Share

8. Tetaplah bahagia

"Karena itu kau menikahinya?"

"Bukankah semua tetap harus sepadan?" Leon menarik ujung bibirnya hingga memunculkan seringai licik.

"Aku hanya berharap kau tidak pernah menyesal dengan keputusanmu sekarang."

"Tidak akan."

Menemukan gurat kecemasan di wajah tua pria yang ada di hadapannya itu, Leon tidak begitu saja terprovokasi. Memilih tetap menujukkan sikap tenang seperti yang selalu dilakukan.

"Menginaplah untuk malam ini. Lizzie juga pasti menginginkannya."

"Kau tahu jawabanku," singkat Leon yang langsung berdiri dari kursi. "Aku datang untuk mengurus bisnis, bukan menuruti keinginannya."

Tuan Smith mendesak nafas kasar, tapi Leon tak acuh dengan memilih segera pergi. Bahkan ketika wanita cantik yang baru datang membawa nampan bermaksud berbasa-basi menyapa---Leon juga mengabaikannya. Tetap melangkah lebar menuju pintu utama.

"Apa dia baru saja datang?"

"Seperti yang kau pikirkan."

Pandangan wanita itu beralih pada paper bag coklat yang ada di atas meja.

"Setidaknya dia selalu ingat hari ulang tahun Lizzie, bukankah itu yang kau inginkan?"

"Kau benar. Sekarang minumlah jusmu, setelah itu aku bantu kau membersihkan diri."

"Baiklah, berikan padaku."

Disaat Tuan Smith sedang berusaha menghabiskan jus yang ia berikan, wanita cantik itu beralih mengambil paper bag di atas meja. Namun, sesaat setelah mengetahui apa isi di dalam paper bag tersebut, mulutnya berdecak tidak suka.

'Apa dia tidak bisa menyiapkan yang lain?'

Sementara di halaman depan kediaman Smith, Leon yang akan memasuki mobil mendadak berhenti begitu mendengar seruan dari arah samping. Seorang gadis berambut pirang sedang berlari ke arahnya setelah turun dari mobil yang baru berhenti.

"Kau sudah akan pergi?"

"Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan."

"Apa kau akan kembali untuk bermalam?"

"Tidak."

Menanggapi sikap dingin Leon, Lizzie memanyunkan bibir.

"Sebenarnya aku sangat ingin makan di meja yang sama denganmu," ungkap Lizzie penuh harap.

"Aku sibuk."

"Kau selalu saja sibuk," protes gadis itu dengan suara yang sangat pelan. Tapi Leon masih bisa mendengarnya.

Sialnya ketika Leon beralih dari depan, justru menemukan cairan benih sudah menganak sungai di pelupuk mata Lizzie, dan dipastikan akan langsung terjun bebas hanya dengan satu kali kedipan saja.

"Besok ulang tahunku," kata Lizzie lagi dengan suara nyaris tenggelam.

"Masuklah… hadiahmu sudah ada di dalam." Mendengar suara Leon berubah lembut, Lizzie yang sebelumnya sempat menundukkan kepala segera mengangkat pandangan. "Beritahu aku jika kau menginginkan yang lain. Hadiah yang lain." Leon buru-buru meralat ucapannya bahkan sebelum Lizzie membuka mulut.

"Baiklah. Terimakasih." Dengan langkah gontai Lizzie mulai menjauh Loen.

"Selamat ulang tahun."

Lizzie seketika mematung disaat kakinya hendak melewati anak tangga pertama menuju beranda. Namun, saat menoleh kebelakang, Leon sudah lebih dulu memasuki mobil, dan detik berikutnya kendaraan mewah pria itu mulai meninggalkan halaman.

*****

Emma mengerutkan alis mengetahui mereka tiba di sebuah pemakaman umum. Cukup terkejut setelah sebelumnya menganggap Luna akan mengajaknya mendatangi pusat perbelanjaan. Atau paling tidak tempat dimana sang nyonya bisa melihat orang berlalu-lalang guna menyingkirkan rasa jenuh.

Pasalnya dari apa yang Emma dengar, Luna tidak dibiarkan pergi kemanapun setelah menjadi nyonya smith. Tak ayal anggapan itulah yang seketika muncul di kepala, ketika Luna tiba-tiba mengajaknya pergi, bahkan saat matahari sudah semakin condong ke barat.

"Siapa yang ingin Anda kunjungi, Nyonya?"

"Ibu dan adikku."

Begitu mobil sudah terparkir dengan benar, Luna turun lebih dulu. Berjalan pelan memasuki area pemakaman dan diikuti Emma di belakangnya.

Luna melangkah dengan sangat hati-hati melewati beberapa batu nisan, begitu juga dengan Emma. Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya Luna berhenti di dekat dua makam yang berjejer serta memiliki warna batu nisan yang sama.

"Mereka beruntung bisa mendapat tempat berdekatan."

Luna yang sudah akan merendahkan tubuh, menyempatkan menoleh Emma yang ternyata ada di dekatnya.

