Home / Pendekar / Pemilik Kitab Seribu Bayangan / bab 34:: Rahasia Ibu yang Terkunci di Tebing Tak Bernama

Share

bab 34:: Rahasia Ibu yang Terkunci di Tebing Tak Bernama

Author: Bang JM
last update Huling Na-update: 2025-05-04 11:11:20

Langit bergulung kelam di atas Tebing Tak Bernama. Awan-awan hitam menggantung rendah, seolah hendak menelan dunia. Angin gurun meniupkan aroma besi dan bunga kering, membawa kabar petaka. Lei Tian berdiri di tepi tebing, wajahnya keras dan penuh tanya. Di belakangnya, Bayangan Kembar berjaga dalam formasi waspada.

"Kau yakin tempat ini menyimpan jawabannya?" tanya Xiu Lan pelan, mata tajamnya menelusuri celah-celah batu yang ditumbuhi lumut darah.

Lei Tian mengangguk pelan. "Setiap malam... suara itu memanggil dari tempat ini. Aku mengenal suara ibu."

Di balik dinding tebing yang menghitam, tersembunyi celah sempit. Lei Tian melangkah masuk lebih dulu, jari-jarinya menyentuh dinding yang hangat aneh, seperti kulit makhluk hidup. Xiu Lan mengikutinya, sementara Bayangan Kembar tetap berjaga di luar.

Di dalam lorong batu, udara begitu berat, seolah ada tekanan jiwa yang menahan setiap langkah. Cahaya dari batu giok yang dibawa Lei Tian menyorot dinding yang dipenuhi ukiran kuno: gambar
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 35: Jejak Darah di Kota Hantu

    Langit jingga menyelimuti Kota Hantu saat Lei Tian dan Mei Hua tiba di gerbangnya. Angin panas berdesir dari gurun, membawa aroma kematian dan pasir yang asin. Kota itu, dulunya pusat perdagangan para pemburu artefak, kini ditinggalkan setelah wabah misterius menghantamnya belasan tahun silam. Namun menurut catatan dalam Kitab Seribu Bayangan, di tempat inilah darah terakhir dari Sekte Bayangan Tua tertumpah.Mei Hua menggenggam erat gagang pedangnya. "Kau yakin altar darahnya ada di sini?"Lei Tian mengangguk perlahan, matanya menyapu reruntuhan bangunan yang dipenuhi lumut dan bayang-bayang. "Kita mencari kuil tua di tengah kota. Di situlah pemimpin terakhir Sekte Bayangan dibantai."Langkah mereka menggema pelan di antara lorong-lorong sunyi, suara debu yang beterbangan menjadi musik latar yang suram. Bangunan-bangunan batu menjulang seperti kuburan, dengan jendela-jendela menganga seperti mata mayat yang menatap kosong.Tiba-tiba, langkah Mei Hua terhenti. Ia mengangkat tangan, is

    Huling Na-update : 2025-05-04
  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 36:Warisan Leluhur Bayangan

    Langit memerah seakan ikut menyaksikan pertumpahan darah yang baru saja terjadi di gurun tandus itu. Tubuh Lei Tian masih dipenuhi luka, napasnya berat, dan darah menetes dari ujung jarinya. Namun matanya bersinar penuh tekad. Di hadapannya, reruntuhan altar batu yang baru saja meledak menyisakan lubang besar yang menguarkan energi pekat."Tempat ini... bukan sekadar altar," gumam Lei Tian lirih sambil menatap pusaran bayangan yang mengambang di tengah kawah. Di dalamnya tampak bayangan seorang pria paruh baya berambut panjang, mengenakan jubah hitam bersulamkan benang merah. Tatapannya tajam, seperti menembus waktu."Lei Tian... cucu dari Daratan Bayangan... akhirnya kau datang juga."Suara itu terdengar langsung di benaknya. Tanpa suara, tanpa gerak bibir. Hanya gema mental yang langsung menusuk kesadaran.Lei Tian mundur selangkah, tubuhnya melemas. "Siapa kau?"Bayangan itu tersenyum samar. "Aku adalah Bai Xuan, leluhur terakhir dari Sekte Seribu Bayangan. Kitab yang kau warisi ad

    Huling Na-update : 2025-05-04
  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 37:Tiga Tetua Melawan Satu Bayangan

