Tidak lama kemudian, sebuah mobil melaju dan berhenti di depan Nina. Nina mendongakkan kepalanya kemudian menyeka air matanya. Ia melihat sosok yang selama ini dia tunggu-tunggu akhirnya muncul juga.
“Mas Bryan!” pekik Nina dengan suara gemetarnya.
Bryan yang melihat Nina sedang sesegukan langsung berlari ke arah gadis itu penuh rasa cemas. Bryan segera memeluk gadis itu erat-erat sambil sesekali menciumi ujung kepala gadis itu. Nina hanya bisa pasrah, menjatuhkan semua air matanya di dalam dekapan Bryan.
“Maafkan aku, sayang. Aku baru datang jam segini,” ucap Bryan penuh rasa bersalah.
“Kamu dari mana aja sih, Mas? Hiks… aku kira kamu udah lupa sama aku. Aku pikir kamu udah dapat penggantiku, Mas. Aku mikirnya aku udah gak cinta sama aku,” ungkap Nina di sela isakan tangisnya.
Bryan melepaskan pelukan mereka kemudian menangkup wajah gadis itu. Bryan menatap manik mata Nina lekat-lekat. “Maafin aku y
“Aku pikir kamu sudah pergi, Mas,” lirih Nina dengan suara gemetar.“Belum,” jawab Bryan singkat. Ia menghela napas pasrah kemudian ikut duduk di atas ranjang bersebelahan dengan Nina. “Ayo tidur.”Seketika Nina memasang senyum lebarnya. Air matanya bahkan sudah mengering. “Beneran, Mas? Tapi tadi kamu bilang kalau tidur di sini takut dicurigain sama Papa kamu.”Bryan mengambil selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang kemudian melebarkannya. “Aku bakalan nemenin kamu deh sampai kamu tidur, baru aku pergi.”Nina mengangguk dengan cerianya. “Makasih, Mas. Kamu gak boleh pergi ya sebelum aku tertidur. Soalnya aku takut sendirian.”“Biasanya kamu juga kan tidur sendirian, Nina. Kok sekarang jadi penakut begini?” tanya Bryan heran. Kini mereka berdua telah berbaring bersebelahan di ranjang yang sama.“Kamar ini luas banget, Mas. Aku jadi kebayang sama hantu. Kalau di rumah kamu kan, kamar aku kecil, jadinya aku biasa aja kalau tidur sendirian.”
Di apartemen, Bryan baru saja terbangun dari tidurnya. Ia melihat ke sisi kanannya, Nina tak tampak di sebelahnya.“Nina?” gumam Bryan seraya mengerjapkan matanya dua kali.Sembari menguap karena masih merasa ngantuk, Bryan mencoba untuk bangkit dari ranjang. Ia keluar dari kamar itu, aroma wangi dari makanan menyapa indra penciumannya. Ternyata Nina sudah bangun lebih dulu, bahkan sudah menyiapkan sarapan nasi goreng untuknya.“Eh, Mas Bryan. Kamu udah bangun?”“Gak. Aku belum bangun. Ini khodamku yang lagi ngomong sama kamu. Bryan asli masih tidur di kamar!” jawab Bryan merasa kesal.Nina tertawa kecil melihat wajah Bryan yang merengut. “Ih, Mas Bryan. Ini masih pagi kok mukanya udah cemberut aja sih, Mas?”“Soalnya kamu sih! Basa basinya kok gitu? Gak ada pertanyaan lain apa? Kan jelas-jelas aku udah bangun, kok masih ditanyain sih?” Bryan langsung duduk di tempatnya, memperhatikan Nina yang saat ini masih sibuk di belakang meja dapur.
