Si pemuda jelas terlonjak dengan kebarbaran yang ditunjukan oleh gadis itu terhadapnya dengan begitu santai. Sejujurnya dia memang pernah dengar isu soal betapa binalnya Silvana jika sudah diatas ranjang, dan hal itu agak sedikit mengganggu pikirannya memang. Tapi setelah berhadapan dengan situasi seperti ini, sepertinya tidak begitu buruk juga meladeninya.
“As you wish babe,” gumamnya dan kemudian menempatkan dirinya sendiri dibawah gadis itu untuk membuka kedua kakinya dengan penuh suka cita. Dia tidak menyianyiakan banyak waktu untuk menatapnya berlama-lama, karena di detik yang sama pemuda itu juga menarik turun kain penghalang yang menutupi bagian istimewa si gadis. Dia menyeringai saat melihat bagian itu telah cukup basah. “Kau benar-benar putus asa untuk ini ya?”
“Anggap saja sebagai hari keberuntunganmu,” jawab Silvana. Mendengar keangkuhan dari gadis itu, kontan si pemuda langsung menerjang. Membawa bibirnya untuk melumat milik Silvana yang dia sangka telah menunggu belaian kasihnya. Kepala gadis itu kontan terbanting hingga menatap ke atas langit-langit. Ekstasi memabukan ketika dirinya dieksplorasi memang selalu menyenangkan hati.
Cara pemuda itu memanjakannya pun terbilang cukup bagus, tapi bukan yang benar-benar Silvana suka. Dia tidak cukup hebat untuk membuat Silvana ‘on’. Stimulasi yang dia dapatkan pun tidak sebanyak yang bisa dia berikan pada dirinya sendiri, tapi upayanya masih bisa cukup Silvana apresiasi. Bagus tapi masih ‘meh’.
Silvana bertaruh jika saja Sir Leon yang berada dibawah kakinya pastinya pria itu tahu pasti apa yang harus dia lakukan tanpa membutuhkan intruksi darinya. Dan ketika pemikiran itu muncul dibenaknya, tahu-tahu seluruh tubuhnya malah memanas. Ya, Sir Leon pasti bisa lebih baik, pria dewasa itu pasti akan memberikan stimulasi dan memanjakan titiknya dengan sangat baik, atau bahkan dia bisa memberikan hisapan lembut disana.
“Ah!” Berkat pikiran liarnya Silvana mengeluarkan erangan kerasnya yang pertama membuat si pemuda menjeda pekerjaannya dibawah sana.
“Kau suka itu?” bisiknya.
Bukannya menjawab, Silvana malah meremas kepala pemuda itu. “Jangan banyak bicara, hisap saja.”
Sejujurnya gara-gara mendengar suara si pemuda, fantasi Silvana jadi sedikit rusak. Tapi ketika pria itu kembali sibuk, Silvana bisa kembali memejamkan matanya dan membayangkan Sir Leon yang berada dibawah kuasanya. Untungnya pemuda itu cukup tahu diri dan melakukan apa yang Silvana katakan.
Dipikirannya mata Sir Leon kini tengah memandangi dirinya saat pria itu sibuk dibawah sana dengan seluruh keahliannya. Sekali lagi Silvana mengerang dengan putus asa. Kedua tangannya meremas kedua sisi sofa dimana sekarang tubuhnya jadi setengah terbaring. Gelombang yang dia tunggu telah datang.
Fantasinya sekarang menunjukan bahwa Sir Leon menjauhkan kepalanya dengan sedikit menyeringai. Itu cukup untuk membawanya menuju puncak, gadis itu menjerit dan menggeram tatkala dia datang. “Oh… Sir Leon!”“Apa kau bilang?” Pemuda itu tiba-tiba saja berdiri dari posisinya. Sementara Silvana yang tidak menyadari dosanya malah menatap tak suka pada pria itu ketika dia telah keluar dari skenario buatannya.
“Apanya?” SIlvana balik bertanya.
“Kau baru saja meneriakan nama seseorang, jelas-jelas itu bukan namaku,” Pandangan pemuda itu berubah tajam, dia merasa terhina atas apa yang baru saja terjadi terhadapnya.