    Hening merayap di antara deretan pilar batu hitam yang menjulang seperti tombak raksasa di tengah Lembah Bayangan. Suasana terasa seperti menjelang badai. Debu berputar pelan di udara, dibawa angin malam yang menusuk. Di tengah lembah itu, Lei Tian berdiri dengan mata tertutup, napasnya dalam dan teratur.Dari arah timur, tiga sosok berjubah kelabu melangkah perlahan. Ketiganya adalah Tetua Agung dari Sekte Langit Tua, Sekte Pedang Abadi, dan Sekte Mata Rembulan. Mata mereka penuh kewaspadaan, namun juga kesombongan terselubung. Mereka adalah legenda yang telah membantai generasi terakhir Sekte Bayangan bertahun-tahun lalu."Lei Tian... anak dari pengkhianat bayangan, kini kau menantang kami bertiga?" ujar Tetua Langit Tua dengan suara serak namun tajam seperti bilah.Lei Tian membuka matanya perlahan. Pupils-nya menghitam sepenuhnya, refleksi dari teknik Seribu Bayangan yang telah mencapai puncaknya. Tapi tak ada amarah di wajahnya, hanya ketenangan seperti danau sebelum retakan es.

    Huling Na-update : 2025-05-04
  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 38: Darah dan Nama IbuJejak Merah dan Janji Terakhir

    Langit gurun tampak memerah, bukan oleh matahari, tapi oleh pancaran darah yang meresap di tanah dan membentuk jejak-jejak membara. Pasir terbang ditiup angin, menggulung seperti naga yang mengamuk. Di tengah padang gurun, Lei Tian berdiri dengan tubuh berlumur debu dan luka, napasnya memburu.Bayang-bayang kloning-nya telah lenyap satu per satu. Mereka tidak dapat menahan kekuatan besar dari pengawal rahasia Sekte Pedang Hitam yang menyergapnya tadi malam."Kau kehabisan kekuatan," ucap seorang pria tua berambut putih dengan jubah hitam legam. Dialah Bai Huan, tetua pembantai dari Sekte Pedang Hitam.Lei Tian tidak menjawab. Pandangannya lurus, tatapannya tajam seperti ujung tombak. Ia tahu satu langkah saja salah, ia akan mati."Kitab itu... serahkan padaku. Aku akan pastikan tubuhmu dikubur utuh, bukan dicabik binatang gurun," lanjut Bai Huan, matanya menyipit dengan senyum licik.Lei Tian menyeka darah di bibirnya dengan punggung tangan. "Banyak orang telah mencoba merampas kitab

    Huling Na-update : 2025-05-04
  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 39:Tebusan Darah dan Duka Lama

    : Langit di atas Gurun Bayi Merah memerah bagai luka terbuka. Angin yang bertiup membawa bau besi darah dan keringat yang mengering. Di atas bukit pasir, Lei Tian berdiri kaku, matanya memandang altar batu berlumur darah yang menjulang seperti taring iblis."Itu... tempat pengorbanan terakhir para anggota Sekte Bayangan," bisik Yu'er, suaranya nyaris tidak terdengar.Lei Tian tidak menjawab. Tangannya terkepal, dan dari sela-sela jari, darah mengalir karena kuku menancap terlalu dalam. Bayangan-bayangan semu berkelebat di pikirannya: suara tangisan, jerit orang tua, dan tawa kejam seorang pria berjubah merah."Kau tahu siapa yang memimpin pembantaian itu?" tanya suara berat di belakangnya. Elder Mo muncul dari balik reruntuhan, jubah kelabunya melambai seperti abu tertiup angin.Lei Tian berbalik perlahan. Sorot matanya tajam. "Aku tahu. Kaisar Bayangan Merah. Tapi aku ingin tahu mengapa. Mengapa ayah dan ibuku harus mati? Mengapa mereka dianggap ancaman?"Elder Mo menunduk sejenak,

    Huling Na-update : 2025-05-04
  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 40: Jejak Kaisar Bayangan Merah

    Jejak Kaisar Bayangan MerahLangit di atas Gurun Bayi Merah memendar merah saga, seakan terpantul dari deburan pasir yang membara di bawahnya. Angin gurun menggigit kulit dan membawa bisikan lirih yang membuat bulu kuduk berdiri. Lei Tian berdiri di atas gundukan pasir, matanya menyipit menatap horison. Debu-debu halus menempel pada jubahnya yang robek-robek, hasil bentrok sebelumnya di Altar Darah. Di tangannya masih menetes darah, bukan darahnya sendiri, tapi darah musuh yang nyaris mengoyaknya tadi malam."Tian... kau yakin ini jalan yang benar?" suara itu datang dari belakangnya, serak dan berat. Lian Fei, gadis bermata tajam yang setia menemaninya sejak peristiwa Lembah Lupa, memandangnya penuh keraguan.Lei Tian tidak langsung menjawab. Dia menatap selembar kain kuning tua yang tergulung di genggaman kirinya—peta kuno yang ia temukan di bawah altar. Ada satu lambang yang menggoda pikirannya: sebuah mata tunggal di tengah lingkaran berbayang merah. Simbol Kaisar Bayangan Merah."

