Akhirnya Nina sudah tiba di rumah dengan sebuah kantong plastik berisi sayur-sayuran. Ia langsung berjalan ke dapur dan mendapati Bi Lastri di sana.
“Bi Lastri, kok rumah kelihatan sepi ya? Bukannya Tuan dan Nyonya sudah pulang?” tanya Nina heran.
“Oh itu, soalnya Tuan Besar lagi ada di kantor. Kalau Nyonya sedang beristirahat di kamarnya,” jawab Bi Lastri.
“Kalau Mas Bryan eh maksud saya, Tuan Muda, dia ada di mana, Bi?” tanya Nina meralat kalimatnya. Karena mulai detik ini, Nina harus memanggil Bryan dengan sebutan ‘Tuan Muda’ kembali.
“Tuan Muda juga ada di kamar Nyonya, nemenin Nyonya istirahat. Nah berhubung sudah masuk jam makan siang. Kamu bisa kan antarkan makanan ini buat Nyonya ke kamarnya? Bibi sengaja nyuruh kamu, biar kamu bisa melakukan pendekatan ke calon mertuamu.”
Raut wajah Nina menjadi murung. “Kata Tuan Muda, untuk sementara hubungan kami ini harus sembunyi-sembun
“Ih, kamu apaan sih, sayang? Sudah dong aktingnya! Mama kan udah tidur!”“Tapi kan tetap saja saya takut, Tuan. Nanti kalau tiba-tiba Tuan Fredrinn datang gimana?” Nina lalu berdiri agak menjauh dari Bryan.“Papa di kantor kok, Nin. Dia pulangnya sore. Jadi selama Mama masih tidur dan Papa ada di kantor, kita bebas mau ngapain aja.”“Enggak ah. Tetap aja saya takut!”Bryan membuang napas pasrah. “Hm, oke deh.”“Saya balik ke dapur ya, Tuan Muda,” pamit Nina namun dicegat oleh Bryan.“Bentar dulu. Aku mau bilang sesuatu.”“Apa?”“Aku sudah jujur sama Mama tadi bahwa aku memperkosa kamu. Terus aku mau nikahin kamu. Kata Mama, dia setuju kok.”Penjelasan dari Bryan berhasil membulatkan pupil mata Nina. “A-apa?! T-tapi kok tadi Nyonya gak bahas itu ya?”“Aduh, Nin. Dia belum tau kamu orangnya.
“Enggak ada nikah-nikahan! Kamu itu belum bekerja! Lulus kuliah saja belum! Kalau kamu nikah, mau dikasih makan apa istrimu kelak? Batu dan pasir, hah?”“Bolehin sajalah, Pa. Papa ini jangan bertingkah seperti orang susah. Lagian kan gak masalah kalau Bryan mau nikah sekarang. Istrinya kan bisa tinggal di sini untuk sementara. Dan setelah Bryan lulus kuliah, dia kan bisa langsung kerja di perusahaan kamu, Pa!” bujuk Rosalina.“Mama dan Papa jangan khawatir. Aku udah beli apartemen kok. Jadi nanti istriku tinggal di sana aja, gak di sini. Aku gak mau ngerepotin Mama dan Papa,” kata Bryan.Fredrinn menatap anaknya dengan tajam. “Kamu beli apartemen? Kenapa gak bilang ke Papa dulu, Bry?! Pantasan Papa lihat-lihat tabungan kamu, kok semakin sedikit! Kamu itu harus berhemat! Masa depan kamu masih panjang! Jangan kebanyakan foya-foya kamu, Bry!”“Aku gak foya-foya kok, Pa. Lagian aku kan beli pake duitku sen
Saat ini, Bryan sedang berada di kamarnya bersama Bi Lastri. Wanita tua itu mengobati luka Bryan dengan hati-hati.“Kok tega sekali Papanya Tuan sampe mukulin Tuan Muda kayak begini?” tanya Bi Lastri prihatin seraya mengompres luka memar di pipi Bryan.“Papa gak tega kok, Bi. Memang sudah sewajarnya aku dipukuli seperti ini. Aku memang brengsek, Bi. Aku pantasnya mati saja.”“Sudahlah, Tuan. Jangan larut-larut dalam kesedihan. Anggap saja ini ujian dari Tuhan. Tuan Muda harus berjuang lebih keras lagi untuk luluhin hati Papanya Tuan,” hibur Bi Lastri. Bi Lastri ikut sedih karena melihat Bryan saat ini sangat murung. Kedua mata pria itu pun tampak merah, seperti sedang menahan tangis.“Aku sudah tidak mempermasalahkan restu mereka, Bi. Kalau pun mereka tidak mengizinkan aku untuk menikah, aku bisa saja kabur dari rumah dan membawa Nina pergi. Kami kawin lari saja. Tapi masalahnya sekarang, Nina kayaknya marah sama
“Apa jangan-jangan gadis yang mau Bryan nikahi adalah Nina? Dasar anak tidak tau diuntung kamu, Bry! Bisa-bisanya ngasih Papa calon menantu rendahan seperti itu!”Fredrinn lalu kembali ke kamarnya dengan perasaan amarah yang membludak. Fredrinn sengaja tidak menegur mereka, Fredrinn tidak mau ada keributan yang terjadi di malam hari, apalagi sang istri telah tertidur nyenyak dalam kamarnya.*Keesokan paginya, pukul 07.00Fredrinn sedang bersiap-siap ke kantor, sedangkan sang istri baru saja selesai sarapan di kamarnya. Bi Lastri yang tadinya bertugas memberikan sarapan untuk Rosalina akhirnya pamit undur diri setelah selesai mengerjakan tugasnya.“Bi Lastri, apa Bryan belum bangun?” tanya Rosalina membuat Bi Lastri menghentikan langkahnya.“Sepertinya sih belum, Nyonya. Soalnya kamar Tuan Muda masih terkunci,” jawab Bi Lastri.Rosalina memasang senyum. “Oh begitu. Nanti kalau Bryan bangun, su