"Kakak benar, tidak tahu kebaikan apa yang pernah ibuku lakukan semasa hidupnya dulu. Sampai bisa sedekat ini dengan putranya yang bahkan kepergian mereka saja berselang tiga tahun."

Emma mengangguk setuju, terlebih setelah memastikan tahun kematian di kedua batu nisan tersebut.

"Tapi apa tidak ada seseorang yang merawat tempat ini?"

Sebenarnya Emma merasa cukup heran. Setelah memperhatikan sekitar, hanya kedua makam di hadapannya itu yang berbeda dari yang lain—banyak ditumbuhi rumput liar.

"Sebelumnya aku sendiri yang memilih membersihkan tempat ini. Aku selalu datang dua hari sekali untuk memastikan tidak ada rumput liar yang tumbuh. Tapi…"

Luna mendadak ragu saat ingin melanjutkan kalimatnya, mengingat mereka hanya orang asing yang baru mengenal. Terlebih Emma juga memiliki hubungan dekat dengan Leon. Luna tetap harus berhati-hati, mungkin saja sikap ramah Emma hanya sementara. Mustahil tidak bisa berubah kapan saja, jika memang itu wujud aslinya.

Emma memilih berdiri menjaga jarak dari Luna yang sedang khusyuk melantunkan doa dalam hati.

Selesai berdoa, jari lentik Luna beralih mencabuti rumput di sekitar makam. Tidak ingin sang nyonya melakukannya sendiri, Emma ikut merendahkan tubuh, dan sigap membantu.

"Lebih baik bersihkan tangan Anda, Nyonya. Biarkan saya yang melakukannya."

"Terima kasih. Tapi ini sudah tugasku sebagai seorang anak dan kakak. Aku tidak mau orang lain melakukannya selagi aku sendiri masih sanggup."

*****

"Luna!"

Baru selesai membersihkan tangan, Luna berubah gugup saat tahu siapa yang memanggilnya. Terlebih sosok itu tengah berjalan cepat ke arahnya, membuat Luna semakin gelisah.

Hari yang buruk. Kenapa mereka dipertemukan disaat dirinya belum siap. Terlebih dengan keberadaan Emma bersamanya.

"Kemana saja kau dua bulan ini? Aku sangat mengkhawatirkanmu?"

Mengetahui Darma langsung menggenggam kedua tangannya, nafas Luna seakan tertahan di tenggorokan. Ia benar-benar tidak ingin Darma dalam masalah. Terlebih ketika Leon mengetahui apa yang terjadi hari ini.

"Katakan sesuatu, Luna. Apa terjadi padamu sebenarnya?" Luna segera melempar tatapan mengiba pada Emma yang menatap penuh arti Darma.

"Kak, bisakah beri kami sedikit waktu?"

"Baik, Nyo—"

"----aku janji tidak akan lama." Luna segera menyela. Tidak ingin Darma tahu sebutan Emma padanya.

Setelah mengangguk samar, Emma memilih mendekati mobilnya yang terparkir di dekat pintu masuk.

"Terimakasih sudah mengkhawatirkan aku, Kak." Luna menarik tangannya. Meski tahu tindakan tersebut membuat Darma kecewa, tetapi ia tetap harus melakukannya.

"Ada apa denganmu? Apa aku sudah melakukan kesalahan?"

Menggeleng tegas, suara Luna berubah parau "Tidak."

"Lantas, apa yang membuatmu seperti ini? Aku merasa kau tidak baik-baik saja. Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Kita pasti bisa melewatinya seperti yang sudah-sudah. Kau masih percaya padaku, bukan?"

"Kak…"

Suara Luna lagi-lagi tercekat di tenggorokan, dan detik berikutnya ia hanya bisa terisak.

Kendati dengan benak menerka-berka, Darma segera memeluk Luna.

"Tetaplah hidup dengan baik, Kak. Carilah kebahagiaanmu."

"Apa yang kau bicarakan?" Seketika Darma melepas pelukannya. Dicengkramnya pelan kedua bahu Luna, agar bisa melihat jelas wajah wanita yang sangat ia rindukan itu. "Bukankah kita sudah sama-sama yakin untuk melangkah bersama apapun yang terjadi? Jangan bilang kau berubah pikiran dan tidak ingin menikah denganku lagi?"

"Maafkan aku."

"Jangan katakan itu lagi. Aku tidak mau mendengarnya." Luna semakin terisak begitu Darma memilih berpaling. Ia tahu pria itu berusaha menyembunyikan kekecewaan yang teramat dalam padanya. "Kalau saja kau tau, aku hampir gila saat tidak menemukanmu dimanapun selama dua bulan terakhir. Kemana kau sebenarnya? Kenapa tiba-tiba mengatakan ini padaku. Apa mungkin kau…?" Kembali menghadap Luna dan menangkup pipi gadis itu dengan kedua tangannya. Darma menuntut penjelasan.

"Apa mungkin ada pria lain yang sudah menggantikan posisiku di hatimu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status