Menjelang maghrib, Fredrinn baru tiba di rumah. Di perjalanan, ia dan sopir pribadinya terjebak macet. Baru saja turun dari mobil, emosi lelaki tua itu tiba-tiba tersulut saat melihat Bryan sedang bersantai di teras rumah bersama Rosalina.“Semalaman kamu ada di mana, Bry? Kenapa Papa telpon gak dijawab, hm?” sembur Fredrinn membuat Bryan terkesiap.“Papa baru aja sampai di rumah udah emosian begini. Ngomongnya yang pelan-pelan aja dong, Pa!” tegur sang istri dengan nada yang lembut.Fredrinn mengabaikan istrinya. Ia tetap melemparkan tatapan tajamnya kepada Bryan. “Jawab Papa, Bry!”Bryan menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap wajah Papanya. “Anu… tadi aku lagi di—”“Mendingan Papa masuk dulu ke dalam! Papa mandi terus makan!” potong Rosalina. Wanita anggun itu lalu memegang tangan anaknya. “Kita juga masuk yuk, Bry. Sudah dekat waktu maghrib. Kalian mengobrolnya
Selama perjalanan, Bryan merasa cemas dan panik. Ia hanya bisa berharap ada sebuah keajaiban yang datang padanya.“Di sini, Bry?” tanya Fredrinn ketika mereka telah sampai di kawasan apartemen mahal. Hanya orang-orang dari kalangan atas yang mampu menginjakkan kakinya ke area tersebut.“Iya, Pa. Di sini,” jawab Bryan pasrah.Mereka berdua pun turun dari mobil dan berjalan ke lobi apartemen hendak menuju lift.“Lantai berapa, Bry?”“L-lima puluh, Pa.”Fredrinn membulatkan matanya. Ia sangat terkejut karena anaknya membeli sebuah unit apartemen yang paling mahal dan terletak paling atas pada bangunan tersebut.“Kenapa tidak ngomong dari tadi kalau kamu membeli penthouse? Tau gitu kita tidak perlu pake lift umum, mendingan pake private lift saja,” keluh Fredrinn.“Maaf, Pa.”“Kamu belinya di harga berapa?” tanya Fredrinn penasaran.&l
Bryan lalu pergi ke teras atap. Kebetulan unit apartemen yang Bryan beli adalah penthouse, tentunya dia mendapatkan fasilitas yang lebih unggul dibandingkan penghuni apartemen di bawahnya. Bryan melangkahkan kaki menuju teras atap di mana ada taman mini di sana dan juga kolam renang pribadi yang cukup luas. Dari atas sana, mereka bisa dengan puas menikmati indahnya pemandangan alam kota Jakarta pada malam hari. Walaupun cuaca sedang dingin, angin berhembus kencang membelai rambut, tentu hal itu tidak menjadi penghalang bagi penghuni penthouse untuk bersantai sejenak di teras tersebut.Sebagai penghuni penthouse, tentu saja Nina tidak mau melewatkan kesempatan yang tidak akan datang dua kali kepadanya. Saat ini Nina sedang memanjakan diri berenang di kolam sembari memandangi kemerlap lampu-lampu bangunan yang ada di bawah sana.Bryan menyipitkan matanya, memfokuskan pandangan kepada sosok gadis yang hanya memakai bikini dan sekarang sedang asik menyandarkan dagunya di t
“Bukan cuman kamu yang mati, Nin! Aku juga bisa mati kalau sampai kita ketahuan!” Bryan mengacak-acak rambutnya dengan kasar. “Aduh, kamu sih! Padahal tadi aku mau ngasih tau kamu soal ini. Papa bakalan datang ke sini. Sebenarnya tadi kamu punya waktu buat kabur. Eh, kamu malah godain aku dan mancing-mancing nafsuku! Jadi begini kan endingnya!”“Kamu kok nyalahin aku sih, Mas? Salahin diri sendirilah! Kok kamu gampang kepancing sama godaan aku!” elak Nina tidak mau salah.“Aduh, terserah kamu deh, Nin! Iya aku yang salah!”Suara Fredrinn semakin terdengar jelas, pertanda Fredrinn semakin dekat.“Sekarang kita harus gimana, Mas?” tanya Nina panik. “Kita keluar dari kolam renang yuk. Terus sembunyi!”“Kalau keluar dari kolam, yang ada kita keburu ketahuan, Nin! Papa sudah ada di dalam!”“Kita sembunyi di teras aja! Itu kan ada taman, mungkin aku bisa semb
