Pikiran Nina semakin berkecamuk. Air matanya semakin deras. Begitu pun dengan Bi Lastri yang saat ini mulai berkaca-kaca.
Nina langsung mendekati brankar Bryan dan diraihnya jari-jemari yang tidak bergerak sama sekali saat disentuh.
“Mas Bryan!! Bangun, Mas!! Hiks.. Bangun, Mas!! Tolong bangun, Mas!!” ucap Nina heboh sembari menangis histeris.
“Bu, jangan seperti ini! Tolong jaga sikap Anda! Pasien tidak boleh diganggu!” tegur perawat berusaha menjauhkan Nina dari brankar Bryan.
Perawat terus mendorong brankar Bryan hingga ke ruang ICU, tanpa memedulikan Nina yang masih mencoba mengikuti mereka.
Nina pasrah saat Bryan sudah dibawa masuk ke dalam ruang ICU. Nina hanya bisa menyandarkan kepalanya di pintu itu sembari tersedu-sedu.
“Ya Tuhan, aku mohon kuatkan Mas Bryan. Jangan Engkau buat dia menderita seperti ini,” lirih Nina.
*
Fredrinn kembali ke ruang tempat Bryan dirawat. Gurat sendu terpa
Tiga hari kemudian, Bryan sudah melewati masa kritis dan dipindahkan ke ruang rawat inap, tetapi pria itu belum juga sadarkan diri.Bi Lastri ditugaskan untuk menemani Bryan di rumah sakit, karena Fredrinn juga harus mendampingi istrinya di rumah sakit lain.Bi Lastri melihat sosok Nina yang sedari tadi duduk menunggu di depan ruang rawat tersebut. Bi Lastri tidak tega melihat Nina yang terus menangis. Bi Lastri akhirnya menyuruh Nina untuk masuk ke dalam, menemui Bryan, walaupun Fredrinn tadi telah berpesan agar melarang Nina menemui anaknya.“Nduk, cepat masuk ke dalam, temui Tuan Muda. Kamu mau melihatnya, kan? Buruan. Sebelum Tuan Besar datang!” desak Bi Lastri.Nina mengangguk dan segera masuk ke dalam sana.Kini, Nina tinggal sendirian di ruangan tersebut setelah Bi Lastri pamit undur diri. Bi Lastri ingin memberikan waktu kepada Nina untuk berduaan bersama Bryan di dalam sana. Bi Lastri berjanji akan kembali lagi nanti untuk menjaga Bryan.
Singkat cerita, keesokan harinya, Rosalina sudah selesai dimakamkan. Beberapa keluarga jauh yang mendapat kabar duka ini langsung terbang ke Jakarta, menemui Fredrinn untuk menyampaikan rasa duka citanya.Saat ini rumah Fredrinn dipenuhi oleh sanak saudara, mereka datang jauh-jauh dari Bali, Malaysia, bahkan dari Singapura, semuanya hadir ingin menyaksikan pemakaman Rosalina. Adapun keluarga yang menetap di Belanda dan Inggris, mereka tidak bisa hadir, karena tidak akan sempat. Mereka hanya memberi ungkapan bela sungkawa melalui pesan pribadi kepada keluarga inti Lawrence.“Kamu yang tabah, Fredrinn. Our prayers are always with you.”Fredrinn hanya mengangguk lemah dengan mata yang sembab saat sepupu jauhnya memberikan ucapan bela sungkawa.“Fredrinn, kenapa aku tidak melihat keponakanku? Di mana, Bryan?” tanya Jenna, saudara perempuan Fredrinn yang tertua.“Anakku juga sedang sakit, Kak Jen. Dia masih dirawat
“Tolong saya, Nina. Sudah cukup saya kehilangan istri saya. Saya tidak mau lagi kehilangan anak saya. Saya tidak mau melihat Bryan menderita seumur hidup. Jika dia terus bersamamu, Bryan akan merasa bersalah setiap harinya karena dia tidak bisa lagi mencari uang untuk kamu. Bryan akan merasa hidupnya tidak berguna. Jadi saya minta ke kamu, tolong lupakan saja anak saya. Semua demi kebaikan Bryan juga. Kamu harus tau bahwa cinta sejati itu tidak harus memiliki, cinta yang tulus itu saat kamu rela melepaskan Bryan demi menjalani kehidupannya yang lebih baik. Saya juga yakin kamu akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dari anak saya.”Fredrinn mulai meneteskan air matanya. “Sungguh saya tidak bisa melihat anak saya sendiri harus menanggung beban berat seperti ini. Hidup di kota ini juga akan membuat Bryan merana karena terus mengingatkannya kepada istri saya yang sudah tiada. Saya mau anak saya membuka lembaran baru di negara orang dan melupakan semua kenangan buruk selama t
