadi anak kuat dan mandiri.

"Ayo, Tante. Cerita ..., " rengek Amel sekali lagi. Anak ini selain manja juga pemaksa. Aku tersenyum melihat tingkah polahnya.

"Dia anaknya pintar menggambar. Makanya dia tertarik sekolah di jurusan Arsitek. Alhamdulillah, diterima di negeri."

"Suka juga sama NCT, ya, Te?" cetus Amel, ternyata dia ingat percakapan kami tadi malam.

"Iya. Dia suka sekali NCT. Sampai dibela-belain belajar bahasa Korea, katanya supaya tahu arti lagunya. Ternyata, artinya bagus, bikin semangat. Tante sering dipaksa mendengarkan ceritanya!" Dengan antusiasnya aku bercerita. Terkekeh aku ingat masa-masa itu.

"Dia suka juga nge-dance. Laptopnya penuh video NCT!"

"Ada foto, Kak Wisnu?! Liat dong!"

"Ada!"

Aku keluarkan ponselku dari kantong celana. 

"Ini anak Tante," kataku sambil menunjukkan foto-foto Wisnu. Ada beberapa foto kami berdua ketika di rumah ataupun ketika jalan-jalan. Aku jelaskan momen di setiap foto. Tersenyum mengembang di wajahku teringat kala itu.

"Tante! Aku lihat ini!" teriak Amel, direbut ponsel ditanganku. Digerakkannya jari untuk diperbesar foto Wisnu. Terlihat foto kami berdua, duduk di atas motor dengan wajah tertawa lepas.

"Motornya bagus, ya. Amel tidak pernah naik motor. Tidak boleh sama Papi. Pasti asyik!" Dia memandangku dengan mata berbinar. 

Motor lawas Honda CB tahun 70-an yang dinaiki kami. Lawas sekali, aku saja belum lahir, he-he-he-he.

Motor itu milik kakeknya yang teronggok tidak terpakai di gudang. Wisnu suka sekali. Dia modifikasi mesin dan dipercantik dengan beberapa asesoris. Hasilnya luar biasa. Foto itu diambil ketika keluar pertama dari bengkel. Test drive, katanya.

"Anak Tante ini, sangat sayang dengan Tante," ucapku terdengar serak. Terasa berat dan sesak mengimpit dada ini. Mataku terasa kabur terhalang air mata yang mulai mengembun.

"Tante sedih. Maaf, ya," bisik Amel sambil memelukku.

"Malang itu deket, Tante. Kapan-kapan ke sana, yuk! Sekalian mau jalan-jalan. Amel bosan di rumah saja. Atau besok saja! Besok kan libur. Aku mau ajak, Papi!" teriaknya. 

Dia beranjak dari duduknya. Ditariknya tanganku untuk bergegas pulang ke rumah. 

***

Makan sudah aku siapkan. Makan pagi setengah siang. Biasa, kalau hari minggu jadwal makan tidak teratur. Tuan Kusuma dan Amelia sudah siap di meja makan. 

Aku sajikan jus pepaya yang ditambah perasan jeruk nipis sedikit, ini bagus untuk menetralisir lambung. Menu utama, ayam suwir bumbu serai, terong balado dan opor ayam sudah tersaji. 

"Rani, sekalian ikut makan saja. Kamu pasti sudah lapar!" pinta Tuan Kusuma, lebih terdengar perintah, sih. Aku tarik kursi dudukku. Kalau tidak dituruti bisa ngomel lagi dia.

"Ambilkan saya nasi, ayam dan terong. Kasih sedikit kuah opor!" ujarnya menyodorkan piringnya. 

"Aku juga, Tante!" sela Amelia.

Aku kerjakan perintah mereka. 

Kami makan bersama. Amelia bercerita tentang kegiatan kami tadi. Bahkan, dia bercerita tentang Wisnu dengan antusiasnya.

"Pi ..., ayok kita ke Malang. Amel mau jalan-jalan. Bosan di rumah. Apalagi besuk libur tanggal merah. Boleh, ya, Pi?" rajuknya kepada Papinya.

"Iya, boleh," sahut Tuan Kusuma langsung mengiyakan. Dari ekspresi wajahnya, sepertinya dia tidak terlalu paham dengan permintaan Amel. Asal menjawab saja. 

"Asyik ...!" teriak Amel menyambut jawaban Papinya.

Benar, dia tidak sadar dengan apa yang dijawabnya tadi. Dia konsentrasi dengan ponsel ditangannya.

"Pi, boleh enggak minta sesuatu?!" Amelia memandang Papinya dengan serius. 

"Aku mau punya kakak!" katanya serius.

Tuan Kusuma terhenyak, ditaruhnya ponsel dan menatap balik putrinya. Sesaat terdiam dan kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

"Amelia, Sayang. Kalau minta jangan aneh-aneh. Memang ada yang jualan 'kakak'?!" ucapnya sambil masih tertawa. Amel merengut melihat tanggapan Papinya itu.

"Papi, kok ketawa, sih! Amel pingin punya saudara kayak teman-teman Amel!" katanya marah.

"Aku mau Kak Wisnu jadi kakakku!"  teriakan Amel mengagetkanku. 

Aku tersedak kaget.

Tawa Tuan Kusuma langsung berhenti. 

Kami saling tatap tidak mengerti apa yang ada di pikiran Amelia.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (486)
goodnovel comment avatar
yusuf pratama
jadi males bacanya ...kl berbayar
goodnovel comment avatar
Siska zelan Febrina
berbayar ya ...
goodnovel comment avatar
Desy Mutia Nuryanti
sangat2 menarik ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pembantu Rasa Nyonya   Extra Part

    POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan

  • Pembantu Rasa Nyonya   Bab 616. Ending

    Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku

  • Pembantu Rasa Nyonya   Bab 615. Anak-Anak

    Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu

  • Pembantu Rasa Nyonya   Bab 614. Pesan Menyebalkan

    Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan

  • Pembantu Rasa Nyonya   Bab 613. Persiapan

    “Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini

  • Pembantu Rasa Nyonya   Bab 612. Desi Pegawai Teladan

    Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status