“Nama siapa yang aku sebut?”
“Sir Leon,” pemuda itu berkata pendek, dia memandang kearah Silvana yang bereaksi merona tatkala dia menyebut nama pria itu. “Tunggu, bukankah itu nama dosen—”
Buru-buru Silvana meraup bibir itu dengan bibirnya. Membungkam perkataan pemuda itu sekarang adalah jalan terbaik dibandingkan harus beradu argument tentang sesuatu yang akan jadi memusingkan. Mendapati dirinya dibungkam oleh sebuah ciuman, pemuda itu tidak lagi berkutik. Tubuhnya yang tegang mulai melemas dan memanas.
“Itu tidak penting, jadi jangan membahasnya oke?” ujar Silvana menjeda ciuman diantara mereka.
“Itu penting karena—”Sekali lagi perkataan itu terhenti ketika Silvana telah membawa jemarinya menyentuh milik pemuda itu. “Kau ingin aku menghisapnya atau tidak?”
Dia benar-benar sudah badmood sekarang. Dia tidak suka dengan pria yang banyak bicara dan menganggap bahwa diri mereka cukup bagus untuk diberi atensi lebih. Termasuk pada pemuda ini, dia lumayan angkuh dan protektif padanya padahal skill memuaskannya masih terbilang rata-rata. Silvana kini memandangnya dengan tak sabar. Pemuda itu nampak ingin protes, tapi pada akhirnya nafsu mengalahkan akal sehatnya. “Ya, aku ingin kau melakukannya.”
“Kalau begitu jangan banyak bicara lagi. Aku minta jangan bersuara sampai kita selesai. Kau paham?”
Satu anggukan, dan Silvana mulai bekerja dibawah sana. Kali ini dia akan mulai membuat sebuah skenario panas lagi, tentunya dengan Sir Leon sebagai objeknya menggunakan tubuh laki-laki ini.***
“Dia benar-benar brengsek, kau tahu. Bagaimana mungkin dia bisa sesukses itu sekarang sedangkan aku masih saja di titik ini. Benar-benar licik. Aku tidak habis pikir dia bisa jadi sekeren itu. Bangsat!”
Leon, Ronald juga Kelly saat ini sedang berada di kedai makan sushi. Orang yang berisik sepanjang perkumpulan itu sejak tadi adalah Ronald. Pria yang bekerja sebagai guru olahraga anak sekolah dasar. Dia sedang sibuk menceritakan salah satu teman kuliah mereka dulu dengan sangat berapi-api. Meski penuturannya agak kasar tapi semua orang tahu bahwa pria itu amat sangat mengagumi orang yang sedang dibicarakannya. Karena topik ini bukan sekali dua kali Ronald angkat dalam perbincangan mereka.
“Yah, memang benar-benar bangsat,” Leon berkomentar dengan nada suaranya yang ketus.
Dia memang sedang memiliki mood yang jelek dan mengumpat untuk sesuatu yang lain sebenarnya. Pengalaman yang dia lakukan dikediamannya empat jam yang lalu masih meninggalkan rasa tidak enak di mulutnya apalagi sekarang Kelly juga seperti enggan bicara dengannya. Tidak seperti biasanya wanita itu begitu padanya.
Leon benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia tidak tahu kesalahan apa yang sudah dia buat terhadap wanita itu. Memikirkan sebab musabab perubaha sikap Kelly terhadapnya malah memperburuk suasana hatinya. Pada akhirnya dia menyerah lebih dulu.
Leon berdiri dari tempatnya dan pergerakan itu tentu saja cukup menarik perhatian teman-temannya. Cepat dan tanggap, Leon melambaikan kotak rokoknya kearah mereka semua sebagai bentuk antisipasi dan tanda tanya yang akan merepotkan dirinya. Dia bahkan menyalakan rokoknya sebelum benar-benar keluar dari pintu masuk kedai. Alasan mengapa pria itu merokok diluar adalah karena kedai tersebut tidak memiliki tempat khusus untuk merokok.