'Di saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak ada di samping kamu, Mas.Kamu jangan mencariku lagi, Mas. Aku memutuskan untuk pulang ke kampung. Kamu jangan cemaskan janinku ini. Biar aku saja yang merawat anak kita.Kata dokter, kamu bakalan lumpuh selamanya, Mas. Aku tidak sudi hidup bersama pria cacat sepertimu. Kalau aku tetap di sini, aku akan repot setiap hari ngurusin kamu.Kamu sudah tidak berguna lagi untuk aku, Mas. Kamu gak bakalan bisa mencari uang untuk menghidupi aku serta anak kita nanti.Lebih baik aku pergi saja terus mencari laki-laki lain yang lebih sehat, lebih ganteng, dan tentunya yang punya duit lebih banyak dari kamu.Kamu kembali saja ke Papamu, Mas! Aku dari dulu emang gak pernah cinta sama kamu kok. Aku cuman memanfaatkan kamu saja karena kamu kaya raya.Sekarang kamu sudah gak ada artinya bagiku, karena kamu cacat!Jangan hubungi
Nina menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Nina sanggup merawat bayi ini sendirian. Nina akan mencari pekerjaan untuk membiayai bayi ini sampai dia besar.”“Bukan masalah sanggup atau tidaknya, Nak. Tapi soal harga diri. Apa kata tetangga nantinya setelah mereka tau kamu hamil di luar nikah? Keluarga kita akan menjadi bahan pergunjingan warga-warga di kampung ini, Nak. Ibu tidak mau nama keluarga kita jadi buruk di mata orang lain. Apalagi kamu ini perempuan, pasti mereka bakalan menjelek-jelekkan kamu, menginjak harga diri kamu dan mengecap kamu sebagai gadis murahan, Nak. Ibu tidak mau hal itu terjadi padamu.”“Nina terima resikonya, Bu. Nina gak peduli dengan omongan orang nantinya.”Aliyah menghela napas kemudian kembali membujuk anaknya. “Janganlah kamu keras kepala, Nak. Ikuti saran ibu. Nikahlah. Ini juga demi kebaikan kamu sendiri dan bayi ini. Kamu butuh pendamping, Nak. Biar kamu enak, saat melahirkan ada yang menemani
Keesokan harinya, Nina bersama ibunya datang ke rumah Maya yang jaraknya lumayan jauh. Di sana, Maya juga sudah menunggu kedatangan tamunya. Kemarin malam, Aliyah memang telah menginfokan soal kedatangan mereka ini. Jadinya Maya sudah menyiapkan beberapa cemilan dan jamuan lain untuk menyambut Aliyah dan Nina.“Assalamualaikum,” pekik Aliyah.Maya yang mendengarnya langsung menjawab salam itu dan mempersilakan tamunya masuk.Maya menerbitkan senyum saat melihat anak gadis Aliyah. (Gadis tapi tak perawan. Wkwwk)“Anakmu iki makin ayu tenan,” puji Maya. Maya lalu melihat perubahan fisik Nina yang semakin berisi. “Kamu makin gemuk aja ya. Padahal terakhir saya lihat kamu, kamu masih kurus kering,” ucap Maya kepada Nina.“Yaa, maklumi saja, Bu Maya. Anak saya kan baru balik dari Jakarta. Di sana, Nina selalu dikasih makan yang enak-enak sama majikannya. Jadinya badan Nina makin makmur deh,” jawab Aliyah b
