MasukMereka pun menuju ke paviliun untuk bersiap. “Jangan-jangan kita beneran akan berhenti kerja?” Intan bertanya pada Maria.“Gak mungkin sih kayaknya. Mungkin perpanjangan kontrak kerja saja. Udah jangan berpikir yang bukan-bukan,” jawab Maria. Meski jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Ia juga sepemikiran dengan Intan. Pasti Devan akan menghentikan kontrak kerja mereka. Sebetulnya sejak 2 minggu yang lalu dia dan Intan membahas masalah ini. Devan tak sama sekali menyinggung soal kontrak mereka yang akan diperpanjang. Luna pun tidak ada membahas itu, menurut Maria harusnya kalau memang kontrak kerja akan diakhiri mereka sudah diberitahu jauh-jauh hari. Dan saat ini dia harus berpikir positif agar perpanjangan kontrak bisa dilakukan. “Sedih banget kalau sampai kehilangan pekerjaan ini, aku udah nyaman banget punya majikan super baik kayak Nyonya. Rasanya bekerja di tempat lain belum tentu menemukan majikan seperti itu. Apa yang beliau makan kita juga makan yang sama. Tayang beliau
Inem berjalan menuju paviliun tempat para pelayan tinggal. Area itu berada sedikit terpisah dari rumah utama, sehingga ia perlu melewati jalur yang biasa dilaluinya setiap pagi ketika harus memanggil para pekerja yang terlambat untuk bekerja. Saat sampai di bagian paviliun, ia langsung menuju kamar yang ditempati Suster Intan dan Suster Maria.Tok tok“Maria, Intan,” panggilnya. Tak ada jawaban dan tak terdengar suara apapun dari dalam. Inem tahu ini memang belum jam kerja, tapi biasanya mereka sudah bangun jam segini. Sementara pelayan Yang lain sudah mulai sibuk bekerja.“Mariaaaaa, Intan. Tuan Devan mau bicara,” ucapnya lagi berharap kali ini mendapat jawaban dari dalam kamar yang ditempati kedua pengasuh si kembar. Tapi nyatanya tidak. Ia mengetuk pintu beberapa kali dengan harapan salah satu dari mereka membuka, namun pintu tetap saja tidak ada suara apapun dari dalam. Tidak tidak ada langkah kaki mendekati pintu kamar, tidak ada tanda-tanda kalau Maria dan Intan ada dalam kamar
“Mommyyyyyyyy,” teriak Nia dari lantai dua. Suaranya melengking seperti biasa setiap kali dia bangun dan tak menemukan Luna di sampingnya. Itu sudah jadi kebiasaan sejak lama. Begitu matanya terbuka dan tak melihat sosok yang paling ia cari, ia akan langsung memanggil. Semua orang bahkan seperti sudah hafal kebiasaan gadis kecil itu setiap kali bangun pagi.“Sebentar, sayang,” jawab Luna sambil sedikit mempercepat gerakannya untuk menata hidangan di atas meja makan. Ia tahu kalau terlambat sedikit saja, Nia bisa terus berteriak sampai semua orang di rumah ikut mendengar.Dari arah ruang tamu, Devan menatap Luna. “Samperin dulu, sayang. Nanti ajak turun sarapan sekalian perpisahan sama susternya,” pintanya. Luna mengangguk pelan, lalu memberi isyarat pada pelayan untuk meneruskan pekerjaannya menata makanan.Ia naik ke lantai atas. Langkahnya cepat, karena sudah sangat hafal bagaimana anak kembarnya bisa berubah suasana hati hanya karena menunggu beberapa detik lebih lama dari yang me
Pagi ini kediaman keluarga Wijaya masih terasa tenang. Hari baru saja dimulai, dan Devan sudah bangun lebih cepat dari biasanya. Ia tidak menunggu alarm ataupun suara sang istri untuk membangunkannya. Entah karena pikirannya masih terpaku pada rencana hari ini, atau memang ia ingin menyelesaikan semuanya sebelum anak-anak bangun, yang jelas ia tak ingin menunda lebih lama lagi. Ryan juga akan datang sebentar lagi, karena tanggung jawab suster itu adalah Ryan, dari mencarikannya dan memilih suster terbaik serta menyiapkan kontrak kerja untuk kedua susternya.Ia langsung membersihkan diri tanpa menunda waktu lagi. Biasanya ia harus menunggu beberapa menit sebelum benar-benar siap memulai hari, tetapi kali ini semua terasa lebih cepat. Sementara itu, anak-anak masih tidur di atas ranjang. Selimut mereka belum bergerak, menandakan si kembar masih terlelap dan belum sadar kalau pagi sudah datang.Luna juga sudah bangun sejak subuh. Ia berada di dapur, menata bahan-bahan yang akan dipakai
Nia menjawab, “kami mau makan bakso, dad. Sepertinya bakso yang besar-besar punya anak kembar banyak itu enak deh. Tapi yang keju ya.”Devan sempat mematung sambil memandang keduanya secara bergantian. Bukan karena marah atau bingung, tapi lebih karena mencoba memahami maksud dua anak yang selalu punya cara unik dalam menjelaskan sesuatu. Dua pasang mata kecil itu memandangnya tanpa rasa bersalah, seolah apa yang mereka katakan benar-benar masuk akal.Devan mengernyit heran, sejak kapan ada bakso punya anak kembar? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. El dan Nia memang sering memberikan istilah aneh untuk makanan atau apapun yang ingin mereka minta, tapi kali ini menurutnya cukup membuat kepala bekerja lebih keras untuk berpikir. Ia sempat membuka mulut, ingin memastikan apakah ia benar-benar mendengar hal yang sama seperti apa yang keluar dari bibir anak-anaknya, namun belum sempat ia bertanya, suara istrinya terdengar begitu lembut di telinganya. Penjelasan Luna justru membua
Setelah pelayan restoran itu pergi, Devan, Luna, dan neneknya langsung mulai menyantap makanan sambil mengobrol. “Jadi, apa yang mau kamu katakan, Dev?” tanya sang nenek. “Besok kontrak kerja kedua suster El dan Nia berakhir. Rencananya, Devan dan Luna tidak memperpanjang lagi kontrak itu. Tapi kami akan tetap memberikan kompensasi supaya mereka punya modal untuk memulai usaha atau apa pun. Yang penting, kita bertanggung jawab waktu memberhentikan mereka secara mendadak. Lagian, anak-anak lebih sering sama Mommynya. Nanti bisa dibantu sama Bi Inem aja,” ujar Devan. Sang nenek menoleh ke cucu menantunya. “Memangnya kamu bisa ngurus dua anak yang super aktif itu, sayang?” Terkadang Nyonya Wijaya memang kewalahan melihat Luna dan dua pengasuhnya yang dibuat sibuk oleh si kembar. Meskipun tidak setiap hari mereka banyak tingkah, tetap saja Luna yang paling sering dibuat kerepotan. Apalagi kedua anak itu sangat cerdas, bahkan bisa dikatakan mereka punya kemampuan berpikir di atas an