Sebelum benar-benar keluar, Leon sempat melihat Kelly menatap kearahnya dengan pandangan tak terdefinisi. Dia benar-benar bingung, dan hal yang membuatnya semakin buruk adalah fakta bahwa sebenarnya dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya bingung. Meskipun ya dia punya beberapa gambaran jawaban, tapi Leon sedang tidak ingin memikirkannya. Sudahlah persetan! Dia tidak mau repot dengan pikiran apapun untuk saat ini. Dia harus mengosongkan pikirannya, dan merokok adalah salah satu upaya yang bisa dia perbuat untuk melancarkan inginnya itu.
“Apa kau lihat tubuhnya itu? damn dia gadis yang seksi.”
“Dia seorang mahasiswi, lihat? Dia membawa buku ditangannya. Mungkin saja dia tahu ilmu yang berguna untuk memanaskan permainan ranjang?”
Leon mendengar kikikan terdengar dari para pemuda hama yang sedang bergosip disekitarnya. Pria itu membuang rokoknya dan menengok kesamping. Dia melihat kearah dua orang laki-laki yang sibuk membicarakan tentang tubuh perempuan. Mereka jelas hanya pecundang kelas teri yang besar omong, bukan pria sejati.
Tapi mereka tadi sedang membicarakan tentang seorang mahasiswi kan? tanpa disadari, Leon jadi tegang. Dia tidak suka topik yang diangkat sebagai bahan pembicaraan oleh para bedebah seperti mereka tentang seorang mahasiswi yang mungkin saja adalah muridnya itu dengan cara yang tidak sopan. Leon pada akhirnya memberikan tatapan tajam terhadap kedua laki-laki itu sebagai bentuk realisasi bahwa dia amat terganggu dengan obrolan mereka.
Leon mencari sumber direksi yang membuat kedua bedebah itu sampai membuka mulut dan meneteskan air liurnya. Dia berharap dengan sangat semoga objek fantasi seksual mereka bukanlah mahasiswi yang dia kenal. Tapi begitu menemukan kemana atensi kedua bocah itu, Leon tidak bisa untuk tidak mengubah ekspresinya. Itu Silvana! Mereka rupanya tengah bergunjing dan memandang penuh nafsu kearah Silvana, mahasiswinya yang memang super menarik.
Sadar akan hal itu, Leon kontan tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Tanpa dia sadari pria itu sudah menginjak dan mengoyak rokok yang dia buang beberapa saat lalu dengan kakinya. Kemudian berjalan dengan langkah jantan kearah para bedebah sialan yang memaku pandang pada mahasiswi di kampusnya.
“Well, dia benar-benar super mon—” Apapun yang hendak diucapkan oleh anak laki-laki itu langsung terpotong ketika Leon menggeret kerah bajunya beserta temannya.
“Hey! Apa-apaan ini?!”
Salah satu dari mereka berteriak lantaran tidak terima dengan apa yang Leon lakukan, meski memang tindakan Leon ini agak implusif tapi pria itu tidak menyesal sama sekali. Dia justru makin ingin mengintimidasi remahana seperti mereka.“Kalian seharusnya menjaga mulut kalian. Pikiran dan ucapan kalian kotor yang kalian dengan bebas utarakan dimuka umum itu benar-benar membuatku terganggu dan muak. Kau tahu?” Leon menghardik mereka berdua. Suaranya baritonenya meninggi, pandangan matanya menajam. Dia jelas lebih mirip seekor singa mengamuk ketimbang pria tenang yang tidak peduli apapun sebelumnya. “Dan kalian seharusnya bisa belajar menghargai perempuan. Terutama pada murid peremuanku, mengerti?”Kedua laki-laki itu saling memandang satu sama lain, mereka yang mencicit seperti tikus yang kedapatan hendak dimangsa benar-benar pemandangan yang menarik bagi Leon. Mereka yang menganggukan kepala dengan mata yang sarat dengan ketakutan juga adalah hiburan tersendiri yang agak menaikan suasan
