Aliyah terkaget saat melihat kedatangan anaknya di malam hari seperti ini. Terlebih lagi kondisi anaknya amat kacau. Mata yang sembab dan merah akibat menangis, beberapa luka lebam di wajah dan sekitar lengan, ditambah wajah yang tampak pucat.
Aliyah berlari menuju anaknya yang baru saja turun dari angkot. Wanita berdaster itu merengkuh kedua pipi Nina. “Ada apa denganmu, Nak? Mana suamimu? Kenapa kamu naik angkot sendirian malam-malam begini? D-dan kenapa kamu memar kayak gini, Nak? Kamu habis dipukul? Sama siapa, Nak?”
Nina langsung menangis di dekapan ibunya. Tak kuasa menahan air mata, Nina terisak histeris.
“Kalian bertengkar ya, Nak?” tanya Aliyah iba. Aliyah semakin mengeratkan pelukannya dan mengelus-elus punggung anaknya.
“Nina gak mau lagi kembali ke Mas Ilham, Bu. Dia jahat, Bu. Nina trauma. Nina gak sanggup hidup bersama dia lagi,” jawab Nina dengan suara gemetar. Tubuhnya berguncang, dadanya naik turun akibat menangis.
Aliyah yang meli
Kurir tersebut membaca nama yang tertera di sana. “Dari Justin Bieber, Mbak.”“Ih, Masnya ada-ada saja deh. Yakali Justin Bieber ngirimin saya paket, saya bukan Hailey Bieber!”“Saya cuman baca apa yang tertulis di sini aja, Mbak. Udahlah, Mbak. Ambil aja paketannya. Lagian paket ini udah dibayarin sama si pengirim kok!”Kurir itu menyerahkan satu box besar kepada Nina.“Tanda tangan dulu ya, Mbak, sebagai bukti kalau paketnya udah diterima,” kata kurir.Setelah itu, Nina memutuskan masuk ke dalam rumah dan membuka box tersebut. Berisi perlengkapan bayi, mulai dari beberapa pasang baju bayi perempuan dan laki-laki lengkap dengan sarung tangan, kaos kaki, kupluk, handuk bayi, popok, beserta alat mandi khusus bayi.Nina lalu menemukan selembar kertas yang terselip di dalam box tersebut. Ternyata berisi surat dari Bryan.'Nina, ini aku Christiano Ronaldo. (Gak, bercanda)
Sesampainya di ruang persalinan, suster yang ada di sana segera membantu menempatkan Nina di ranjang persalinan. Suster tersebut lalu terburu-buru memanggil dokter spesialis kandungan.“Uhh. Rasanya sakit sekali, Bu. Nina gak tahan,” keluh Nina sembari mencengkram seprai hingga berantakan.“Sabar ya, Nak. Kamu harus kuat! Namanya melahirkan ya seperti ini.” Aliyah membantu menenangkan Nina. Aliyah mengelus-elus kepala Nina sedikit rileks.Tak lama kemudian, dokter kandungan itu pun datang dengan didampingi dua orang suster. Dokter itu memeriksa kondisi pasiennya lebih dulu dan mengatakan belum saatnya Nina melahirkan.Pada akhirnya, Nina dan Aliyah menunggu di ruangan itu. Nina mengeluh karena seluruh tubuhnya semakin sakit.Tiba-tiba Nina menangis saking sakitnya. “Kenapa bayinya gak mau keluar ya, Bu? Badanku sudah sakit semua. Rasanya mau pingsan.”“Sabar, Nak. Belum waktunya. Mungkin si bayi masih nyari-nyari jalan keluar.”“Nina
Keesokan harinya, Nina akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah setelah mendapatkan izin dari dokter.Saat ini, Nina sedang menyusui bayinya. Nina tersenyum melihat anaknya yang sangat menikmati ASI darinya.“Semoga kamu besarnya mirip Princess Diana ya, Nak. Jangan mirip Mama, soalnya Mama gak cantik-cantik amat,” ucap Nina merendah.Setelah beberapa menit, Brianna akhirnya berhenti menyusu. Nina pun membaringkan bayinya di kasur, karena Brianna juga tampaknya telah tertidur lelap.Nina terus-terusan menatap bayinya tanpa henti. Bibir Nina semakin merekah, senyumannya semakin lebar. Nina tak menyangka dirinya bisa menjadi ibu muda di usianya yang ke-19 tahun.Nina mengelus-elus kepala bayinya dengan lembut. “Kamu ini manusia asli atau boneka sih, Nak? Kenapa kamu gemesin banget? Pengen tak hap kamu!”Aliyah yang tak sengaja melewati kamar Nina yang kebetulan tidak tertutup rapat dibuat terkaget saat melihat Nina sedang
Nina kemudian berpikir bahwa anaknya itu ingin ditimang-timang. Nina menggendong bayinya dan berjalan ke teras rumah sembari menghirup udara segar di pagi hari. Cuaca matahari pagi juga masih sehat jam segini, Nina dan bayinya pun berjemur sebentar.Nina kembali masuk ke dalam rumah. Tangisan Brianna semakin keras. Nina menjadi keringat dingin.“Aduh, Brianna ini kenapa ya? Kok nangis terus sih?” tanya Nina heran.Dalam hati, Nina terus berdoa, berharap agar ibunya cepat pulang ke rumah.“Ibu cepat pulang dong, Bu. Aku bingung banget di sini,” gumam Nina pasrah.Singkat cerita, Aliyah akhirnya pulang setelah selesai menemani suaminya berobat.Nina langsung berlari ke ibunya dan meminta bantuan.“Bu, tadi Brianna nangis terus, padahal sudah Nina kasih ASI. Tapi dia masih terus menangis.”“Terus sekarang Brianna di mana?”“Ada di kamar, Bu. Sekarang sih udah bobo lagi s
“Enggh… a-aku… aku sudah menjanda, Mas. Waktu kandunganku tiga bulan, aku dijodohkan oleh ibu, karena takut dikira hamidun sama tetangga. T-tapi aku sudah pisah kok dari laki-laki itu,” jawab Nina gugup, merasa bersalah.Bryan hening sejenak. Dia tampak terkejut dengan penuturan Nina barusan.“Tapi kamu gak cinta kan sama laki-laki itu? Kamu tetap cintanya sama aku, kan?” tanya Bryan setelah sekian lama berdiam diri.“Tentu enggak dong! Cintaku hanya buat kamu, Mas!” jawab Nina penuh yakin.Bryan tersenyum tipis. Namun matanya tampak berkabut. "Aku mau lihat anak kita. Aku ubah ke video call ya? Anak kita ada bersamamu kan?"“Iya, Mas. Ini aku sambil ngegendong anak kita.”“Oke.”Bryan lalu mengalihkan panggilan suaranya ke video call. Senyum haru tercipta di bibir Bryan ketika melihat anaknya yang menggemaskan.“Anak kita cowok atau cewek, sayang?”“Cewek, Mas.”Bryan semakin bahagia dibuatnya. “Syukurlah keinginanku terkabul.” Bryan lalu melambaikan tangannya. “Halo, Zylvina. Cantik
Empat bulan kemudian, Nina akhirnya resmi berstatus janda. Proses perceraiannya dengan Ilham lumayan memakan waktu yang lumayan lama, karena Ilham sempat menolak gugatan cerai itu.Setelah sidang perceraian berakhir, Nina langsung pulang ke rumah dengan perasaan yang lega. Nina membiarkan anaknya bermain-main bersama ibunya, sementara dia memilih untuk menghubungi Bryan.Tidak pakai lama, panggilan video itu langsung tersambung. Tampak Bryan sedang mandi.“Kamu lagi ngapain itu, Mas?” tanya Nina basa-basi. Padahal dia pun sudah tau bahwa Bryan sedang mandi.“Aku lagi berdiri di bawah shower yang menyala dan membiarkan tubuhku tersiram oleh kumpulan air dari shower ini.”“Ishh! Bertele-tele kali jawabanmu, Mas! Tinggal bilang aja, lagi mandi!”“Kamu sih pake nanya segala! Padahal udah lihat dengan jelas!” jawab Bryan dengan mata yang tertutup. Ia kemudian mengambil sampo dan mulai keramas.
“Kenapa sih, sayang? Lagian Brianna juga belum mengerti omongan kita.”“Hm. Terserah kamu deh, Mas.”Brianna hanya diam, fokus memperhatikan layar ponsel Nina. Mungkin anak itu kebingungan dengan sosok yang berbicara dari layar tersebut.“Kalau dilihat-lihat kok anak kita gak ada mirip-miripnya dengan kamu ya, Nin?” tanya Bryan.“Iya nih, Mas. Makin gede, Brianna makin mirip kamu! Brianna itu kamu versi cewek, Mas! Alisnya tebel kayak kamu, hidungnya juga mancungnya mirip kamu. Warna matanya juga persis kamu, sama-sama hazel. Putihnya juga mirip kamu, Mas. Putih khas bule-bule Eropa. Kamu cuman kebagian hikmahnya aja, Mas. Brianna mah cuman numpang hidup di perut aku aja. Kesal aku.”Melihat bibir Nina yang manyun, Bryan seketika tertawa. Anak mereka pun ikut tertawa, padahal belum paham apa-apa.“Itu karena kamu sering mikirin aku selama hamil, makanya anak kita jadinya mirip aku.”