    Huling Na-update : 2025-05-04
  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 41: Pertemuan Dua Jiwa—Kaisar dan Pewaris

    Suasana berubah drastis ketika retakan di altar makam Kaisar Bayangan Merah melebar. Angin panas menyapu dataran gurun dengan suara jeritan halus yang terdengar seperti bisikan arwah. Langit yang tadinya jingga berubah menjadi merah gelap, seperti tirai darah yang menyelimuti dunia.Lei Tian berdiri kaku di depan altar, matanya membelalak menyaksikan pancaran cahaya hitam yang meledak dari dalam retakan. Bayangan-bayangan merayap ke luar, seperti tangan-tangan hantu yang hendak mencengkeram dunia hidup."Apa ini... energi kutukan?" gumamnya, sambil mundur satu langkah.Li Rou melangkah maju, menatap ke dalam retakan dengan rahang mengeras. "Itu... bukan sekadar makam. Ini adalah segel. Dan kita baru saja membukanya."Tanpa peringatan, sebuah teriakan melengking menggema dari dalam celah itu. Dari dalamnya, sesosok makhluk berselubung kain hitam perlahan merangkak keluar. Tubuhnya tinggi, kurus, dan kulitnya penuh dengan rune merah menyala. Kedua matanya kosong, tapi menyala seperti ba

    Huling Na-update : 2025-05-04
  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 42:Bayangan yang Terus Mengejar

    Lei Tian terbangun dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, dan matanya memandang langit malam yang penuh bintang. Ia telah kembali dari dunia bayangan—namun semuanya terasa berbeda. Udara di sekitarnya tampak lebih gelap, dan dunia tampak seperti dipenuhi bisikan-bisikan halus yang hanya bisa didengar oleh mereka yang terikat dengan kegelapan.Namun satu hal pasti—ia telah berubah.Tangannya bergetar saat ia menatap telapak tangannya. Energi bayangan yang pernah menakutkannya kini terasa menyatu dalam darah dan nadinya. Aura hitam pekat yang dulu asing kini menjadi bagian dari jiwanya.“Aku… tidak bisa kembali seperti dulu,” bisiknya lirih.Langkah kaki terdengar dari balik pepohonan. Lei Tian segera berdiri, bersiap menghadapi ancaman. Namun, yang muncul adalah sosok yang familiar—Wu Shuang, kakak seperguruannya yang telah lama ia anggap hilang.“Wu Shuang?” Lei Tian melangkah maju dengan mata lebar.Wu Shuang tampak berbeda. Wajahnya lebih tirus, sorot mata

    Huling Na-update : 2025-05-04

Pinakabagong kabanata

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 57:

    “Aku adalah bagian dari bayangan yang tidak bisa kau hancurkan. Kau sudah menutup satu jalan, tapi yang lainnya sudah terbuka. Dan kini, kau akan merasakannya.”Jin Wu mengangkat tombaknya, siap untuk menyerang, tetapi tubuhnya terasa terikat oleh kekuatan tak terlihat yang mengalir dari sosok itu. Ia berusaha bergerak, namun seolah terhimpit oleh kekuatan yang jauh lebih besar.“Jin Wu… jaga dirimu,” kata Yara dengan tegas, meskipun suaranya terdengar lemah. “Kita harus menghadapinya bersama.”Sosok itu melangkah maju, tubuhnya melayang di atas tanah seperti bayangan yang hidup. Saat ia bergerak, langit semakin gelap, dan angin berputar lebih kencang, menciptakan tornado mini di sekitar altar. “Kau masih belum mengerti, Yara,” suara itu semakin jelas dan menembus pikiran mereka. “Kau bukan hanya berhadapan dengan bayangan yang kau kenal. Kau sedang berhadapan dengan takdir yang lebih besar. Dan takdirmu… adalah menjadi

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 56:

    Bayangan itu meraung, melangkah maju, dan tiap pijakan membuat tanah pecah. Jin Wu segera berdiri di antara altar dan makhluk itu, mengangkat tombaknya. “Kalau kau adalah sisi gelap Tian… maka aku yang harus menghentikanmu. Demi dia. Demi kami.”Bayangan mengangkat tangan besar dan mencengkeram udara. Dari kehampaan, sebuah pedang gelap muncul, berkilat seperti obsidian cair.Jin Wu menelan ludah, lalu melompat—dua bayangan bertabrakan. Tombak dan pedang beradu, menimbulkan gelombang kejut yang mengguncang seluruh puncak gunung. Batu-batu runtuh dari tebing, namun Yara tetap fokus, menggumamkan tiap bait mantra dengan mata tertutup. “Jiwa yang tercerai... terang yang tersimpan dalam gelap... kembalilah…”Darah mengucur dari lengan Jin Wu. Pedang bayangan itu membelah udara seperti kilat, melukai tubuhnya tanpa ampun. Tapi ia terus menyerang, dengan seluruh kekuatan dan tekad yang Lei Tian wariskan padanya.

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 55:

    Lei Tian mencengkeram gagang pedangnya. Matanya berkilat. “Bayangan sudah mulai bergerak.”Dari balik celah bebatuan, sesosok tubuh samar muncul—tingginya hampir dua meter, wajahnya tanpa mata, hanya lubang hitam dengan suara dengung mengerikan keluar dari mulutnya. Makhluk itu melayang di atas tanah, tangan-tangannya seperti ranting kering menggapai. “Bayangan luka,” gumam Jin Wu. “Ini yang terbentuk dari jiwa-jiwa yang menolak diampuni.”Lei Tian maju tanpa ragu. “Biarkan aku yang hadapi. Kalian terus naik.” “Jangan bodoh,” seru Yara. “Kita bertiga!”Lei Tian menoleh, tatapannya tajam namun ada ketulusan di sana. “Yara. Aku butuh kau menjaga Jin Wu. Di atas sana… hanya satu dari kita yang boleh membaca mantra.” “Apa maksudmu?!” Jin Wu memutar tubuhnya. “Kau bilang kita bertiga—” “Aku bohong.”Hening. Hanya desau angin dan suara napas tercekat Yara

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 54:

    Suasana membeku. Lei Tian memejamkan mata, menundukkan kepala.“Aku tak minta dimaafkan. Tapi aku ingin kau tahu… aku pun tak pernah tidur nyenyak sejak hari itu.”Jin Wu menarik napas panjang, lalu menenggak arak dari cangkirnya. Ia menghela napas keras, lalu berkata lirih:“Tiga tahun lamanya aku ingin membunuhmu.”Mendengar itu Lei Tian tak terkejut. Ia hanya menatap lurus ke depan, tenang. “Kenapa tidak sekarang saja? Hentikan semua ini sebelum aku berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk dari Chaos.”Jin Wu beralih memandangnya. Untuk pertama kalinya, wajahnya menampakkan luka yang tak terlihat—rasa kecewa, kehilangan, dan keraguan.“Karena… meski aku membencimu, aku juga tahu… kau satu-satunya yang bisa menyelamatkan dunia ini,” katanya sambil menatap jauh.Lei Tian perlahan berdiri. Debu tanah menempel di lutut jubahnya. Angin berembus pelan, mengibarkan helai

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 53:

    Lei Tian mengangguk pelan. “Mereka tidak tahu… kegelapan belum benar-benar pergi.”Yara menyusul dari belakang, rambutnya dikepang dua, wajahnya lebih tenang dari biasanya. Ia membawa sekantong kue kacang dan menyerahkannya ke Lei Tian.“Untuk kenangan. Ini dari bibi tua penjual di ujung jalan. Dia bilang kamu dulu sering ngutang.” Lei Tian terkekeh kecil, menerima kantong itu. “Aku ingat… waktu itu aku kabur dari kejaran penjaga karena tak bayar.”Semuanya tertawa. “Kamu tidak pernah berubah,” sindir Yara, tersenyum tipis.Lei Tian membuang wajah, “Tapi aku takkan pernah punya waktu untuk berubah lebih jauh lagi, bukan?”Yara terdiam. Suasana beku sesaat. Matanya sedikit redup. Ia menggigit bibirnya sebelum berkata: “Jadi kau benar-benar akan pergi… ke dimensi bayangan?”Lei Tian menatap langit. “Jika aku tetap di sini, aku akan menjadi ancaman seperti Chaos

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 52:

    Udara terasa sunyi, namun bukan hening yang damai—melainkan kosong, seolah dunia masih belum percaya bahwa Raja Chaos benar-benar musnah. Awan yang sebelumnya selalu kelabu kini membuka celah, dan sinar matahari perlahan menembus permukaan bumi yang hancur dan menghitam.Lei Tian masih berlutut, bahunya naik-turun. Napasnya berat. Tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena beban kekuatan yang belum sepenuhnya ia pahami.Jin Wu mendekat, berlutut di sampingnya, menepuk pelan punggungnya. “Hei… masih hidup, pahlawan?”Lei Tian mengangkat kepalanya. Wajahnya penuh keringat dan debu, tapi matanya—emas dan hitam—masih bersinar. “Rasanya… seperti ada seluruh galaksi yang mendesak di balik mataku.” “Kau tampak seperti seseorang yang baru saja mencicipi neraka dan kembali dengan sepotong surga,” sahut Yara, berdiri sambil membersihkan ujung jubahnya yang robek.Yara kemudian berj

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 51:

    “Aku hanya ingin... dikenang.”Lei Tian menyentuh kepala anak itu. Cahaya menyebar dari telapak tangannya.“Kalau begitu, biarkan aku... mengakhirinya dengan tenang.”Dan dalam sekejap, dunia dalam kesadaran itu hancur—bukan karena kebencian, tapi karena penerimaan.-Kabut itu menjerit.Begitu kesadaran Lei Tian masuk lebih dalam dan menyentuh inti Raja Chaos, dunia bayangan mulai retak seperti cermin dihantam palu. Retakan itu menyebar cepat, memecah lapisan demi lapisan dimensi yang melilit makhluk purba itu selama ribuan tahun.Tubuh raksasa Raja Chaos menggeliat liar di dunia luar. Dari setiap pori tubuhnya, semburan bayangan keluar bagaikan darah kotor. Jin Wu dan Yara terus bertahan, tapi napas mereka kini berat, gerakan mereka tersendat. Luka mulai menghiasi tubuh keduanya.“Dia... dia sekarat!” teriak Yara, sembari mengayunkan tongkatnya yang berpendar makin redup.

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 50: Raja Chaos dari Dalam Gerbang

    Langkah kaki Lei Tian terhenti saat tanah di bawahnya menggeliat seperti makhluk hidup. Setiap jejak yang ia tinggalkan mengeluarkan suara lengket dan basah. Dunia di dalam Gerbang Ketiga ini bukan hanya gelap—ia hidup, dan ia menolak kehadiran cahaya.Yara menggenggam tongkatnya erat. Ujungnya menyala redup, mengusir sebagian kabut kelabu yang menggantung. Jin Wu berada di belakang mereka, sorot matanya tajam, tapi ada kegamangan yang tak biasa di wajahnya.“Ini… bukan dunia,” bisik Yara. “Ini... kesadaran.”Lei Tian mengangguk perlahan. “Kesadaran Raja Chaos. Inilah bentuk pikirannya… sebelum ia terperangkap ribuan tahun lalu.”Langit di atas mereka terus berdenyut seperti dinding jantung, dan dari segala arah terdengar bisikan tak berujung.“Kembali… kembali… darahmu adalah milik kami…”Tiba-tiba, tanah di depan mereka membelah, dan dari celah itu muncul sosok yang begitu tinggi hingga menyentuh l

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   bab 49:Gerbang Ketiga dan Kelahiran Kegelapan Baru

    Hening.Setelah ledakan cahaya yang menyelimuti puncak altar, dunia seolah menahan napas. Debu masih berjatuhan perlahan. Angin berhenti berhembus. Burung-burung bayangan yang biasa berputar di atas langit Bayangan Timur menghilang—lenyap ke celah realitas.Lei Tian berdiri pelan dari reruntuhan. Napasnya berat. Luka-luka di tubuhnya menghitam dan pulih sendiri—bukti bahwa kekuatan Raja Bayangan masih mengalir dalam nadinya.“Kau menang, untuk saat ini,” bisik suara bayangan dalam benaknya. Bukan dari Raja Bayangan, tapi dari warisan kekuatan yang kini menyatu dengannya.Lei Tian menatap tangannya. Urat-uratnya tampak seperti aliran tinta hitam di atas kulit. Sesekali berkilat samar keemasan. Cahaya dan kegelapan itu belum sepenuhnya berdamai. Tapi untuk saat ini, dia bisa mengendalikannya.Tiba-tiba…DUM!Suara guntur meledak dari langit. Tapi bukan suara biasa—melainkan gema dari dimensi lain. Langit di atas altar mulai menghitam, lalu robek perlahan seperti kain tua. Retakan bercah

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status