Silvana memutuskan untuk buka suara terkait hal itu setelah jeda yang cukup lama dari waktu yang dia ambil untuk menikmati wajah tampan dosen idamannya.Leon hanya menyeringai mendengar pengakuan tersebut dari mahasiswi cantik dihadapannya. Ya, dia tahu itu. “Sejujurnya aku tahu itu, aku hanya berusaha untuk memperbaiki citramu. Silvana.”“Kalau begitu, aku ingin mendengar hal macam apa yang kau bilang menjijikan tadi Sir. Aku rasa itu cukup menarik perhatianku sekarang.”Netra kecoklatan milik Sir Leon kini bertemu dengan manik kebiruan milik Silvana. Dia benar-benar seperti boneka hidup dengan tampilannya yang seperti ini. “Tidak, mungkin lain waktu.”Seringai nakal tiba-tiba saja muncul dari wajah gadis itu. “Hm~ begitukah? Sayang sekali ya.”Sadar bahwa segalanya akan semakin sulit bagi pria itu, Leon memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan. Jika tidak, dia mungkin akan kesusahan untuk lari dari fantasi liarnya yang makin tidak terkendali di dalam otaknya. Bagaimana tidak, Leo
Melihat dosen tampannya kebingungan, hal itu justru malah membangkitkan sesuatu dalam diri Silvana. Gadis itu tidak bisa berhenti terpesona pada apa yang sedang dia saksikan didepan mata. Sosok Sir Leon benar-benar seribu kali lipat lebih tampan dalam situasi ini. Rambutnya yang acak-acakan dengan bibirnya yang basah malah menambah kesan seksi pada pria itu. Ya, Sir Leon yang Silvana pikir tidak akan pernah bisa dia sentuh sejauh ini, justru telah dia dapatkan meskipun dengan cara yang bisa dibilang tidak benar. Tapi hey, ini adalah sebuah bentuk usahanya. Benar atau tidak Silvana hanya perlu memastikan bahwa dia meraih apa yang memang dia inginkan. Dia tidak peduli dengan metode apa dia bisa meraihnya. “Aku baru saja memberimu ucapan terima kasih yang pantas Sir. Ini imbalan bagi pria gentleman yang telah membela harga diriku dari kedua laki-laki brengsek tadi.” Silvana memberi alibi untuk mengusir raut kebingungan dari wajah sang dosen muda. Tapi ketika melihat raut mukanya yang
Sir Leon menatap kearah mata mahasiswi cantiknya untuk beberapa saat. Pria itu kini mulai dijalari akal sehatnya lagi sehingga respon pertama yang dia berikan untuk ajakan manis tersebut hanyalah sebuah gelengan kepala. “Kita harus berhenti, setidaknya untuk sekarang,” balasnya. “Aku masih belum yakin bagaimana perasaanku sendiri tentang apa yang baru saja terjadi diantara kita berdua.” sambungnya dengan suara yang terdengar penuh sesal. Silvana tidak suka reaksi ini, sesungguhnya dia ingin melakukannya atas dasar suka sama suka. Dia tidak ingin Sir Leon harus merasa menyesal telah melakukan ini dengannya saat Silvana justru menikmati segalanya. Lagipula dia yang memulainya, tentu saja gadis itu jadi merasa sedih dan kecewa. Sebab ini membuatnya seperti seorang wanita yang tidak dihargai sepenuhnya. Meski begitu dia tidak ingin terlihat lemah dan membuat segalanya jadi makin canggung diantara mereka. Meski memang sangat disayangkan, nampaknya Silvana harus belajar sabar untuk melulu
“Sir Joan, kenapa kau selalu ada dipikiran saya dalam ranah yang berbahaya? Kenapa kau selalu menganggu saya dengan kehadiranmu? Kau ini terobsesi pada saya atau apa?” Joan sedikit mundur menjauh tatkala jari telunjuk Jiyya menunjuk-nunjuk terus kedepan mukanya. Pria dewasa itu hanya bisa tersenyum maklum pada mahasiswi pintar yang sudah menggeser posisinya menjadi seorang gadis yang sedikit menarik perhatiannya. Tingkah laku Jiyya yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan dirinya diawal pertemuan membuat gadis itu jadi kian menggemaskan. Padahal sejak tadi gadis itu cuma diam saja. Entah itu terhadap Dean maupun terhadap dia. Dan ya, Joan sadar bahwa gadis itu jelas-jelas sedang membangun dinding yang tinggi, khusus untuknya. Namun untungnya, sejak gadis itu meminum beberapa gelas. Jiyya tiba-tiba menjadi sangat cerewet terutama kepada dirinya. Terima kasih pada Dean yang sudah berhasil mengeret sahabat kecilnya itu sehingga dia bersedia datang ke bar seperti ini bahkan ber
