Keesokan harinya, seperti biasa, Bryan mengajak keempat anaknya untuk mengunjungi Nina di rumah sakit sebab semalam Nina hanya didampingi oleh Aliyah dan Rozak.
Saat Bryan beserta anak-anaknya hendak masuk ke dalam mobil, Riko menahannya.
“Apa aku juga boleh ikut?”
“Iya boleh,” jawab Bryan ramah.
Riko mengulas senyum. “Terima kasih, Bang.”
Akhirnya Riko bergabung masuk di dalam mobil bersama Bryan dan empat keponakannya yang menggemaskan itu. Riko duduk di kursi penumpang bagian belakang bersamaan dengan Cattleya, Khaylila, dan Jonathan. Sementara Brianna duduk di sebelah Bryan di kursi depan.
Brianna menoleh ke belakang, melihat Riko yang duduk di antara ketiga adiknya. “Om Riko kok panggil Papa dengan sebutan Bang?” tanya Brianna kepo. Tentu saja dia belum paham bahwa Riko adalah adiknya Bryan, yang juga otomatis menjadi pamannya.
&
“Kita ke rumah sakit dulu ya. Soalnya Bryan ada di sana,” ujar Fredrinn kepada Riko yang tengah mengemudi mobil.“Loh, siapa yang sakit? Bryan?” tanya Adelina yang mendadak khawatir.“Bukan. Tapi menantuku,” jawab Fredrinn.“Oh. Bryan ternyata sudah menikah, ya?” tanya Adelina lagi.“Iya. Bahkan sudah punya anak empat.”Adelina kemudian melirik ke Riko. “Kalau kamu kapan rencana nikah, Nak?”Bless! Hati Riko terasa tertancap duri saat mendapatkan pertanyaan menohok seperti itu.“Mama nih apaan sih? Kok langsung nanya begitu?” balas Riko tidak terima ditanya demikian.“Mama kan cuman nanya. Gak salah toh?”“Salah dong! Salah banget malah!”“Salahnya di mana?”“Jelas salah. Tidak seharusnya Mama bertanya seperti itu.
Keesokan harinya, Fredrinn mengajak Riko mengunjungi kantor cabang Lawrence Company. Di sana, Fredrinn memperkenalkan Riko sebagai anaknya sekaligus penerusnya dalam mengelola perusahaan itu.“Saya kira anak Pak Fredrinn cuman Pak Bryan,” celetuk salah satu karyawan yang terdengar jelas di telinga Fredrinn.“Tidak. Riko juga anak saya. Cuman baru terungkap sekarang,” jawab Fredrinn santai.“Semacam program investigasi ya, Pak. Baru terungkap sekarang.”“Iya, begitulah.”Setelah selesai memperkenalkan Riko kepada semua karyawan di kantor itu, Fredrinn lalu mengajak Riko untuk menemui Adelina, ibu kandungnya.“Kenapa Papa mengajak aku ke tempat ini?” tanya Riko setelah mereka tiba di rumah Adelina.“Ini adalah rumah mama kandung kamu. Walaupun kamu tidak tertarik untuk mengetahui siapa mama kamu, tapi tetap saja kamu h
Keesokan harinya, seperti biasa, Bryan mengajak keempat anaknya untuk mengunjungi Nina di rumah sakit sebab semalam Nina hanya didampingi oleh Aliyah dan Rozak.Saat Bryan beserta anak-anaknya hendak masuk ke dalam mobil, Riko menahannya.“Apa aku juga boleh ikut?”“Iya boleh,” jawab Bryan ramah.Riko mengulas senyum. “Terima kasih, Bang.”Akhirnya Riko bergabung masuk di dalam mobil bersama Bryan dan empat keponakannya yang menggemaskan itu. Riko duduk di kursi penumpang bagian belakang bersamaan dengan Cattleya, Khaylila, dan Jonathan. Sementara Brianna duduk di sebelah Bryan di kursi depan.Brianna menoleh ke belakang, melihat Riko yang duduk di antara ketiga adiknya. “Om Riko kok panggil Papa dengan sebutan Bang?” tanya Brianna kepo. Tentu saja dia belum paham bahwa Riko adalah adiknya Bryan, yang juga otomatis menjadi pamannya.&
“Jadi kamu sama sekali tidak marah sama saya?” tanya Fredrinn setelah melihat reaksi Riko.Riko menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tentu saja tidak. Apa itu marah? Di kamus kehidupan saya tidak ada istilah seperti itu.”Fredrinn dan Bryan saling melemparkan tatapan herannya satu sama lain. Mereka berdua keheranan melihat Riko yang tampak biasa saja dan tidak terkejut sama sekali. Tapi di sisi lain, Fredrinn merasa bersyukur karena permasalahan ini tidak akan panjang, sebab Riko sama sekali tidak marah atau kecewa padanya.“Jadi, apakah saya bisa tidur rumah ini mulai malam ini?” tanya Riko lagi, penuh harapan.Bryan mengangguk pelan. “Boleh. Kebetulan di rumah ini masih banyak kamar kosong. Kamu pilih saja sesukamu kamar mana yang mau kamu tempati.”Riko menerbitkan senyum lebarnya. “Baiklah. Saya mau tidur sekamar dengan Bu Nina,” jawabnya
Kening Nina berkerut. “Hah? Dicky? Kenapa dia menghubungiku tiba-tiba begini?”Bryan mengedikkan bahu. “Entahlah. Aku matikan saja ya. Lagian tidak penting menjawab panggilannya.”“Jangan begitu, Mas. Angkat saja dulu. Siapa tau penting.”“Buat apa sih kita mengangkat panggilan si kutu kasur ini? Dia kan orang yang sudah membuatmu celaka!”“Yang membuatku celaka itu adalah anak buah William, Mas. Bukan Dicky,” sanggah Nina.“Iya, benar katamu. Tapi dia kan termasuk orang yang membantu William untuk menjebak kamu!”Nina hanya menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, Mas. Matikan saja kalau begitu.”Bryan pun menolak panggilan dari Dicky. Meskipun Dicky mencoba menelponnya lagi. Namun Bryan terus menolak, bahkan memilih untuk mematikan ponsel Nina agar tidak diganggu lagi.Di seberang sana, Dicky merasa seperti orang yang terbuang. Tidak punya siapa-s
Tidak bosan-bosannya Dicky mencari Riko bahkan sampai di area luar rumah. Namun yaa, tetap saja tidak ketemu.Beberapa menit kemudian, logika Dicky mulai terbuka. “Apa jangan-jangan Riko sengaja ya? Apa dia ngerjain aku? Apa ini adalah rencananya agar aku putus dari Mas Willi?” tebak Dicky.Seketika Dicky merasa frustasi. “Ahh, sialan! Mas Riko jahat sekali! Padahal aku sudah rela memutuskan Mas Willi demi dia. Namun ternyata cintaku ditolak begitu saja dan justru kabur diam-diam.”Dicky kemudian menyesal. Dicky merenungi kesalahannya. Andai saja dia tidak tergoda oleh wajah tampan Riko. Pastilah hubungannya dengan William masih baik-baik saja.“Sialan! Aku tertipu dengan wajah tampannya. Bodoh sekali aku!” hardik Dicky mengutuk dirinya sendiri.Dicky pun kebingungan. Dia sudah hilang arah dan tujuan, bingung akan pergi kemana. Tidak mungkin dirinya kembali memohon-mohon pada William, karena sudah pasti William akan menolaknya mentah-mentah.