Rosalina langsung menggenggam tangan suaminya, berharap hati suaminya bisa luluh. “Jangan bicara seperti itu lagi, Pa. Kalau Bryan mendengar ini, hatinya pasti terluka, Pa. Apa Papa mau melihat anak kesayangan kita bersedih? Pasti Papa gak mau kan melihat Bryan nangis karena omongan Papa sendiri?”Fredrinn menepis tangan sang istri dengan kasar. “Ini semua karena didikan kamu! Kamu dari dulu selalu saja memanjakan Bryan! Makanya Bryan tumbuh menjadi anak yang semena-mena dan bertingkah semaunya! Semua keinginannya pasti harus dituruti. Papa tidak suka dengan didikan lembek seperti itu!”“Mama cuman mau Bryan bahagia, Pa,” lirih Rosalina.“Ada banyak cara untuk membahagiakan anak, Ma! Tidak harus dimanjakan seperti ini!” Fredrinn menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur emosinya agar tidak berlebihan. “Intinya, hari ini juga, Papa akan memecat gadis kampung itu! Ini semua Papa lakukan agar Bryan tidak lagi
Tanpa berbicara lagi, Nina langsung berlari kecil menuju kamarnya dan membereskan semua barang-barangnya.“Nduk, kamu mau ke mana?” tanya Bi Lastri heran ketika melihat Nina keluar kamar dengan membawa satu buah koper.“Tuan Bryan nyuruh saya buat resign, Bi,” jawab Nina sendu.“Loh? Alasannya apa, Nduk? Bukannya Tuan Muda mau seriusin kamu, Nduk? Kok malah nyuruh resign mendadak seperti ini?”“Sepertinya Tuan Fredrinn sudah tau hubungan kami berdua, Bi. Saya gak tau sejak kapan ketahuannya, tapi kata Tuan Bryan, Papanya mau mecat saya hari ini juga. Makanya saya disuruh resign duluan sebelum dipecat,” jelas Nina.Bi Lastri ikut prihatin mendengar jawaban dari Nina. Bi Lastri memeluk Nina dan mengelus punggungnya. “Ya sudah, kamu hati-hati ya, Nduk. Kamu percayakan semuanya sama Tuan Muda. Tuan Muda pasti melindungi kamu kok. Kamu jangan khawatir ya, Nduk. Kamu ikuti saja apa yang dia perintahka
Tidak lama kemudian, sebuah mobil melaju dan berhenti di depan Nina. Nina mendongakkan kepalanya kemudian menyeka air matanya. Ia melihat sosok yang selama ini dia tunggu-tunggu akhirnya muncul juga.“Mas Bryan!” pekik Nina dengan suara gemetarnya.Bryan yang melihat Nina sedang sesegukan langsung berlari ke arah gadis itu penuh rasa cemas. Bryan segera memeluk gadis itu erat-erat sambil sesekali menciumi ujung kepala gadis itu. Nina hanya bisa pasrah, menjatuhkan semua air matanya di dalam dekapan Bryan.“Maafkan aku, sayang. Aku baru datang jam segini,” ucap Bryan penuh rasa bersalah.“Kamu dari mana aja sih, Mas? Hiks… aku kira kamu udah lupa sama aku. Aku pikir kamu udah dapat penggantiku, Mas. Aku mikirnya aku udah gak cinta sama aku,” ungkap Nina di sela isakan tangisnya.Bryan melepaskan pelukan mereka kemudian menangkup wajah gadis itu. Bryan menatap manik mata Nina lekat-lekat. “Maafin aku y
“Aku pikir kamu sudah pergi, Mas,” lirih Nina dengan suara gemetar.“Belum,” jawab Bryan singkat. Ia menghela napas pasrah kemudian ikut duduk di atas ranjang bersebelahan dengan Nina. “Ayo tidur.”Seketika Nina memasang senyum lebarnya. Air matanya bahkan sudah mengering. “Beneran, Mas? Tapi tadi kamu bilang kalau tidur di sini takut dicurigain sama Papa kamu.”Bryan mengambil selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang kemudian melebarkannya. “Aku bakalan nemenin kamu deh sampai kamu tidur, baru aku pergi.”Nina mengangguk dengan cerianya. “Makasih, Mas. Kamu gak boleh pergi ya sebelum aku tertidur. Soalnya aku takut sendirian.”“Biasanya kamu juga kan tidur sendirian, Nina. Kok sekarang jadi penakut begini?” tanya Bryan heran. Kini mereka berdua telah berbaring bersebelahan di ranjang yang sama.“Kamar ini luas banget, Mas. Aku jadi kebayang sama hantu. Kalau di rumah kamu kan, kamar aku kecil, jadinya aku biasa aja kalau tidur sendirian.”