Nina tertegun kala menerima tamparan keras dari Fredrinn. Begitu juga dengan Bryan, pria itu langsung mendongakkan kepalanya dan membentak ayahnya.“Kenapa Nina ditampar, Pa? Kalau Papa marah, tampar aku aja, Pa! Jangan tampar Nina. Nina gak salah!” tegur Bryan dengan volume suara yang tinggi.PLAK!Lagi-lagi sebuah tamparan mendarat di pipi seseorang. Ya, kali ini Fredrinn menampar anaknya sendiri. Menurutnya, apa yang telah diperbuat Bryan sangat melewati batas. Seumur hidup, Fredrinn tidak pernah mengajarkan anaknya untuk berbohong. Namun kali ini, Bryan telah membuatnya kecewa berkali-kali.“Puas kamu sekarang, Bryan?!” Fredrinn menatap tajam anaknya. “Papa mati-matian cari duit buat pengobatan Mama, buat biaya sekolah kamu dan semua kebutuhan yang lain, tapi kamu malah enak-enakan bermain bersama perempuan di apartemen mahal ini! Apa kamu sadar, Bryan? Kamu itu sudah membuat Papa kecewa berat! Kamu membohongi Papa banyak kali! Kamu hamburkan semua du
Dari pengalaman ini, Nina bisa merasakan nikmatnya diperlakukan bagai ratu, dinomorsatukan dan diprioritaskan oleh seseorang. Dan itu semua ia dapatkan dari laki-laki bajingan yang pada awalnya merenggut kesuciannya. Namun perlahan rasa cinta itu tumbuh. Bryan adalah cinta pertama bagi Nina.Nina kembali menundukkan wajahnya sembari merenung. Isakan tangisnya mulai mereda. Namun ia tetap menangis dalam hati. Begitu banyak air mata yang sudah ia keluarkan dari tadi, makanya saat ini ia hanya mampu tersedu-sedu dalam diam.Melihat Nina semakin bersedih membuat Bryan iba. Bryan menggenggam tangan Nina di hadapan Fredrinn tanpa rasa ragu.“Papa, kami berdua saling mencintai. Apa susahnya buat Papa untuk merestui hubungan kami? Papa gak bakal rugi kok. Kan yang jalanin hubungan ini adalah aku sendiri, bukan Papa! Aku cinta Nina apa adanya, Pa!” pinta Bryan memelas.“Kamu itu minta restu sudah kayak minta permen! Mau taruh di mana muka Papa in
Alex kembali menjalankan mobil itu dengan laju. Tak lupa juga Alex mengaktifkan fitur door lock sehingga Nina tidak bisa membuka pintu selama perjalanan.Hati Nina was-was saat ini. Rasa gugup dan takut menyertainya. Apalagi Alex membawanya keluar jauh dari pusat kota. Namun, Nina tidak tinggal diam. Nina mengambil ponselnya dari dalam tas, hendak menghubungi suaminya, namun panggilan itu tidak diangkat.[Mas, please. Jawab telponku!][Tolong aku, Mas. Aku dibawa kabur sama temanmu. Dia mengaku namanya adalah Alex][Aku sharelock lokasiku sekarang. Tolong cari aku di area sini, Mas. Sumpah, aku tidak tau sekarang berada di jalan apa]“Kau menghubungi suamimu?”Suara Alex membuat Nina terkesiap. Tangannya mendadak tremor sehingga menjatuhkan ponselnya ke bawah kabin, tepatnya di bawah kursi pengemudi. Nina hendak menunduk untuk mengambil ponselnya yang terjatuh. Namun apa yang didapatnya setelah kembali mendongak membuatnya terkej
Siang ini Nina kembali mengunjungi kantor Bryan untuk membawakan makan siang sekaligus mengingatkan Bryan untuk meminum obatnya. Tugas yang biasa dilakukan oleh Devika, dokter yang juga merangkap sebagai sekretaris itu kini berpindah tangan ke Nina. Nina tidak rela jika Bryan lebih diperhatikan oleh Devika, meskipun dia adalah seorang dokter. Sebagai seorang istri, Nina tidak mau kalah. Makanya hampir setiap hari saat suaminya pergi bekerja, Nina selalu menyempatkan diri untuk membawakan Bryan makan siang dan juga buah-buahan sebagai pelengkap.“Kamu langsung pulang saja ya. Soalnya sebentar lagi akan ada tamu yang datang,” imbuh Bryan kepada Nina yang baru saja datang membawakan makanan untuknya.“Bukannya ini jam istirahat makan siang, Mas? Kok kamu mau menerima tamu jam segini?” tanya Nina kemudian dengan santainya duduk di sofa sembari membuka kotak bekal itu. “Sini, Mas. Biar aku suapin.”“Aku makannya nanti saja. Kamu pulanglah. Soalnya tamuku sudah
Bryan sedikit kecewa mendengar sang istri yang tidak ingin hamil lagi. Tapi Bryan mencoba memahami keadaan Nina. Lagi pula, mereka juga telah memiliki empat orang anak. Bryan rasa, itu sudah lebih dari cukup.“Oke, sayang. Aku paham kalau kamu gak mau hamil lagi. Tolong ambilkan kondomku di dalam laci.”Suasana kamar yang sebelumnya sunyi kini terdengar desahan dari keduanya. Selain itu, terdengar juga deru napas yang memburu dari pasangan suami istri yang sedang melakukan penyatuan.Nina segera merebahkan tubuhnya di samping Bryan kala dia sudah selesai melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Dia lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua.Bryan merengkuh tubuh istrinya yang dipenuhi keringat. Dia mengusap wajah istrinya yang banjir pelu dengan telapak tangannya yang lebar, lalu dia kecup kening sang istri dengan mesra.“Terima kasih, sayang. Kamu hebat sekali,” ucap Bryan sembari mempererat peluka
Satu bulan kemudian...Setelah melakukan serangkaian proses terapi, kini kondisi Bryan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dia kini sudah jarang merasakan yang namanya sesak napas atau pun nyeri dada yang biasanya dia alami. Hal itu membuat Nina merasa bahagia.“Sudah ku bilang kan, Mas. Kamu pasti bisa sembuh. Apalagi kankermu belum terlalu parah. Kita tinggal rajin-rajin periksa ke rumah sakit saja dan berobat biar sel kankermu cepat musnah.”“Iya, sayang. Ini semua juga berkat kamu yang merawat aku tiap hari, mengatur pola makanku, mengingatkan aku untuk minum obat dan lain sebagainya. Kalau tidak ada kamu, mungkin penyakitku tambah parah.”Mereka baru saja selesai melakukan kontrol. Nina selalu setia mendampingi Bryan ke rumah sakit untuk berobat. Dan saat ini pasangan suami istri itu sedang duduk menunggu di taman rumah sakit sembari menunggu sopir menjemputnya.“Ayo, Mas. Kita pulang. Pak Jaka sudah sampai,&rdq
“J-jangan marah ya, Mas. Aku beneran gak sengaja. Maaf, aku ceroboh,” lanjut Nina enggan menatap suaminya. Dia takut dan merasa bersalah karena telah merusak mobil baru milik Bryan yang kata Pak Jaka harganya tembus ratusan milliar.Bryan menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, gak apa-apa. Lagian cuman penyok sedikit, kan? Untung saja kita gak mati.”Bryan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan. “Terus anak-anak gimana kabarnya? Di mana mereka sekarang?”“Mereka masih sekolah, Mas. Ini masih jam sembilan pagi,” jawab Nina.Bryan termenung sejenak sembari menatap istrinya yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya. “Nina… aku ingin jujur tentang semuanya.”Kini Nina memberanikan diri menatap sang suami. Tatapan mereka saling bertemu. Manik mata Bryan tampak berkaca-kaca.“Aku sudah tau semuanya, Mas. Aku tau dari dokter tentang penyakitmu ini.”&l
“Mas, jawab aku! Kamu tuh sebenarnya ada apa? Jawab aku dengan jujur! Jangan diam aja kayak orang bisu gini!” desak Nina. “Kamu cuman akting ya, Mas? Biar aku merasa kasihan dan bisa memaafkan kamu dengan mudah? Begitu ya?”Nina pasrah melihat keterdiaman suaminya. Bryan masih saja enggan terbuka. “Kalau kamu masih tertutup begini, aku beneran akan pergi. Aku muak, Bryan! Urus saja hidupmu sendiri! Aku pun akan mengurus hidupku sendiri!”Nina kembali melangkah menjauhi suaminya. Dia benar-benar kecewa berat dan marah.“Nina, stop! Jangan pergi, Nina. Kembali, sayangku. Please. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku tidak sanggup hidup tanpamu,” teriak Bryan kepada Nina yang semakin jauh.“Urus saja hidupmu sendiri, Bryan! Aku tidak peduli lagi denganmu!” balas Nina dengan teriak pula.Saat Nina hendak melanjutkan langkahnya, Bryan justru mendadak diam seperti patung. Bryan lalu memegangi da
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i