Singkat cerita, hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.Mengenakan kebaya sederhana dan polesan tipis di wajahnya tidak membuat kecantikan Nina berkurang sedikit pun. Nina begitu gugup saat ini, ekspresinya juga memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Bagaimana tidak, hari ini Nina akan dipersunting oleh pria yang tidak ia cintai, bahkan mengenalnya saja belum lama. Nina sama sekali belum tau karakter pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu seperti apa.Akad digelar di rumah mempelai laki-laki, mengingat rumah Nina yang bisa dikatakan tidak layak dijadikan tempat gelaran akad, apalagi rumah Nina sempit, tidak bisa menampung orang banyak.Di acara pernikahan ini, hanya hadir keluarga inti saja dan beberapa tetangga terdekat.Nina mengeluarkan air mata, saat penghulu sudah meresmikan mereka sebagai pasangan suami istri. Para hadirin pun mengangkat tangan seraya mengucap doa kepada kedua mempelai. Sedangkan Nina hanya bisa terisak. Ia menangis buk
Keesokan harinya, Nina terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi. Ia berbalik badan dan tidak mendapati suaminya di sana. Ternyata Ilham sudah pergi bekerja.“Nina!! Kamu belum bangun?!! Ini sudah siang, loh!!!” Terdengar suara ibu mertua yang berteriak kencang memanggil namanya.Nina pun langsung bangkit dari kasurnya dan keluar kamar. Ia menghampiri Maya yang berada di dapur. Nina melihat setumpuk piring kotor di wastafel.“Kamu bantuin ibu nyuci piring ya!” ucap Maya dengan entengnya. Nina mengangguk pelan.Nina membuka tudung saji, berharap ada lauk-pauk di bawah sana.“Heh, kamu cari apa?” tanya Maya.“Aku mau sarapan, Bu.”“Enak aja! Kamu baru bangun, masa mau langsung makan sih? Kamu cuci piring dulu sana! Terus nyapu, ngepel, sekalian jemurin pakaian yang sudah ibu cuci. Baru kamu boleh makan!”Belum ada sehari menjadi ibu m
“J-jangan marah ya, Mas. Aku beneran gak sengaja. Maaf, aku ceroboh,” lanjut Nina enggan menatap suaminya. Dia takut dan merasa bersalah karena telah merusak mobil baru milik Bryan yang kata Pak Jaka harganya tembus ratusan milliar.Bryan menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, gak apa-apa. Lagian cuman penyok sedikit, kan? Untung saja kita gak mati.”Bryan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan. “Terus anak-anak gimana kabarnya? Di mana mereka sekarang?”“Mereka masih sekolah, Mas. Ini masih jam sembilan pagi,” jawab Nina.Bryan termenung sejenak sembari menatap istrinya yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya. “Nina… aku ingin jujur tentang semuanya.”Kini Nina memberanikan diri menatap sang suami. Tatapan mereka saling bertemu. Manik mata Bryan tampak berkaca-kaca.“Aku sudah tau semuanya, Mas. Aku tau dari dokter tentang penyakitmu ini.”&l
“Mas, jawab aku! Kamu tuh sebenarnya ada apa? Jawab aku dengan jujur! Jangan diam aja kayak orang bisu gini!” desak Nina. “Kamu cuman akting ya, Mas? Biar aku merasa kasihan dan bisa memaafkan kamu dengan mudah? Begitu ya?”Nina pasrah melihat keterdiaman suaminya. Bryan masih saja enggan terbuka. “Kalau kamu masih tertutup begini, aku beneran akan pergi. Aku muak, Bryan! Urus saja hidupmu sendiri! Aku pun akan mengurus hidupku sendiri!”Nina kembali melangkah menjauhi suaminya. Dia benar-benar kecewa berat dan marah.“Nina, stop! Jangan pergi, Nina. Kembali, sayangku. Please. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku tidak sanggup hidup tanpamu,” teriak Bryan kepada Nina yang semakin jauh.“Urus saja hidupmu sendiri, Bryan! Aku tidak peduli lagi denganmu!” balas Nina dengan teriak pula.Saat Nina hendak melanjutkan langkahnya, Bryan justru mendadak diam seperti patung. Bryan lalu memegangi da
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“