:
Tiga bulan telah berlalu sejak penutupan Gerbang ke-13. Langit tak lagi diliputi retakan cahaya, dan medan energi abnormal di sekitar Pegunungan Hua telah menghilang. Para tetua sekte di seluruh negeri menganggap bencana itu telah berlalu. Tapi bagi Bo Ren, malam-malam sunyi masih dihantui oleh kilasan cahaya tubuh Yue Lang yang menghilang dalam ritual pengorbanan.Di kedalaman perpustakaan kuno Kuil Tiga Cahaya yang mulai direnovasi, Bo Ren duduk bersila, membuka satu demi satu naskah yang ditinggalkan Lian Tian. Setiap lembaran terasa seperti bisikan dari masa lalu—catatan, diagram formasi roh, bahkan fragmen-fragmen ajaran yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya.“Kenapa semua ini seperti puzzle yang belum selesai?” gumamnya.Suara langkah ringan mendekat. Mei Lin muncul, mengenakan jubah putih lembut. Di tangannya, sebuah gulungan tua dari perpustakaan timur.“Kau harus lihat ini,” katanya sambil menyerahkan gulungan itu.: Hujan turun perlahan di pegunungan selatan, membasahi tanah berbatu dan dedaunan yang sudah tua. Di antara kabut yang turun dari puncak, Ye Qian dan Lin Xue menuruni jalan setapak menuju sebuah gua tersembunyi. Mereka telah menempuh perjalanan selama dua hari sejak meninggalkan kuil tua.“Tempat ini... terasa berbeda,” gumam Ye Qian sambil menatap sekeliling. “Ada sesuatu di udara.”Lin Xue mengangguk. “Ini bukan tempat biasa. Gua ini adalah peninggalan generasi pertama Sekte Hitam Kabut. Tapi mereka bukanlah sekte jahat seperti yang dikatakan para pendongeng.”Ye Qian menatapnya tajam. “Kau bagian dari mereka?”Lin Xue tak langsung menjawab. Ia berhenti di depan batu besar yang menutupi pintu masuk gua, lalu menyentuh sebuah simbol. Batu itu perlahan bergeser, memperlihatkan lorong gelap di baliknya.“Aku dilahirkan di tempat ini,” katanya pelan. “Sekte ini bukan sekadar tempat berlindung. Ini adalah markas dari mereka y
: -----Lorong demi lorong mereka lewati. Dinding Makam Langit Keabadian seakan hidup, bergema dengan bisikan-bisikan dari masa lalu. Suara-suara yang tak bisa dipahami menyusup ke telinga, menggoda hati dengan janji-janji kuasa dan keabadian. Namun Bo Ren dan Mei Lin tetap melangkah maju, menahan tekanan yang membuat kepala mereka nyeri seperti diremas.“Ini ujian terakhir…” gumam Bo Ren. “Segel terakhir pasti tak dijaga oleh benda, tapi oleh kehendak.”Mereka akhirnya tiba di ruang utama: sebuah aula bundar dengan langit-langit setinggi lima puluh meter, di mana lambang Mata Langit—simbol milik Lian Tian—bersinar lemah di tengah ruangan. Di bawahnya, terdapat lubang besar yang memancarkan aura hitam pekat.“Di sanalah inti segel,” kata Mei Lin dengan suara berat. “Tapi… kenapa terbuka?”Sebelum Bo Ren sempat menjawab, suara langkah kaki menggema dari balik kabut.Dari balik reruntuhan altar, muncullah seorang pemuda berwaj
Makam Langit Keabadian dan Bangkitnya Kegelapan---Angin ribut terus berputar, mengaduk kabut dan kilatan petir di langit Puncak Hujan Bintang. Saat Bo Ren dan Mei Lin berdiri di altar, gulungan yang baru menyatu itu mulai memancarkan cahaya biru pucat, membentuk peta tiga dimensi di udara.“Lihat itu…” gumam Mei Lin dengan mata membelalak.Peta itu menampilkan pegunungan berlapis kabut, diapit dua sungai hitam yang mengalir berlawanan arah. Di tengahnya berdiri struktur raksasa seperti stupa kuno yang tertutup tanaman merambat—Makam Langit Keabadian. Dari pusat struktur itulah pancaran energi gelap berasal, menjalar dan menggerogoti langit seperti tinta dalam air.“Tempat ini seharusnya disegel oleh Lian Tian sendiri,” kata Bo Ren, rahangnya mengeras. “Kalau itu terbuka…”“Seluruh dunia roh akan runtuh,” potong penjaga bertopeng burung hantu. “Kekuatan di dalam makam itu bukan milik dunia ini. Itu sisa-sisa kehendak dari dunia luar—
Puncak Hujan Bintang dan Rencana Para Tetua------Perjalanan menuju Puncak Hujan Bintang tidak seperti yang dibayangkan Bo Ren dan Mei Lin. Terletak di ujung barat Dataran Emas, gunung itu tidak hanya terjal dan berbatu, tapi juga dipenuhi anomali langit yang membuat para petualang kehilangan arah. Bahkan kompas spiritual Mei Lin sempat berputar-putar liar selama hampir dua jam sebelum mereka menemukan jalur yang tepat melalui sinyal kabut merah samar di malam hari.“Kita semakin dekat,” ujar Mei Lin sambil memperhatikan kilatan ungu di langit malam. “Langit di sini seperti menunggu sesuatu.”Bo Ren menatap ke atas. Awan bergerak melingkar seperti pusaran. Bintang-bintang berkedip tidak alami, seolah mengirimkan pesan yang tak bisa dibaca manusia.---Puncak Hujan Bintang ternyata bukan sekadar tempat tinggi. Di atas tebing yang menjulang ribuan kaki dari permukaan tanah, terdapat dataran lapang yang dijaga oleh delapan monolit
Paviliun Tersegel dan Wanita Berjubah Cermin ------- Kabut tipis menggulung di lereng Gunung Changlu, menyelubungi hutan pinus yang menjulang dengan kesunyian mematikan. Bo Ren dan Mei Lin menuntun kuda mereka dengan hati-hati, mengikuti jalur setapak yang hampir tak tampak di peta tua yang mereka dapatkan dari gulungan langit. “Hutan ini terasa... tak hidup,” gumam Mei Lin, suaranya nyaris tenggelam dalam kabut. Bo Ren mengangguk. “Terlalu tenang. Tak ada suara burung. Tak ada serangga. Seperti waktu berhenti bergerak.” Setelah berjalan hampir tiga jam, mereka tiba di depan sebuah gerbang batu yang tertutup lumut tebal. Gerbang itu setengah runtuh, namun masih mempertahankan pahatan lambang kuno: Sekte Kabut Jiwa—tiga garis melingkar yang bertemu di satu titik pusat. Mei Lin mengusap pilar gerbang itu. “Konon tempat ini dulu markas utama sekte sesat sebelum diburu habis oleh pasukan Lian Tian.”
Jejak di Kota Kaca dan Serangan Pertama Qin Zhao-----Malam turun perlahan saat Bo Ren dan Mei Lin memasuki Kota Kaca, sebuah kota pelabuhan di barat daya yang terkenal dengan bangunan-bangunan beratap kaca biru yang bersinar di bawah sinar bulan. Tempat itu menjadi pusat perdagangan dan informasi gelap, tempat di mana para pembunuh bisa menyamar sebagai pemusik jalanan, dan mata-mata bisa menyamar sebagai pelayan penginapan.Mei Lin menarik tudung jubahnya lebih dalam, matanya tajam menatap ke segala penjuru. “Kota ini penuh mata,” bisiknya pada Bo Ren. “Kita hanya perlu satu langkah salah untuk dicincang hidup-hidup.”Bo Ren mengangguk. Ia menyimpan kotak logam hitam di balik jubah, dekat dengan tubuhnya. “Fragmen ini menarik perhatian. Kita harus cepat menemukan petunjuk ketiga sebelum para pengejar mendekat.”---Mereka tiba di sebuah penginapan tua bernama Rumah Bayang Air. Pemiliknya, seorang pria tua bertelinga sobek, men