Share

9. Siapa dia?

Waktu berlalu, dan tanpa terasa hari berganti begitu cepat. Duduk di kursi taman seorang diri, Luna belum berniat beranjak meski sudah sejak satu jam lalu ada di sana. Tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan. Memandangi bunga-bunga bermekaran sedang bergoyang tertiup angin, tiba-tiba kehampaan menelungkup hati.

Anehnya ada sekelumit rasa yang tidak bisa dijelaskan, tetapi begitu nyata dirasa. Tepatnya sejak terbangun pagi tadi, mendapati sisi samping masih tetap rapi seperti hari kemarin dan lusa. Mendadak timbul kesedihan yang tidak diketahui pasti apa penyebabnya.

Mungkinkah ia merindukan Leon?

Tidak! Sisi hati Luna yang lain seketika menolak tegas. Rasa itu bukan tentang Leon yang bahkan tidak ada kabarnya sejak pergi satu minggu yang lalu. Kesedihan Luna lantaran teringat pertemuannya dengan Darma tempo hari.

Yah! Itu yang sebenarnya terjadi.

Mirisnya saat itu Darma tetap menganggapnya pembual. Seberapa keras ia sudah berusaha menjelaskan, tetap saja pria itu mengbabaikannya dengan memilih pergi meninggalkan dirinya yang hanya bisa terisak di tempat.

"Aku harus bagaimana sekarang? Aku bahkan sudah mengorbankan perasaanku demi keselamatanya. Tapi kenapa dia tidak bisa mempercayaiku."

Menghela nafas pelan, Luna menopang dagu dengan pandangan tetap lurus ke depan. Darma masih menghantui pikirannya. Tapi tidak tahu kenapa, ada hal lain yang lebih mempengaruhi dirinya untuk tetap berlama-lama disana. Perasaan aneh yang Luna sendiri tidak tahu bagaimana mengatasinya.

"Ada apa denganku, kenapa perasaan ini sering muncul akhir-akhir ini? Apakah benar aku butuh suasana baru?"

"Anda ingin berkunjung ke suatu tempat, Nyonya?"

Sempat terkejut mengetahui Emma sudah berdiri di dekatnya, Luna segera menegakkan punggung.

"Seperti yang Tuan jelaskan sebelum pergi ke Sydney, Anda diizinkan kemana saja selama itu bersama saya dan tetap di kota ini."

"Aku tidak mau kemanapun. Kapan dia akan kembali?" Detik berikutnya Luna mendongak—menatap Emma dengan mata mengerjap berulang kali. Sepertinya cukup terkejut bibirnya justru melontarkan pernyataan yang sebenarnya tidak ingin ia tanyakan. Terjadi kontradiksi di dalam sana. "Lupakan," ujarnya cepat sebelum Emma berspekulasi apapun tentang dirinya.

Sialnya mendapati bibir Emma berkedut, Luna yakin supirnya itu telah menyimpulkan sesuatu yang ia khawatirkan.

"Saya tidak tahu pasti, Nyonya. Tapi biasanya Tuan bisa lebih lama berada di sana. Selain pekerjaan, ada alasan lain yang membuat tuan tidak bisa kembali tepat waktu."

'Itu karena di sana dia juga punya peliharaan.'

"Seperti yang aku duga, kedekatan kalian tidak hanya sebatas majikan dan pelayan. Benarkah begitu?" tebak Luna semakin yakin.

"Kami memang sudah saling mengenal sejak beranjak remaja. Tapi saya tidak berani menyebut kedekatan kami setara teman. Saya tidak cukup pantas mendapat gelar tersebut."

'Yah! setidaknya kau banyak tahu tentang dia.'

Kembali menghela nafas pelan saat beralih lagi ke depan, mendadak Luna berubah kesal membayangkan Leon tengah bercumbu dengan wanita lain. Detik berikut tidak ingin rasa itu semakin menguasai akal sehat, Luna segara bangkit. "Aku ingin ke pantai."

*****

Berjalan di atas pasir tanpa alas kali, membiarkan beberapa kali ombak kecil menampar kulit kakinya, Luna merasa lebih baik. Setidaknya membaur dengan pengunjung lain, membuat kekesalan yang sempat merongrong hati sedikit teralihkan.

Sebenarnya Emma sudah menawarkan destinasi wisata yang lebih privat, tetapi Luna yang memang menyukai keramaian menjadikan tempat itu sebagai pilihan. Selain lokasinya tidak jauh dari mansion Leon. Dulu sebelum memutuskan menjadi pelayan pria itu, Luna juga sering datang untuk sekedar menikmati hari libur. Tentunya dengan tujuan yang lain.

Langkah Luna mendadak terhenti, seorang pria yang tengah berolahraga flyboarding di atas permukaan air dengan kedalam puluhan meter itu, menarik perhatiannya. Kendati sudah sering menyaksikan para atlet baik pria maupun wanita melakukan olahraga ekstrim tersebut, nyatanya Luna masih saja enggan berpaling---menatap kagum.

Bukan saja atraksinya saat meliuk-liuk diatas air dan bisa terbang ke udara layaknya Iron man yang menarik perhatian Luna. Tetapi begitu meyakini siapa pengendali alat itu, memunculkan keinginan untuk dibawa lagi bersamanya.

'Lupakan Luna. Masa-masa itu tidak akan terulang lagi. Ingat kau sudah menentukan pilihan, dan bersikaplah selayaknya istri yang bermartabat.'

Pada akhirnya perlahan kaki telanjang Luna bergerak meninggalkan pantai. Ia tidak ingin mengambil resiko apapun, terlebih jika itu menyangkut Darma. Lelaki yang sebenarnya sangat berat untuk ia tinggalkan. Tetapi kekuasaan Leon juga bukan perkara remeh yang bisa diabaikan begitu saja. Bahkan untuk menghancurkan sepuluh Darma pun, akan sangat mudah Leon lakukan.

"Kak, ada yang ingin bertemu denganmu, di sana."

Luna yang sebelumnya berjalan dengan kepala tertunduk, seketika mengangkat pandangan. Alisnya mengkerut mengetahui gadis yang menghadangnya, meruncingkan jari ke arah dermaga jet ski.

"Kau bicara denganku?" ujarnya ragu seraya menunjuk dirinya sendiri. Karena memang tidak ada siapapun di dekatnya.

"Iya, aku berbicara denganmu, Kak. Pergilah. Dia sudah menunggumu di sana."

"Siapa?" Kembali menoleh ke arah yang gadis itu tunjukan, Luna masih terlihat ragu. Pasalnya tidak ada yang ia kenal di sana. Sedangkan Emma saja ia minta menunggu di cabana terdekat.

"Kau akan tahu setelah melihatnya. Sudah ya, aku harus pergi sekarang."

Melihat gadis itu langsung berlari menjauh, Luna yang tidak ingin menanggapi serius memilih melanjutkan perjalanan menuju tempat dimana Emma duduk, serius dengan ponsel di tangannya.

"Kakak tidak ingin melakukan sesuatu?"

"Apa yang ingin Anda lakukan bersama saya, Nyonya." Mengetahui kehadiran Luna, Emma segera memasukan ponsel ke dalam saku celana dan memilih berdiri. "Silahkan duduk."

"Sebenarnya aku ingin sekali berputar-putar menggunakan jet ski. Tapi aku tidak bisa mengendarainya."

"Jet ski?"

"Hem. Lupakan jika Kakak juga tidak bisa."

"Sebenarnya itu sangat mudah, hanya saja—"

"---apa Le yang melarang?" sela Luna cepat melihat keraguan Emma.

Merasa tidak enak hati telah membuat sang nyonya kecewa, Emma memastikan waktu lebih dulu dari pergelangan tangannya, sebelum akhirnya kembali berkata, "jika Anda tidak mabuk laut, kita bisa melakukannya sekarang."

"Tidak. Aku sudah beberapa kali diajak berputar-putar oleh seseorang."

Terlalu semangat Luna sampai tidak sadar dengan apa yang baru saja diucapkan. Mengulas senyum samar, Emma segera mengikuti sang nyonya yang sudah berjalan lebih dulu.

Menunggu tidak sabar Emma yang sedang menemui petugas jet ski, senyum Luna merekah indah kala membayangkan keseruan bisa kembali memutari sebagian kecil lautan dengan transportasi air tersebut. Ia benar-benar sepenuhnya percaya Emma bisa melakukannya, mengingat cara berkemudi wanita itu yang sudah sangat mahir.

"Dengan siapa kau datang?"

Senyum itu perlahan menyusut ketika menoleh ke samping, menemukan Darma dengan pakaian dinasnya tengah menyatukan tangan di depan perut.

"Darma…"

"Apa kau datang dengan dia lagi?" Paham sudah pasti Emma yang pria itu bicarakan, Luna memaksakan diri untuk kembali tersenyum ketika mengangguk samar.

"Dia kakakku," kilahnya.

Tidak mungkin menjelaskan siapa Emma, selain tidak ingin menyakiti Darma begitu tahu statusnya yang sekarang. Rasa tidak rela masih saja tertinggal di dalam sana. Kontradiksi itu kembali terjadi. Luna selalu berada pada pilihan sulit ketika itu bersama Darma. Keyakinan yang sebelumnya diperkuat pun seketika melemah. Ketegaran jiwanya pun terguncang, setiap menatap dalam manik teduh pria yang dicintainya.

"Siapa dia yang sudah membuatmu berpaling dariku? Apakah dia seseorang yang berkuasa? Dan kau tidak memiliki pilihan lain selain berpisah dariku?"

Glek!

Luna merasa waktu benar-benar berhenti. Haruskah ia jujur sekarang?

Namun, belum sempat ia membuka mulut, kalimat lanjutan Darma semakin meyayat perih hatinya.

"Atau kau bosan denganku yang miskin ini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status