Keesokan paginya Jiyya terjaga dalam kondisi sakit kepala yang luar biasa. Sepertinya dia minum terlalu banyak semalam. Itu adalah upaya lain yang Jiyya lakukan lantaran dia terlalu malu untuk mengingat segalanya. Tapi efeknya baru terasa sekarang. Tubuh gadis itu limbung ketika dia berusaha berdiri dengan kedua kakinya. Usaha memang berhasil, tapi tubuhnya jadi tidak bisa diajak kerja sama pagi ini. “Jiyya, saatnya sarapan!” teriak suara yang begitu familiar dari arah dapur mess yang dia tinggali. Dia bahkan lupa soal Silvana yang barangkali menginap ditempatnya setelah menjemputnya untuk pulang dari bar. Sejujurnya dia sedang tidak ingin bertemu muka dengan dia hari ini karena Jiyya tahu perempuan berisik itu akan menganggunya seharian dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh dan menjebak. Alih-alih menanggapi, Jiyya melengos begitu saja kearah kamar mandi untuk mencuci mukanya. Setidaknya air adalah pertolongan pertama untuk menyegarkan dirinya sebelum pindah ke sup hangover yang suda
Jiyya menatap horror kearah sahabatnya yang malah nyengir kuda bukannya merasa bersalah. Mulutnya menganga lebar sebelum dirinya cukup sadar untuk mengatakan apa-apa. Kini Jiyya mempertanyakan moralitas gadis itu sebagai manusia, dan betapa anehnya dia karena bisa berteman belasan tahun dengan orang yang bahkan nilai dalam adat dan tradisionalnya benar-benar minus macam Silvana. “Ada apa dengan ekspresimu? Kau itu sangat mudah ditebak ya seperti sedang membaca buku,” tutur Silvana lagi. “Kau betulan jalang ya Silvana!” timpal Jiyya kasar. Silvana malah tertawa. “Kau tidak usah semarah itu, chill sayang calm down.”“Hah bagaimana bisa aku tenang ? Maksudku bagaimana kalian bisa melakukannya begitu saja?” Jiyya menepuk dahinya. Sementara Silvana malah terkikik geli atas seluruh reaksi yang diperlihatkan oleh sahabatnya yang selalu reaktif menyangkut masalah seperti ini. Silvana angkat bahu kemudian sambil mengibaskan rambutnya, gadis itu benar-benar nampak bangga untuk sesuatu yang
Silvana menggerutu, dia mengumpat pada dirinya sendiri karena lalai. Gadis itu berjalan dengan susah payah, lantaran mulai merasakan efeknya. Jiyya sempat menyebutkan soal lututnya yang terluka. Ya, dia tidak merasakannya saat itu juga karena pikirannya lebih fokus pada kesenangan yang dia dapatkan. Tapi hari ini tidak begitu. Seharian Silvana mencari keberadaan Sir Leon. Tapi dia tidak menemukan keberadaan pria itu dimanapun well, sebenarnya kalau boleh jujur Silvana tidak begitu percaya diri maksimal hari ini. Sebab penampilannya kali ini tidak begitu prima karena dia tidak ingin ada seorangpun yang berkomentar soal luka dilututnya seperti yang Jiyya lakukan. Alhasil dia mengenakan celana jeans panjang dan bukan rok mini yang biasa dia kenakan. Namun tentu bukan Silvana namanya kalau dia tidak bisa memadupadakan busana yang dia kenakan ke kampus. Karena tidak bisa menampakan bagian bawah tubuhnya, Silvana memilih tanktop ketat sebagai atasan dan mengenakan kemeja berlengan pendek