Sambaran petir menyilaukan, diikuti guntur yang mengguncak jendela kamar, seolah mencoba menembus benteng kemewahan yang terisolasi dari dunia luar. Suara itu membuat Nora terlonjak dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata masih berkabut, ia menoleh ke samping dan menemukan Dirga sudah duduk di tepi ranjang.Punggungnya yang telanjang hanya ditutupi selembar selimut yang melorot hingga ke pinggang, membentuk bayangan gelap di otot-ototnya yang kencang. Ia diam, menatap ke kegelapan malam di luar jendela, sebuah patung yang diterpa ketegangan yang tak terlihat.Nora tahu lelaki itu itu lelah, ia bisa merasakannya dari cara bahunya yang sedikit terkulung, namun sesuatu yang lain membuatnya terjaga."Mas Dirga?" suara Nora serak, masih berat dengan sisa-sisa kantuk. "Kok belum tidur?"Dirga menoleh perlahan, wajahnya di bayangan cahaya redup dari luar, matanya bermandakan ketegangan. Ia mengusap puncak kepala Nora dengan lembut, sebuah gerakan yang bertentangan dengan kekakuan tubuh
"Mas..."Satu kata itu meluncur dari bibir Nora, serak dan lirih, terjepit di antara desah napas yang memburu. Itu adalah sebuah doa, sebuah pertanyaan, dan sebuah penyerahan, semua tercampur menjadi satu. Pandangannya, yang berkabut oleh hasrat, tak sengaja bertemu dengan bayangan mereka di cermin raksasa yang menghiasi dinding ruang kerja. Dan pemandangan itu membuatnya tercekik.Dicermin, ia melihat dirinya sendiri dengan rambut berantakan, wajah memerah, dan mata yang penuh dengan permintaan. Kemeja putih milik Dirga yang tadi ia kenakan kini tergeletak bebas di lantai marmer yang dingin, seperti kulit ular yang dibuang. Yang tersisa hanyalah lingerie hitam tipis, sebuah kontras tajam yang menonjolkan warna kulitnya yang porselen. Dua potong kecil kain itu hampir tidak cukup untuk menutupi apa yang seharusnya tetap privat, membingkai payudaranya yang mengembang dengan napas dan lekukan pinggulnya.Dan di belakangnya, berdiri Dirga. Seorang predator yang tampan, dengan mata yang
Suasana malam itu terasa begitu damai bagi Nora, sebuah ketenangan yang ia cari di tengah badai digital yang mengamuk di ujung ruangan. Di layar komputernya, Dirga masih terlibat dalam meeting online yang riuh, suaranya yang berwibawa memotong pembicaraan investor dari berbagai belahan dunia. Bagi Nora, semua itu hanyalah latar belakang, desir samar yang justru menenangkan. Ia menghilang di balik laptopnya, terserap dalam dunia kecilnya yang terangkai dari kata-kata.Ia melanjutkan tulisan yang sudah ia pelajari susah payah bersama Talyra, sebuah naskah yang menjadi satu-satunya pengingat pada kehidupan lamanya, sebuah ambisi yang ia tak biarkan padam meski kini ia hidup dalam bayang-bayang seorang Dirgantara. Duduk di sofa kulit hitam di ujung ruang kerja laki-laki itu, ia menyelimuti tubuhnya dengan wol tebal, mencari kehangatan yang ironis di ruangan penuh ketegangan bisnis.Sementara itu, Dirga, masih lengkap dengan jas biru tua yang sedikit kusut, berdiri di depan layar raksasa
Nora benar-benar menepati janjinya. Pagi itu, surat pengunduran diri terasa begitu berat di genggaman Nora, seolah-olah kertas itu bukanlah sekadar dokumen, melainkan seluruh enam bulan perjuangan dan harapannya di perusahaan ini. Setiap langkah menuju ruangan Pak Ezra terasa seperti berjalan di atas awan yang siap menghempaskannya. Dengan napas yang ditahan, ia mengetuk pintu dan masuk."Pak Ezra," kata Nora, suaranya sedikit bergetar. Ia menyerahkan secarik kertas itu di atas meja pak Ezra, dengan jari-jari yang hampir tidak mau melepaskannya.Pria berumur empat puluh tahunan itu mengangkat kacamatanya, matanya mengerjap membaca judul di atas surat itu sebelum beralih ke wajah Nora yang pucat. "Kamu yakin?" tanyanya dengan lembut, suaranya penuh pengertian.Nora hanya bisa mengangguk mantap, meski di dalam dadanya terasa ada yang hancur berkeping-keping. Pak Ezra menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Baiklah. Saya terima."Kembali ke meja kerjanya yang tampak asing sekaran
"Ingin langsung mempraktekannya?" bisik Dirga, suaranya rendah dan bergelombang, sebuah tantangan yang tergantung di antara mereka. Wajahnya hanya bersentuhan satu jengkal dari Nora, cukup dekat untuk menghitung bulu matanya, cukup dekat untuk merasakan napasnya yang membasahi bibir Nora yang sedikit terbuka.Nora menelan ludahnya, sebuah gerakan yang terasa berat dan kaku. Matanya berkedip, berusaha memfokuskan kembali pada realitas yang tampaknya melarikan diri. Senyum kecil di wajah Dirga, senyum yang selalu berhasil melumpuhkan pertahanannya, mengembang. Tanpa sadar, Nora membalasnya dengan senyum miringnya, sebuah isyarat dari kekalahan yang sudah di depan mata.Tapi di dalam kekalahan itu, sebuah percikan keberanian menyala. Mungkin karena lelah menahan rindu, atau mungkin karena ia sudah tidak peduli lagi. Dengan satu gerakan yang lancar, Nora bangkit dari posisinya. Tangannya yang sedikit gemetar meraih kerah kemeja Dirga, menariknya turun dengan paksa hingga lelaki itu terdu
Hening menemani perjalanan mereka malam itu. Jalanan lengang, lampu kota memantul di kaca mobil, dan suara hujan tipis menambah dingin yang tidak hanya terasa di udara, tapi juga di hati Nora. Ia bersandar diam, matanya kosong menatap jendela. Bayangan Dewa masih terlintas, suara marahnya, genggamannya yang terlalu kuat, dan luka yang tersisa bukan hanya di lututnya, tapi juga di pikirannya.“Mas Dirga…” suaranya pelan, “Kalau bukan karena saya, Dewa nggak akan seperti itu.” Sementara Dirga tak langsung menjawab. Tangannya yang menggenggam kemudi sempat mengendur.Hanya satu kalimat yang keluar setelah beberapa detik, tenang namun tegas, “Jangan salahkan diri kamu atas pilihan orang lain.”Ia melirik Nora sejenak lalu mengusap kepalanya lembut, seolah ingin meredakan kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Mobil sempat berhenti di depan apotek. Dirga turun tanpa berkata, membeli perban, kapas, dan obat merah, lalu kembali dengan wajah serius.Perjalanan dilanjutkan. Kali ini tak ada pe