Setelah sarapan selesai. Arman beranjak lebih dulu. Ia melirik ke arah Revan sebentar, lalu menepuk pundaknya pelan sebelum berjalan meninggalkan ruang makan.
Revan bangkit menyusul beberapa detik kemudian, tak berkata apa pun, ia hanya melirik sekilas ke arah Alya sebelum benar-benar berlalu. Maya masih duduk di kursinya. Tatapannya tajam mengarah ke Alya yang kini mulai bangkit dari duduknya untuk membereskan meja makan. Tanpa menunggu aba-aba. Tanpa instruksi Alya sudah tau perannya. Dengan langkah ringan namun cepat, ia mulai mengambil piring-piring kotor, sendok, sisa roti, cangkir yang belum di cuci, lalu menumpuknya dengan rapi di atas nampan. Bukan karena senang melakukannya, tapi karena sudah terlatih dari kecil untuk bergerak sebelum dipanggil, sebelum disuruh. Di tengah gerakannya yang sibuk, sambil mengambil cangkir yang kosong, Maya membuka mulutnya pelan, namun cukup terdengar di telinga Alya. "Alya, awas ya kamu nerima tawaran kuliah dari Papa kamu," bisik Maya tajam. "Buang-buang uang. Nggak usah sok-sokan, kamu di rumah ini cuma numpang aja." Alya yang sedang mengambil cangkir-cangkir kosong hanya terdiam, wajahnya tegang. Tapi sebelum ia sempat membalas, Revan muncul dari balik pintu dapur. “Re-revan… ada yang ketinggalan?” tanya Maya sambil menyentuh ujung gelasnya, seolah menutupi kegugupan yang di alaminya. Ketegangan Maya begitu nyata, sampai-sampai matanya terus mencuri pandang ke arah Revan, khawatir kalimat barusan tadi sempat terdengar olehnya. Revan tak menjawab. Ia membuka pintu kulkas dan mengambil minuman dingin, tatapan matanya lurus pada Alya yang saat itu masih berdiri sambil membawa nampan berisi piring kotor. Tatapan itu bukan sekadar tatapan biasa. Bukan sekadar interaksi antar penghuni rumah. Itu tatapan yang menyelidik, menguji, dan mendesak dalam waktu bersamaan. Alya mengalihkan pandang cepat-cepat, namun gerak tubuhnya mengaku, ia gugup. Ia mengangkat alis. “Kok kamu yang beresin?” suaranya terdengar datar, Matanya berpindah menatap Maya “Bukannya ini tugas istri, ya?” Alya yang masih memegang cangkir di tangannya langsung membeku. “H-hm… ini kemauan aku sendiri kok. Kasihan Mama, tadi kan sudah cape masak,” katanya gugup. Revan memiringkan kepala, matanya tetap menyorot Maya. Maya langsung menimpali cepat, suaranya canggung. “I-iya, Revan… Tante udah larang tadi, tapi dia maksa. Katanya biar Tante bisa istirahat.” Revan tersenyum tipis, tidak menjawab, lalu meneguk minuman dinginnya. Tatapan matanya menajam, mengarah pada Maya dan hanya Maya yang bisa merasakannya sebagai ancaman samar. Ia melirik Alya sekali lagi sebelum berjalan kembali ke arah tangga. Tapi sebelum naik, ia sempat berkata pelan, "Nanti sore kamu ikut aku" Alya membeku, cangkir yang tadi ia genggam kini terasa begitu berat di tangan. Kalimat Revan barusan terngiang-ngiang di pikirannya, “Nanti sore kamu ikut aku.” Ucapannya tidak keras, tapi cukup jelas membuat alya merasa canggung karena tatapannya. Revan sudah berbalik dan mulai menaiki tangga. Alya akhirnya memberanikan diri bertanya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. “Bu-bukannya kamu harus kerja…?” Langkah Revan terhenti. Ia memutar kepalanya setengah, memandang ke arah Alya di bawah dengan sorot mata yang sulit ditebak, antara geli, heran, atau mungkin sedikit terhibur. “Kamu pikun apa gimana, sih?” jawab Revan sedikit datar. “Hari ini kan hari libur.” Aya langsung menunduk, merasa bodoh telah bertanya. Pikirannya masih dipenuhi dengan suara Maya yang terdengar menusuk beberapa menit lalu. “E-mang mau ke mana?” tanyanya lagi, berusaha menyembunyikan nada gemetar di suaranya. Revan tersenyum samar. Bukan senyum hangat, tapi semacam senyum penuh teka-teki, membuat bulu kuduk Alya meremang. “Ke suatu tempat,” jawabnya pendek, lalu kembali melangkah naik tanpa menjelaskan lebih jauh. Alya masih berdiri di tempat yang sama ketika suara Maya memotong, sinis dan menyengat. “Kamu nggak malu, Van, jalan sama Alya?” nada Maya dibuat setenang mungkin, tapi tidak berhasil menyembunyikan rasa kesal yang mencuat di ujung katanya. “Apa kata orang nanti, anak Papa jalan sama cewe kayak Alya?” Langkah Revan kembali terhenti. Kali ini ia benar-benar menoleh, menatap Maya tanpa senyum. “Aku lebih malu ada kamu di sini,” ucapnya dingin. Maya membeku. Wajahnya memucat. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Sorot matanya goyah, namun ia tetap berusaha mempertahankan wibawa palsu yang dari tadi perlahan terkikis. Alya masih diam, berusaha memahami makna dari percakapan yang baru saja terjadi. Jantungnya berdebar cepat, entah karena cemas, takut, atau ada rasa lain yang belum bisa ia beri nama. Maya menatap tangga yang sudah ditinggalkan Revan. Wajahnya masih pucat, tapi kemarahan dalam dirinya mulai kembali mendidih. Sorot matanya tajam seperti silet saat menoleh ke arah Alya yang masih berdiri canggung di dekat meja makan, tangan masih menggenggam sendok yang sama sejak tadi. “Heh, Alya,” desisnya pelan, tapi tajam. “Awas aja ya, kalau kamu berani ngomong macem-macem ke Revan.” Alya mengangkat wajahnya pelan, tubuhnya menegang. “Jangan sok manis, jangan sok deket. Kamu pikir dia peduli? Jangan mimpi.” Maya melangkah mendekat, suaranya nyaris tak terdengar tapi mengandung ancaman tajam. “Kalau sampe kamu cerita soal omongan tadi, atau sok ngadu-ngadu ke Revan, aku bakal bikin kamu nyesel tinggal di rumah ini.”Setelah sarapan selesai. Arman beranjak lebih dulu. Ia melirik ke arah Revan sebentar, lalu menepuk pundaknya pelan sebelum berjalan meninggalkan ruang makan. Revan bangkit menyusul beberapa detik kemudian, tak berkata apa pun, ia hanya melirik sekilas ke arah Alya sebelum benar-benar berlalu.Maya masih duduk di kursinya. Tatapannya tajam mengarah ke Alya yang kini mulai bangkit dari duduknya untuk membereskan meja makan.Tanpa menunggu aba-aba. Tanpa instruksi Alya sudah tau perannya. Dengan langkah ringan namun cepat, ia mulai mengambil piring-piring kotor, sendok, sisa roti, cangkir yang belum di cuci, lalu menumpuknya dengan rapi di atas nampan. Bukan karena senang melakukannya, tapi karena sudah terlatih dari kecil untuk bergerak sebelum dipanggil, sebelum disuruh.Di tengah gerakannya yang sibuk, sambil mengambil cangkir yang kosong, Maya membuka mulutnya pelan, namun cukup terdengar di telinga Alya."Alya, awas ya kamu nerima tawaran kuliah dari Papa kamu," bisik Maya tajam.
Keesokan paginya… Alya sudah duduk lebih dulu di meja, bersama Maya dan Arman yang tengah menikmati sarapan. Tangannya menggenggam sendok, tapi dari tadi ia hanya memainkannya di dalam mangkuk tanpa benar-benar menyuap. Pikirannya masih terjebak pada kejadian semalam, pada tatapan Revan yang menusuk tajam, pada suara Revan yang seperti bisikan dosa. Alya berharap pagi ini Revan tidak akan ikut makan bersama. Ia berdoa dalam hati agar laki-laki itu memilih keluar rumah atau sekadar menghindar seperti yang biasa ia lakukan. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang menuruni tangga. Sontak detak jantung Alya melonjak. Ia menoleh perlahan, dan benar saja Revan muncul dengan kaos oblong yang santai. Rambutnya sedikit acak, namun langkahnya mantap. Revan berjalan perlahan menuju meja makan. Suara langkah kakinya di tangga terdengar begitu jelas di telinga Alya, seolah setiap langkah mengukir getaran di dadanya. Ia tak berani menoleh, hanya bisa memperhatikan dari ujung matanya. Aly
Sementara itu, Revan hanya menatap mereka satu per satu, datar, tanpa penyesalan sedikit pun. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah pergi.Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum Arman menarik napas dan mencoba tersenyum tipis, meski jelas terasa dipaksakan.“Ya udah... kita lanjut sarapannya,” ucapnya pelan. “Nggak apa-apa ya, kita cuma bertiga lagi…”Ia menoleh ke Alya, suaranya lebih lembut, hampir terdengar menyesal. “Papa minta maaf, atas kelakuan Revan barusan. Papa juga nggak nyangka dia bakal segitu kasarnya.”Alya tersenyum tipis dan menggeleng. “Nggak apa-apa, Pa. Aku ngerti kok… mungkin dia memang belum bisa nerima kita.”Maya pura-pura menyeka sudut matanya dengan ujung jari, lalu mengambil sendok dan mulai menyuap nasi di piringnya. “Ayo makan, nanti keburu dingin…”Alya dan Arman mengikuti, mencoba menikmati sarapan yang sempat tertunda. Suasana masih sedikit kaku, tapi setidaknya tak ada lagi kata-kata yang menyakitkan.Malam turun perlaha
Alya membuka pintu kamar pelan-pelan, berharap ranjangnya sudah kosong. Tapi harapannya pupus begitu melihat Revan masih terbaring di sana.“Kok belum bangun, sih” gumam Alya kesal. Ia memutuskan mandi dulu, lalu akan membangunkannya. Ia mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu keluar kamar menuju kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Revan perlahan membuka mata. Ia mengerjap bingung, memandangi langit-langit kamar yang terasa asing. Setelah beberapa detik, ia sadar ini bukan kamarnya. Ia terduduk perlahan, memegangi kepala yang berat, dan mencium aroma samar sabun dari udara kamar.“Astaga…” desisnya, mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Potongan ingatan datang seperti kilatan kilat, wajah Alya, suara bentakannya, lalu bibir mereka yang bersentuhan.Wajah Revan langsung memerah. “Gila... gue apaan sih...” bisiknya dengan nada kesal pada diri sendiri.Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Alya muncul masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhnya
Saat tengah malam, hujan turun membasahi jendela kamar Alya yang belum bisa terlelap. Pikirannya melayang ke banyak hal, rumah baru, dan terutama Revan.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan kasar.Klek...Alya tersentak duduk. Revan masuk dengan langkah sempoyongan, tubuhnya sedikit oleng, aroma alkohol langsung menyeruak memenuhi kamar."Revan?" Alya memanggil, terkejut sekaligus bingung. “Kamu ngapain kesini!”Revan memicingkan mata, seperti baru sadar ada orang lain di dalam. "Hah… seharusnya aku yang nanya, kamu ngapain di kamar aku?” katanya dengan suara berat.Alya berdiri, menjaga jarak. “Ini kamarku. Kamarmu yang di sebelah.”Revan menyandarkan tubuhnya ke pintu, tertawa pendek namun getir. “Kamu mau godain aku kayak Mama kamu godain Papaku, ya?”Alya menahan napas. Ia mencium bau alkohol yang tajam dan tahu bahwa Revan tidak dalam kondisi sadar. Tapi ucapan itu seperti tamparan.“Kamu mabuk?" kata Alya dingin. “Ini kamarku dan nggak ada yang mau godain kamu.”Revan
Maya sibuk di dapur, menata meja makan sambil memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi. Ia berperan sebagai istri yang perhatian dengan harapan Revan akan menyukainya.Begitu semuanya siap, Maya menyeka tangannya dengan lap, lalu berjalan ke arah tangga. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Arman yang sedikit terbuka, lalu mengetuk pelan.“Mas… makan malamnya udah siap,” ucapnya lembut.Dari dalam, suara Arman terdengar pelan, nyaris seperti gumaman. “Iya, bentar lagi, Sayang.”Maya pun turun kembali ke ruang makan. Alya sudah duduk di sana, diam, menatap piring kosong di depannya.Beberapa menit kemudian, Arman turun sambil merapikan lengan kemejanya. Ia tersenyum tipis saat melihat mereka.“Revan mana?” tanyanya sambil menarik kursi.Maya menggeleng. “Belum turun, Mas. Mungkin masih di kamar.”Ia lalu menoleh ke Alya.“Alya, coba kamu panggil Revan, ya.” nadanya sedikit tinggi.Arman menoleh cepat. “Kamu kayak gitu aja kok malah nyuruh Alya? Harusnya kamu yang ajak dia turu