MasukMaya terisak keras, suaranya pecah dan berantakan.“Ng-nggak, Mas… aku nggak mau cerai,” katanya sambil menggeleng berulang kali, lututnya bergeser mendekat. “Tolong… kasih aku kesempatan satu kali lagi. Aku janji bakal perbaiki semuanya. Aku bisa berubah, Mas. Aku bisa jadi istri yang baik.”Arman menatapnya lama. Terlalu lama. Tatapan itu bukan lagi tatapan suami pada istri, melainkan tatapan seorang lelaki yang akhirnya sadar bahwa ia hidup dalam kebohongan bertahun-tahun.“Aku nggak mau berumah tangga sama orang yang hidupnya penuh kepalsuan, Maya,” ucap Arman datar namun menghujam. “Dan sekarang sudah cukup. Sudah terlalu lama aku hidup sama kamu.”Maya terdiam, napasnya tersendat.“Aku kira kamu benar-benar ibu yang baik buat Alya,” lanjut Arman, suaranya mengeras menahan amarah dan kecewa yang menumpuk. Arman mengangkat gaun robek itu sedikit, matanya basah.“Ternyata kamu cuma manfaatin dia. Kamu pura-pura sayang, pura-pura peduli, padahal di belakang kamu tanam racun ke an
Suara berat itu menghantam Maya lebih keras daripada tamparan fisik.Tubuhnya tersentak hebat. Gunting besi di tangannya terlepas, jatuh beradu dengan lantai keramik, menghasilkan bunyi klang yang nyaring dan menyakitkan telinga.Maya menoleh patah-patah, wajahnya memucat seketika, darah seolah terkuras habis dari sana.Di ambang pintu ruang tamu, Arman berdiri mematung. Wajahnya yang biasanya tenang kini merah padam menahan amarah, matanya menatap nanar pemandangan di depannya.Ia kembali karena ponselnya tertinggal di meja makan. Niatnya ingin menelepon Maya karena khawatir istrinya sakit sendirian. Namun, yang ia temukan justru istrinya sedang berlutut, menghancurkan kebahagiaan putrinya.“Mas Arman…” bibir Maya bergetar hebat.Arman melangkah masuk, langkahnya lebar dan cepat. Matanya tak lepas dari gaun putih yang tergeletak di lantai, lalu beralih ke wajah istrinya.“Apa yang kamu lakukan sama gaun Alya, Maya?!” bentak Arman, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.Maya mu
Pagi menyapa dengan cahaya yang terlalu terang untuk kepala yang masih berat oleh sisa emosi semalam.Udara terasa segar, tapi justru itulah yang membuat segalanya tampak ironis, seolah dunia tidak peduli bahwa ada sesuatu yang retak di dalam rumah ini.Besok adalah hari pernikahan.Usai sarapan yang berlangsung singkat dan kaku, Arman, Revan, dan Alya sudah berdiri di teras. Tak banyak percakapan. Semua orang seperti menyimpan pikirannya sendiri-sendiri. Revan tampak rapi dengan kemeja kasualnya, berdiri tegak namun dingin. Alya di sampingnya terlihat berusaha tenang, meski jemarinya saling bertaut gelisah.Hari ini adalah hari terakhir sebelum akad.Pengecekan final dekorasi di gedung, technical meeting penutup dengan vendor catering, lalu gladi resik singkat untuk memastikan tak ada kesalahan sekecil apa pun.Mereka akan pergi seharian.Maya keluar menyusul dari dalam rumah. Ia mengenakan dress santai berwarna lembut, rambutnya tertata rapi seperti biasa. Namun baru beberapa lang
Setelah "hukuman" panjang yang menguras sisa tenaganya itu, Alya benar-benar tumbang. Tubuhnya yang lelah karena di culik Rafi, ditambah gairah yang baru saja Revan tuntaskan, membuatnya terlelap begitu kepala menyentuh bantal.Saat ia membuka mata, kamar sudah gelap. Lampu tidur di nakas menyala redup, dan jam dinding menunjukkan waktu makan malam."Astaga," desisnya panik.Ia buru-buru bangun, menyambar handuk, dan mandi kilat, kali ini benar-benar mandi untuk membersihkan diri. Ia mengenakan pakaian santai namun rapi, menyisir rambutnya yang masih sedikit basah, lalu bergegas turun ke ruang makan.Aroma masakan rumah langsung menyapa indera penciumannya. Di meja makan, Arman, Maya, dan Revan sudah duduk. Suasana terasa sedikit hening sebelum langkah kaki Alya memecahkannya.“Malam semua,” sapa Alya pelan, berusaha menutupi rasa canggungnya karena bangun terlambat.Arman langsung menoleh, wajahnya yang semula tegang berubah lega melihat putrinya. “Malam, Alya. Kamu nggak ap
"Itu refleks, Van!" sanggah Alya cepat, wajahnya memerah. Ia berusaha menarik tangannya yang menempel di dada bidang Revan, namun pria itu menahannya. "Akuin aja, nggak usah malu-malu," goda Revan, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring. Jemarinya bermain-main di bahu telanjang Alya yang terlihat dari balik selimut.Alya membuang muka, menghindari tatapan mengintimidasi itu. "Apa sih, Van? Orang memang refleks kok. Namanya juga lagi cerita, jadi kebawa suasana," elaknya, meski debaran di dadanya semakin kencang."Jadi, kamu beneran nggak mau nambah?" tanya Revan lagi, kali ini sambil menaikkan satu alisnya dengan jahil.Alya menggeleng kuat-kuat. "Nggak, Van. Aku mau mandi aja. Badan aku lengket, rasanya nggak enak banget.""Yaudah, ayo di kamar mandi," sahut Revan enteng.Mata Alya membulat. "Aku mau mandi, Van. Mandi beneran buat bersihin badan. Bukan mau nambah lagi!" tegasnya.Namun Revan justru makin merapatkan jarak. Tatapannya berubah gelap. Ia menuntun tan
Perasaan Alya perlahan mulai tenang. Dekapan Revan memberinya rasa aman yang sejak pagi terasa direnggut paksa. Detak jantungnya mulai stabil, napasnya tak lagi terburu-buru. Namun ketenangan itu tak bertahan lama ketika Revan tiba-tiba bersuara. Nadanya tetap lembut, tapi ada keseriusan yang terselip di sana.“Aku mau nanya sama kamu,” ucapnya pelan.Alya sedikit mendongak, menatap dagu pria itu. “Tanya apa, Van?”“Gimana kamu bisa diculik sama dia, sampai dibawa ke tempat itu?” Revan menatap lurus ke depan, seolah sedang menyusun ulang kepingan peristiwa di kepalanya.Alya menghela napas panjang. Ingatan itu masih membuat tengkuknya dingin. “Aku juga nggak tahu kenapa bisa sampai di sana, Van. Tapi kayaknya… aku dikasih obat tidur.”Sekejap setelah kalimat itu meluncur, tangan Revan yang melingkari punggung Alya mengepal. Otot lengannya menegang, rahangnya mengeras. Ia tak berkata apa-apa, tapi napasnya berubah lebih berat, tertahan, seolah ada amarah yang dipaksa tetap diam.“Wak







