Share

10. Melepasku

"Jaga batasanmu, Ana!"

Wanita itu mendengus, tetapi masih urung melakukan apa yang Leon perintahkan. Justru semakin mengeratkan kedua tangannya di leher pria itu.

"Aku berpikir semesta berpihak padaku dengan menurunkan hujan saat aku sampai di sini," ucapnya manja.

"Tidak ada gunanya kau bicara omong kosong!" ketus Leon menyentak kasar tangan Anastasya dari lehernya hingga terlepas. "Sekalipun hujan turun sepanjang malam, tidak akan terjadi apapun pada kita." Memilih menghindar dengan bangkit dari sofa, dan berjalan ke dekat jendela.

Anastasya telah mengacaukan pikiran liarnya tentang Luna—gadis naif yang masih saja menginginkan pria lain. Tapi sayangnya telah mengusik benaknya sepanjang hari tadi. Kabar dari Pak Jang yang menjelaskan keadaan di sana aman terkendali pun, tak cukup membuatnya lega. Luna masih belum bisa ia tepikan dari benaknya, hingga kemunculan Anastasya yang tiba-tiba.

"Kenapa Le, kenapa kau selalu menolakku? Bukankah kita sudah pernah melakukannya sampai—"

"---tutup mulutmu!" sergah Leon cepat, tidak ingin Anastasya melanjutkan kalimatnya. "Pergilah sebelum kau melihat kemarahanku," lanjutnya dingin.

"Tidak! Sekalipun kau memaksaku, itu tidak akan aku lakukan. Kau datang satu tahun sekali, mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini."

Leon hanya merespon dengan lirikan singkat, sebelum akhirnya kembali meluruskan pandangan, dengan tangan terlipat di dada.

"Lizzie menginginkan hadiah yang lain. Apa salahnya kau bawa dia berkeliling besok. Aku tahu kau belum akan kembali, bukan?"

Sontak saja, Leon menoleh tegas. Melepaskan lipatan tangan dan beralih menghadap Anastasya yang masih melengkung senyum terbaik.

"Apa yang kau harapkan dari semua itu? Aku bisa lebih dekat dengannya? Kau tahu jawabanku, Ana. Jangan lagi meminta sesuatu yang mustahil aku lakukan." Leon segera mengangkat tangan, mengetahui Anastasya berusaha menyela. "Satu lagi. Jaga batasanmu sebagai istri. Tidak peduli siapa yang kau nikahi."

Setelahnya Leon melenggang pergi. Namun, ketika akan menanggapi pintu, kalimat Anastasya seketika menghentikannya.

"Apa artinya malam itu bagimu? Tidak cukupkah pengorbananku dengan menghabiskan masa mudaku bersama laki-laki tua itu?"

Leon segera memutar badan, menatap semakin dingin Anastasya yang sudah dibanjiri air mata. "Itu pilihanmu. Ada banyak laki-laki muda yang bisa kau pilih, kenapa kau memilih laki-laki itu sebagai suami sekaligus ayah untuk putrimu!"

"Kau yang membuatmu memilihnya, Le! Jangan lupakan itu!" geram Anastasya tidak terima. "Seharusnya kau cukup sadar diri betapa pengecutnya dirimu dengan mengabaikan kami! Melupakan tanggung jawab yang seharusnya itu kau lakukan setelah apa yang terjadi padaku!"

Suara lantang Anastasya tak cukup membuat Leon bergeming. Hanya urat rahangnya yang terlihat mengeras. Sebenarnya ia sudah sangat muak selalu disudutkan, tetapi untuk mengungkap segalanya, masih belum saatnya. Semua masih harus berjalan seperti yang terlihat sekarang, pun dengan opini yang terlanjur menghakimi dirinya sebagai pengecut.

"Dan sekarang kau menyebut itu pilihanku? Dimana akalmu, hah!" lanjut Anastasya menggebu.

"Setidaknya aku sudah beri kalian kehidupan yang layak. Terlalu serakah jika kau menginginkan yang lebih dariku."

Mengusap kasar pipinya yang basah, Anastasya melangkah lebar menghampiri Leon. Menatap marah pria itu dengan nafas memburu. "Kau pikir apa yang sudah kau berikan selama ini cukup membuat kami bahagia? Tidak! Itu tidak akan pernah sepadan. Terlebih waktuku yang sudah terbuang sia-sia untuk merawat ayahmu! Kau memang punya segalanya, tapi bagiku kau tak lebih dari pria menyedihkan yang berdiri dibelakang nama besar Smith!" kata Anastasia lantang

Detik berikutnya wanita itu meringis. Cengkraman Leon di tangannya seakan mampu mematahkan tulang yang masih dibungkus daging dan dilapisi kulitnya yang mulus.

Kendati ringisan Anastasya berubah rintihan, Leon belum berniat melepaskan cengkramannya. Wanita itu sudah sangat berani melewati batasan. Kemajuan yang cukup menyentak kemarahan yang sejak tadi berusaha ia tekan.

"Lantas, aku harus melupakan apa yang sudah kau lakukan dulu? Bertindak bodoh dengan menerimamu lagi, begitu?!"

"Tapi Le—"

"---sudahlah. Jangan bersikap seakan kau korban. Aku muak mendengarnya."

Leon menghempaskan tangan Anastasya dan sedikit mendorong wanita itu menjauh agar tidak menghalangi jalannya.

*****

"Seperti yang aku duga, Le sudah melakukan kesalahan dengan merampasnya dari pria itu," gumam Emma menyaksikan Luna masih memeluk erat pinggang Darma, saat dibawa ke tengah lautan menggunakan jet ski.

Beberapa saat lalu Darma meminta langsung padanya, jika dia sendiri yang ingin membawa Luna bermain ski untuk yang terakhir kali. Meski tidak tahu perjanjian apa yang sebelumnya telah disepakati pasangan itu, tetapi mendapati tatapan mengiba sang nyonya, Emma hanya bisa menurut pasrah.

Tidak hanya itu, sesaat sebelum meninggalkan dirinya, Luna meminta penuh harap agar ia tidak melaporkan apapun pada Leon yang terjadi hari itu, pun pertemuan sebelumnya dengan Darma. Dan, tanpa pertimbangan lagi Emma langsung menjawab tegas. Sekalipun benaknya menentang, tetapi hatinya lebih memilih mematuhi perintah sang nyonya.

Tak berselang lama, Emma berjingkat bangkit dari duduknya—mengetahui ski yang Darma kemudikan melaju kencang menuju dermaga. Bersikap layaknya seorang kakak yang mengkhawatirkan adiknya, dan lagi-lagi atas perintah Luna—Emma menanti dengan sabar pasangan itu mendekat.

Menerima uluran tangan Emma, Luna segera melompat ke dermaga. "Sebaiknya kita pulang sekarang, Kak. Hari sudah hampir malam," kata Luna setelah sempat melirik Darma yang tidak ikut turun.

"Baiklah.. aku bantu melepas pelampungnya dulu."

Setelah benda tersebut terlepas dari tubuh Luna, Emma menyerahkan pada petugas yang baru saja datang.

"Terima kasih." Keduanya kompak menoleh ke belakang, bahkan sebelum sempat melangkah. "Terima kasih telah memberi kami sedikit waktu untuk berdua," kata Darma lagi.

Sementara Emma langsung mengangguk, Luna hanya bisa tertunduk. Tidak memiliki cukup keberanian membalas, atau sekedar kembali menoleh Darma.

"Aku hanya berharap siapapun laki-laki itu, tidak akan tega menyakiti dia. Sekalipun itu hanya goresan kecil. Dia terlalu berharga untuk disakiti. Kelak, jika laki-laki itu tidak lagi menginginkannya, antarkan dia padaku." Seketika Luna mengangkat kepala, matanya sudah berkaca-kaca menatap manik Darma yang seolah terkunci pada dirinya. "Bagaimanapun keadaannya nanti, aku orang pertama yang selalu siap menyambut kedatangannya."

"Kak," ucap Luna pelan disertai lelehan bening berlomba-lomba terjun bebas. Hatinya hancur, bukan hanya penyerahan Darma, tetapi juga kepasrahan pria itu mampu meruntuhkan pertahanan dirinya hingga tak berbentuk lagi. "Aku mohon jangan lakukan itu. Kau harus hidup dengan baik. Aku yakin kau pasti bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih layak dariku."

"Tidak semudah itu, Luna. Yang lebih baik darimu memang banyak. Tapi belum tentu mereka bisa menggantikan posisimu, di sini." Melihat Darma menunjuk dadanya sendiri, Luna semakin hancur. "Aku bahkan ragu masih ada ruang untuk gadis lain. Walaupun sebenarnya aku juga sadar, kau bukan lagi milikku."

Luna semakin terisak mendengar kalimat memilukan tersebut keluar dari mulut pria yang dicintainya. Sedangkan Emma yang melihat segera mendekat, menyalurkan ketenangan dari pelukannya yang hangat dan penuh kasih sayang. Benar-benar seperti seorang kakak pada adiknya.

"Kembalilah sekarang, matahari sudah hampir tenggelam. Aku mengkhawatirkan dirimu." Detik berikutnya Darma ikut naik ke dermaga. Melenggang begitu saja menuju lorong ruang ganti khusus petugas.

Dalam dekapan Emma, Luna merasa hatinya sudah seperti serpihan kecil yang mustahil bisa disatukan lagi. Darma bersikap seolah benar-benar mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Kediaman pria itu selama mereka berada di atas ski pun, tak urung memuncul beberapa spekulasi di benaknya. Terlebih penyerahan Darma yang mendadak sebelum ia menjelaskan apapun, semakin meyakinkan. Jika pria itu sudah mengetahui kebenaran tentang dirinya, walaupun mungkin hanya sebagian.

"Dia sudah pergi. Sebaiknya kita juga pergi sekarang?"

Luna mengangguk, tetapi disusul pekikan lantang Emma. "Astaga!! Nyonya!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status