Bryan sedikit kecewa mendengar sang istri yang tidak ingin hamil lagi. Tapi Bryan mencoba memahami keadaan Nina. Lagi pula, mereka juga telah memiliki empat orang anak. Bryan rasa, itu sudah lebih dari cukup.“Oke, sayang. Aku paham kalau kamu gak mau hamil lagi. Tolong ambilkan kondomku di dalam laci.”Suasana kamar yang sebelumnya sunyi kini terdengar desahan dari keduanya. Selain itu, terdengar juga deru napas yang memburu dari pasangan suami istri yang sedang melakukan penyatuan.Nina segera merebahkan tubuhnya di samping Bryan kala dia sudah selesai melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Dia lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua.Bryan merengkuh tubuh istrinya yang dipenuhi keringat. Dia mengusap wajah istrinya yang banjir pelu dengan telapak tangannya yang lebar, lalu dia kecup kening sang istri dengan mesra.“Terima kasih, sayang. Kamu hebat sekali,” ucap Bryan sembari mempererat peluka
Satu bulan kemudian...Setelah melakukan serangkaian proses terapi, kini kondisi Bryan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dia kini sudah jarang merasakan yang namanya sesak napas atau pun nyeri dada yang biasanya dia alami. Hal itu membuat Nina merasa bahagia.“Sudah ku bilang kan, Mas. Kamu pasti bisa sembuh. Apalagi kankermu belum terlalu parah. Kita tinggal rajin-rajin periksa ke rumah sakit saja dan berobat biar sel kankermu cepat musnah.”“Iya, sayang. Ini semua juga berkat kamu yang merawat aku tiap hari, mengatur pola makanku, mengingatkan aku untuk minum obat dan lain sebagainya. Kalau tidak ada kamu, mungkin penyakitku tambah parah.”Mereka baru saja selesai melakukan kontrol. Nina selalu setia mendampingi Bryan ke rumah sakit untuk berobat. Dan saat ini pasangan suami istri itu sedang duduk menunggu di taman rumah sakit sembari menunggu sopir menjemputnya.“Ayo, Mas. Kita pulang. Pak Jaka sudah sampai,&rdq
“J-jangan marah ya, Mas. Aku beneran gak sengaja. Maaf, aku ceroboh,” lanjut Nina enggan menatap suaminya. Dia takut dan merasa bersalah karena telah merusak mobil baru milik Bryan yang kata Pak Jaka harganya tembus ratusan milliar.Bryan menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, gak apa-apa. Lagian cuman penyok sedikit, kan? Untung saja kita gak mati.”Bryan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan. “Terus anak-anak gimana kabarnya? Di mana mereka sekarang?”“Mereka masih sekolah, Mas. Ini masih jam sembilan pagi,” jawab Nina.Bryan termenung sejenak sembari menatap istrinya yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya. “Nina… aku ingin jujur tentang semuanya.”Kini Nina memberanikan diri menatap sang suami. Tatapan mereka saling bertemu. Manik mata Bryan tampak berkaca-kaca.“Aku sudah tau semuanya, Mas. Aku tau dari dokter tentang penyakitmu ini.”&l
“Mas, jawab aku! Kamu tuh sebenarnya ada apa? Jawab aku dengan jujur! Jangan diam aja kayak orang bisu gini!” desak Nina. “Kamu cuman akting ya, Mas? Biar aku merasa kasihan dan bisa memaafkan kamu dengan mudah? Begitu ya?”Nina pasrah melihat keterdiaman suaminya. Bryan masih saja enggan terbuka. “Kalau kamu masih tertutup begini, aku beneran akan pergi. Aku muak, Bryan! Urus saja hidupmu sendiri! Aku pun akan mengurus hidupku sendiri!”Nina kembali melangkah menjauhi suaminya. Dia benar-benar kecewa berat dan marah.“Nina, stop! Jangan pergi, Nina. Kembali, sayangku. Please. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku tidak sanggup hidup tanpamu,” teriak Bryan kepada Nina yang semakin jauh.“Urus saja hidupmu sendiri, Bryan! Aku tidak peduli lagi denganmu!” balas Nina dengan teriak pula.Saat Nina hendak melanjutkan langkahnya, Bryan justru mendadak diam seperti patung. Bryan lalu memegangi da
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa