Jam weker berbunyi.
Pukul empat pagi, kalau di kampung kami dibangunkan oleh azan subuh. Di sini mana ada?Aku segera mandi dan siap-siap untuk salat subuh. Kemarin Amelia minta dibuatkan bekal sekolah. Menu ayam pesannya, tetapi bukan ayam kentucky.
Tadi malam, aku memasak ayam lengkuas. Ayam dibumbui dan spesialnya parutan lengkuas yang berlimpah. Sengaja aku buat rebusan ayam bunbu agak banyak. Jadi kalau mau makan tinggal goreng saja. Digoreng hingga kering, enak dimakan dengan nasi putih.
Menu ini kesukaan Wisnu. Dia kalau dimasakkan menu ini, alamat nasi terancam habis. Tersenyum aku ingat dia. Bagaimana makannya di kost? Dia sudah enam bulan kuliah di universitas negeri di Malang.
"Mama tidak usah kawatir. Wisnu di asrama, banyak temannya. Urusan makan, Wisnu bisa atur. Jangan kawatir, ya." Dia menenangkan ketika aku tanya tentang pola makannya. Dia tinggal di asrama di dalam areal kampus, jadi lebih aman.
Anakku lebih mandiri, dia adalah kekuatanku. Dia juga yang mendukungku ketika berpisah dengan Mas Bram. Dia menguatkanku ketika aku menangis bahkan berusaha menghiburku, walaupun aku tahu dia juga kecewa dengan papanya.
Baik-baik kau ya, Nak ....
"Bu Rani sudah bangun dari tadi? Maaf saya telat" ucap Bik Inah mengagetkanku.
"Baru aja, Bik. Ini lagi goreng ayam."
"Kapan mulai masaknya. Hmmm ... baunya enak sekali? Bu Rani kalau masak bikin perut lapar. Saya bersih-bersih di depan saja. Daripada ngiler," ujar Bik Inah terkekeh. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
*
"Selamat pagi, Tante." Amelia sudah siap berangkat sekolah. Dia cantik sekali."Ini susunya diminum, ya. Rotinya juga dimakan. Harus sarapan," ucapku sambil menyodorkan segelas susu. Dia minum sedikit, kemudian meneruskan memakai sepatu.
"Ayo ini rotinya. Aaak ...," ucapku menyuapinya dengan roti.
"Tante, aku makan di mobil. Ini bekalku, ya. Makasih tante. Love you. Muach ...," dia menciumku dan berlari terburu-buru.
Hemmm ....
Anak-anak di mana-mana sama. Selalu terburu-buru kalau mau berangkat sekolah.Aku teruskan pekerjaanku di dapur, sekali lagi cek belanjaan hari ini.
*
Daftar belanja sudah. Setelah Tuan Kusuma berangkat kerja, Bik Inah akan belanja.
Makanan pagi sudah aku siapkan. Segelas kopi hitam sedikit gula dan roti.
Sarapannya orang kaya memang lain. Kalau kita di kampung, kalau belum makan nasi itu bukan makan, tapi camilan. Hehehe."Pagi!"
"Pagi, Pak Kusuma. Silahkan makan pagi. Sudah saya siapkan," ucapku.
"Selain tas kerja, apakah ada yang harus dibawa, Pak?" tanyaku untuk memastikan tidak ada yang ketinggalan.
"Hampir saya lupa! Ada map biru, itu proposal proyek di Bali. Pastikan masuk di tas!" teriak Tuan Kusuma sambil menikmati sarapannya.
"Rani! Rani!" teriaknya lagi memanggilku. Aku yang di ruang kerja setengah berlari ke arahnya.
Ada apa ini?
Apa aku ada salah?"Ini bau apa, ya!?"
Tuan Kusuma berdiri di dapur sambil mengendus-endus mencari bau yang dimaksud."Bau apa, Pak?"
"Ini bau masakan. Kamu masak apa?"
Ya ampun, ternyata bau masakan. Aku pikir bau kotoran atau apa. Dia mencium sisa ayam lengkuas yang dibawa Amelia."O bau masakan? Saya tadi masak ayam lengkuas buat bekal Amelia," jelasku sambil menunjukkan sedikit sisa ayam tadi. Diambilnya sedikit untuk dicicipin.
"Hemmm, enak. Kenapa kamu sembunyikan dari saya?!" katanya sambil mengambil satu potong ayam.
"Nanti siang, saya mau dikirim ini, ya? Dan jangan sekali-kali menyembunyikan makanan dari saya," ancamnya sambil mengambil satu potong ayam lagi.
"Pepes udangnya bagaimana, Pak?"
"Besuk!" ucap Tuan Kusuma, kemudian bergegas keluar untuk berangkat kerja.
*
Daftar belanja sudah siap, Bik Inah dan Pak Maman yang berangkat. Aku masih berkutat dengan urusan folder-folder ini yang belum sempat aku pelajari.
Dreetttt .... Dreetttt .... Dreetttt ....
Ponsel kerja berbunyi, aku sebut ponsel kerja karena ini khusus untuk urusan pekerjaan. Disana sudah lengkap nomor telpon yang berhubungan dengan rumah ini.
Amelia kirim pesan w******p.
Terlihat fotonya ketika makan bekalnya yang dia bawa tadi. Ada dua foto, dikasih judul before dan after. Foto makanan masih utuh dan foto tinggal kotak kosong.
[Makasih Tante sayang. Love you]
Aku tersenyum membacanya. Alhamdulillah.[Sama-sama sayang]
[Tante, temanku juga suka]
[Besuk bikin 25 kotak bekal seperti tadi ya. Aku mau traktir temenku][Porsinya dibanyakin][Love you]Apaaa ...!?
25 kotak ayam lengkuas!?Ini namanya tragedi! Alamat semalaman memarut lengkuas ....***
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”