Singkat cerita, Bryan sudah tiba di Indonesia setelah hari kelulusannya kemarin. Hari ini, Bryan kembali menginjakkan kaki di rumahnya setelah sekian lama. Rasanya sangat sepi karena sang ibunda telah berpulang ke rahmatullah. Begitupun ayahnya yang saat ini sedang berada di Malaysia untuk keperluan bisnis. Sarah juga sudah resign lima bulan yang lalu. Hanya tersisa Bi Lastri seorang diri yang masih setia menjaga rumah itu.Bukannya bahagia karena kelulusannya, Bryan justru merasa sedih. Tidak ada satu pun yang menyambut kepulangannya kembali. Jika Rosalina masih hidup dan sehat, sudah pasti Bryan akan mendapat surprise saat datang ke rumah dan juga kelulusannya ini akan dirayakan besar-besaran. Berbeda dengan Fredrinn, orang tua yang satu itu memang tidak terlalu peduli dengan anaknya.Tiba-tiba saja beberapa kertas konfeti berhamburan dari atas kepalanya. Bryan mendongak dan mendapati Bi Lastri, satpam dan sopirnya yang sedang memegang konfeti dan terompet untu
Bryan sedikit kecewa mendengar sang istri yang tidak ingin hamil lagi. Tapi Bryan mencoba memahami keadaan Nina. Lagi pula, mereka juga telah memiliki empat orang anak. Bryan rasa, itu sudah lebih dari cukup.“Oke, sayang. Aku paham kalau kamu gak mau hamil lagi. Tolong ambilkan kondomku di dalam laci.”Suasana kamar yang sebelumnya sunyi kini terdengar desahan dari keduanya. Selain itu, terdengar juga deru napas yang memburu dari pasangan suami istri yang sedang melakukan penyatuan.Nina segera merebahkan tubuhnya di samping Bryan kala dia sudah selesai melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Dia lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua.Bryan merengkuh tubuh istrinya yang dipenuhi keringat. Dia mengusap wajah istrinya yang banjir pelu dengan telapak tangannya yang lebar, lalu dia kecup kening sang istri dengan mesra.“Terima kasih, sayang. Kamu hebat sekali,” ucap Bryan sembari mempererat peluka
Satu bulan kemudian...Setelah melakukan serangkaian proses terapi, kini kondisi Bryan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dia kini sudah jarang merasakan yang namanya sesak napas atau pun nyeri dada yang biasanya dia alami. Hal itu membuat Nina merasa bahagia.“Sudah ku bilang kan, Mas. Kamu pasti bisa sembuh. Apalagi kankermu belum terlalu parah. Kita tinggal rajin-rajin periksa ke rumah sakit saja dan berobat biar sel kankermu cepat musnah.”“Iya, sayang. Ini semua juga berkat kamu yang merawat aku tiap hari, mengatur pola makanku, mengingatkan aku untuk minum obat dan lain sebagainya. Kalau tidak ada kamu, mungkin penyakitku tambah parah.”Mereka baru saja selesai melakukan kontrol. Nina selalu setia mendampingi Bryan ke rumah sakit untuk berobat. Dan saat ini pasangan suami istri itu sedang duduk menunggu di taman rumah sakit sembari menunggu sopir menjemputnya.“Ayo, Mas. Kita pulang. Pak Jaka sudah sampai,&rdq
“J-jangan marah ya, Mas. Aku beneran gak sengaja. Maaf, aku ceroboh,” lanjut Nina enggan menatap suaminya. Dia takut dan merasa bersalah karena telah merusak mobil baru milik Bryan yang kata Pak Jaka harganya tembus ratusan milliar.Bryan menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, gak apa-apa. Lagian cuman penyok sedikit, kan? Untung saja kita gak mati.”Bryan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan. “Terus anak-anak gimana kabarnya? Di mana mereka sekarang?”“Mereka masih sekolah, Mas. Ini masih jam sembilan pagi,” jawab Nina.Bryan termenung sejenak sembari menatap istrinya yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya. “Nina… aku ingin jujur tentang semuanya.”Kini Nina memberanikan diri menatap sang suami. Tatapan mereka saling bertemu. Manik mata Bryan tampak berkaca-kaca.“Aku sudah tau semuanya, Mas. Aku tau dari dokter tentang penyakitmu ini.”&l
“Mas, jawab aku! Kamu tuh sebenarnya ada apa? Jawab aku dengan jujur! Jangan diam aja kayak orang bisu gini!” desak Nina. “Kamu cuman akting ya, Mas? Biar aku merasa kasihan dan bisa memaafkan kamu dengan mudah? Begitu ya?”Nina pasrah melihat keterdiaman suaminya. Bryan masih saja enggan terbuka. “Kalau kamu masih tertutup begini, aku beneran akan pergi. Aku muak, Bryan! Urus saja hidupmu sendiri! Aku pun akan mengurus hidupku sendiri!”Nina kembali melangkah menjauhi suaminya. Dia benar-benar kecewa berat dan marah.“Nina, stop! Jangan pergi, Nina. Kembali, sayangku. Please. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku tidak sanggup hidup tanpamu,” teriak Bryan kepada Nina yang semakin jauh.“Urus saja hidupmu sendiri, Bryan! Aku tidak peduli lagi denganmu!” balas Nina dengan teriak pula.Saat Nina hendak melanjutkan langkahnya, Bryan justru mendadak diam seperti patung. Bryan lalu memegangi da
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa