Share

Bab 8

Author: Liyusa_
last update Last Updated: 2025-08-03 02:20:41

Alya berdiri di depan lemari, handuk melilit tubuhnya, rambutnya masih setengah basah. Tetes-tetes air masih mengalir pelan dari ujung helainya ke pundak. Tangannya sibuk memilih-milih baju, tapi pikirannya penuh tanya.

 Sebenarnya ini mau ke mana, sih? gumamnya dalam hati, sambil menyingkirkan beberapa pakaian. Kalau dia macam-macam lagi gimana? Tadi pagi aja udah berani megang-megang paha.

 Ia mendesah pelan, lalu mengambil blouse berwarna krem dan celana bahan warna gelap, sederhana, tapi cukup sopan.

 Baru saja ia hendak melepas handuknya, suara ketukan terdengar dari balik pintu.

  Tok. Tok. Tok.

 Belum sempat ia membuka, kenop pintu sudah diputar dari luar. Pintu terbuka lebar, dan Revan melangkah masuk seperti tak terjadi apa-apa.

 Alya sontak membalikkan badan dan menjerit, “Revan! Kamu dua kali ya masuk kamar orang tanpa izin?!”

 Tubuhnya buru-buru berbalik, membelakangi Revan, tangan mencengkeram erat bagian atas handuk agar tidak melorot. Wajahnya merah, bukan hanya karena malu, tapi juga karena marah dan panik.

 Revan menutup pintu pelan di belakangnya, lalu bersandar santai sambil memperhatikan punggung Alya. “Yang penting kan ada orangnya di dalam,” ucapnya datar, dengan nada malas yang terdengar sengaja dibuat acuh, padahal matanya tak lepas dari lekuk bahu yang terpampang di balik helaian handuk basah.

 Alya mendengus tajam. “Tapi aku belum kasih kamu izin!”

 Revan menaikkan satu alis. Tatapannya tenang, tapi menyimpan sesuatu yang menyebalkan dan licin. “Dengan kamu nggak langsung ngusir aku, itu udah nunjukin kamu ngasih izin.”

 “Ih, sana keluar!” bentak Alya tanpa menoleh. “Aku belum pakai baju!”

 Revan melangkah pelan, suaranya rendah tapi terdengar jelas. “Ganti, tinggal ganti. Sibuk banget sih.”

 Alya menggeram pelan. “Gimana mau ganti kalau kamu masih di sini?!”

 Revan semakin mendekat, namun berhenti di jarak yang membuat napas terasa lebih berat. Tangannya bersedekap, tubuhnya condong sedikit ke depan. Matanya menelusuri punggung Alya, lalu turun ke lipatan kecil handuk di pinggangnya. Tatapannya seperti memainkan imajinasi yang terlalu nyata untuk dianggap sekadar iseng.

 “Emang kenapa?” bisiknya pelan, nyaris menggoda.

 Alya mendesah panjang, suara napasnya bergetar menahan malu. “Ya malu lah… Astaga… Aku belum pakai apa-apa!”

 Revan menyeringai, lebih lebar dari sebelumnya. Pandangannya berubah, bukan lagi sekedar nakal, tapi lapar. “Malam itu kamu pakai baju kurang bahan aja nggak malu.”

 Alya menoleh sedikit, cukup untuk memperlihatkan separuh wajah yang masih dibakar amarah dan malu. “Itu kan masih pakai baju. Sekarang aku nggak pakai sama sekali.”

 Tanpa pikir panjang, ia berbalik dengan cepat, tangan kiri menahan erat ujung handuk di dada, tangan kanan mendorong dada Revan dengan kesal. “Udah, sana keluar!”

 Dorongannya tak keras, hanya membuat Revan mundur selangkah. Tapi pria itu tidak bergeming, ia hanya diam, berdiri mematung, matanya menatap Alya dengan sorot yang mengunci.

 Pandangan itu turun pelan-pelan. Dari mata, ke leher, lalu ke belahan dada yang tersingkap sedikit oleh tarikan gerakan barusan. Revan menahan napasnya sejenak, lalu tersenyum miring. Senyum nakal yang tidak hanya melihat, tapi membayangkan.

 Matanya tak seperti sebelumnya. Kini lebih tajam, melekat, dan menelanjangi dalam diam. Ia tidak bicara, hanya menatap dan dalam tatapan itu, ada hasrat yang disimpan.

 “Kamu pikir aku bakal keluar setelah lihat kamu kayak gini?” suaranya rendah, dalam, dan penuh nada bermain.

 Alya terhenyak. Ia menangkap ke mana arah mata itu tertuju, dan tanpa sadar segera menutup belahan dadanya dengan satu tangan, wajahnya meledak merah, bibirnya mengatup erat.

 Namun Revan tak kunjung berbalik. Ia berdiri di sana, seperti pria yang baru saja menemukan pemandangan yang terlalu berharga untuk ditinggalkan. Dan matanya yang nakal masih menjelajah, seolah mengingat setiap detail yang barusan sempat terlihat dan belum ingin melupakannya.

Alya menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya. Tangan kirinya mencengkeram handuk lebih erat, dan tangan kanannya kini menekan dadanya sendiri, seolah mencoba membentengi dirinya dari tatapan yang terlalu tajam itu.

Napasnya belum stabil, tapi suaranya berusaha terdengar tegas, meski sedikit bergetar.

“Revan…” katanya pelan, namun menggigit di akhir, “…jangan macem-macem ya kamu.”

Revan tidak menjawab. Langkahnya justru semakin mendekat membuat Alya merasa jantungnya berpindah ke tenggorokan. Mata pria itu masih menatap lurus ke arahnya, tajam dan tak berkedip.

Alya mundur selangkah, punggungnya nyaris menyentuh lemari di belakang. Ia tak bisa mundur lagi. Handuk di tubuhnya sudah hampir lepas dari gerakan itu, dan tangannya buru-buru menyesuaikan pegangan.

Revan berhenti tepat di depannya. Napasnya kini bisa dirasakan Alya di permukaan kulit, hangat dan dekat. Ia tidak langsung menjawab. Tatapannya hanya menelusuri wajah Alya, turun ke bibir, lalu ke leher yang masih basah oleh sisa-sisa air dari kamar mandi.

“Revan…” suaranya pelan, tapi penuh tekanan. Matanya menatap tangan Revan dengan campuran cemas dan waspada. “Kamu mau ngapain?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 125

    Revan mendekat sedikit lagi, jarak di antara mereka nyaris hilang. Napas hangatnya terasa di kulit Alisha, membuat dada perempuan itu ikut bergetar.Tangannya yang tadi menurunkan sabuk pengaman, kini bergerak ke arah sisi tubuh Alisha, pelan, hati-hati.Alisha terpaku. Degup jantungnya berlari tak terkendali. Ada cahaya samar yang muncul di matanya, seolah lega karena untuk sesaat ia benar-benar mengira Revan akhirnya luluh.“Van…” bisiknya lirih, nyaris seperti helaan nafas yang lega. Bibirnya sedikit bergetar, tapi bukan karena takut melainkan karena berharap.Namun Revan tidak menjawab.Gerakannya justru berhenti tepat di sisi tubuh Alisha. Tatapannya keras, tidak melunak sedikit pun.Tangan itu beralih cepat.Klik.Suara pintu mobil yang hendak dibuka terdengar jelas, menggantung di udara.Alisha menahan napas.Revan menatapnya sekilas, tatapannya dingin, nyaris tanpa emosi.Dan tanpa satu kata pun ia mendorong pintu itu pelan.“Turun.”Suara Revan akhirnya terdengar, rendah tapi

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 124

    Namun tiba-tiba Revan mengangkat tangan, menepuk pelan tapi tegas bahu Alisha. Gerakannya cepat, membuat perempuan itu sedikit mundur.“Kalau aku bilang keluar,” suaranya rendah, datar, tapi tajam dan menusuk, “ya keluar.”Tatapan Alisha menegang, lalu bibirnya terbuka pelan.“Van, jangan–”Tapi belum sempat Revan menjawab, suara lain terdengar, suara gagang pintu berputar dari arah seberang.Pintu kamar di depan terbuka perlahan.Alya berdiri di sana.Dan pemandangan yang langsung tertangkap matanya membuat langkahnya terhenti. Revan berdiri sangat dekat dengan Alisha, terlalu dekat.Dari sudut pandang Alya, itu tampak seperti sesuatu yang intim. Apalagi Alisha sedang duduk di tepi kasur, dengan rambut terurai dan ekspresi antara pasrah dan menggoda.Kalimat “Van, jangan” yang baru saja terdengar dari bibir Alisha memantul di kepala Alya, seolah menguatkan apa yang baru saja ia pikirkan.Dada Alya serasa diremas. Ia tak tahu apa yang lebih menusuk, pemandangan itu, atau fakta bahwa h

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 123

    Malam itu, lobi hotel tampak lengang. Lampu gantung di atas meja resepsionis memantulkan cahaya kekuningan ke dinding marmer. Arman duduk santai di sofa besar sambil melihat layar ponselnya. Di sebelahnya, Maya tampak mulai gelisah, sesekali melirik ke arah lift. Alisha duduk berseberangan dengan kaki disilangkan rapi, wajahnya terlihat tenang, terlalu tenang untuk orang yang katanya sedang menunggu. “Papa udah kasih tahu Revan belum, kalau kita mau makan malam bareng?” tanya Maya akhirnya, nada suaranya terdengar agak kesal karena sudah terlalu lama menunggu. “Udah, Ma,” jawab Arman tanpa mengangkat kepala dari ponsel. “Mungkin dia masih siap-siap.” “Tapi ini sudah hampir setengah jam, Pa.” Maya mendengus kecil. “Masa siap-siap lama banget?” Arman akhirnya menurunkan ponselnya dan menatap Alisha. “Alisha, coba panggilin Revan sama Alya di kamarnya, ya.” “Baik, Om.” Alisha cepat-cepat berdiri, senyumnya manis tapi ada kesan dibuat-buat. “Aku panggilin sekarang.” Ia berdiri, m

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 122

    Dua jam perjalanan akhirnya berlalu dalam diam yang panjang. Tak ada percakapan berarti, tak ada tawa, hanya udara tegang yang menggantung di antara mereka.Ketika mobil akhirnya berhenti di depan hotel, Revan turun lebih dulu. Ia mematikan mesin, lalu berjalan ke arah bagasi untuk mengambil koper. Alya ikut turun tanpa banyak bicara, wajahnya tenang tapi jelas terlihat lelah.Alisha turun paling akhir. Sepatunya hak tingginya sempat tersangkut sedikit di pinggiran trotoar saat melangkah keluar. Ia berpura-pura kehilangan keseimbangan, lalu mengeluarkan suara lirih yang dibuat dramatis.“Ahh…!” serunya, setengah menjerit.Revan yang kebetulan berdiri tak jauh darinya refleks menoleh. Begitu melihat Alisha hampir jatuh, ia segera melangkah cepat dan menahan tubuh perempuan itu sebelum benar-benar menyentuh tanah.Tubuh Alisha sempat bersandar di dada Revan beberapa detik. Nafasnya terdengar sedikit terburu, tapi senyum tipis muncul di wajahnya.“Makasih, Van… untung ada kamu,” ucapny

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 121

    Mobil melaju di jalan raya, meninggalkan gerbang rumah yang perlahan menghilang di kaca spion. Suasana di dalam mobil terasa berat. Tak ada satupun yang bicara. Revan duduk di kursi kemudi dengan rahang mengeras, pandangannya lurus ke depan. Tangannya menggenggam setir erat, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin meledak. Di sebelahnya, Alya duduk diam. Tatapannya kosong ke luar jendela, seolah pikirannya jauh dari sana. Ada sesuatu yang sedang ia tahan, campuran antara kesal, canggung, dan mungkin juga luka yang tak ingin terlihat. Dari kursi belakang, Alisha tiba-tiba bersuara. “Van,” panggilnya pelan, dengan nada yang dibuat selembut mungkin. Revan berdehem pelan, tidak menoleh. Pandangannya tetap lurus ke depan. Tak menyerah, Alisha sedikit mencondongkan tubuh ke depan, sengaja mendekatkan wajahnya ke sela dua kursi depan. Aroma parfumnya langsung menyeruak, tajam dan menusuk hidung. “Kalau kamu capek nyetir, aku bisa gantiin kok,” ujarnya sambil tersenyum kecil, nad

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 120

    Suara mesin mobil tiba-tiba terdengar dari depan rumah, memecah suasana yang sempat hening. Maya yang tadinya berdiri di teras langsung menoleh, alisnya sedikit terangkat, sementara Revan dan Alya berhenti bergerak hampir bersamaan.Sebuah mobil putih berhenti tepat di depan pagar. Pintu terbuka perlahan, dan dari dalam keluar seorang perempuan dengan langkah ringan. Alisha.Rambutnya dibiarkan terurai sempurna, blus warna pastel yang ia kenakan tampak terlalu rapi untuk ukuran seseorang yang “kebetulan mampir.” Bibirnya dipoles lip gloss tipis, menambah kesan manis yang entah kenapa terasa dibuat-buat.Ia menutup pintu mobilnya dengan pelan, lalu tersenyum lebar. “Om Arman!” serunya ceria begitu melihat Arman keluar dari rumah.Arman, yang baru saja keluar dari toilet dan berdiri di ambang pintu, tampak sedikit terkejut tapi kemudian tersenyum tenang, seolah sudah menebak kehadiran itu sejak tadi. “Alisha? Ada apa, masih pagi kok sudah kesini?”Alisha menunduk sedikit, gaya sopan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status