Home / Romansa / Pemuas Nafsu Kakak Tiri / Sarapan Dalam Dosa

Share

Sarapan Dalam Dosa

Author: Liyusa_
last update Last Updated: 2025-08-01 23:54:56

Keesokan paginya…

Alya sudah duduk lebih dulu di meja, bersama Maya dan Arman yang tengah menikmati sarapan.

Tangannya menggenggam sendok, tapi dari tadi ia hanya memainkannya di dalam mangkuk tanpa benar-benar menyuap. Pikirannya masih terjebak pada kejadian semalam, pada tatapan Revan yang menusuk tajam, pada suara Revan yang seperti bisikan dosa.

Alya berharap pagi ini Revan tidak akan ikut makan bersama. Ia berdoa dalam hati agar laki-laki itu memilih keluar rumah atau sekadar menghindar seperti yang biasa ia lakukan.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang menuruni tangga. Sontak detak jantung Alya melonjak. Ia menoleh perlahan, dan benar saja Revan muncul dengan kaos oblong yang santai. Rambutnya sedikit acak, namun langkahnya mantap.

Revan berjalan perlahan menuju meja makan. Suara langkah kakinya di tangga terdengar begitu jelas di telinga Alya, seolah setiap langkah mengukir getaran di dadanya. Ia tak berani menoleh, hanya bisa memperhatikan dari ujung matanya.

Alya menahan napas sejenak.

Ia langsung membenarkan posisi duduknya, memastikan pakaian yang ia kenakan pagi ini benar-benar lebih tertutup dari semalam. Daster lengan panjang dengan motif bunga kecil, tidak terlalu ketat, dan panjangnya mencapai lutut. Lebih sopan, pikirnya. Lebih aman.

Tapi tetap saja, ia bisa merasakan sorot mata Revan yang menusuk dari samping.

Revan diam. Tapi tatapannya tidak berpaling dari Alya. Alya tahu lelaki itu tidak hanya sedang sarapan pagi. Ia sedang menelanjangi Alya dengan mata, dengan pikirannya yang penuh gelombang liar yang tak bisa ditebak.

Maya menoleh ketika mendengar langkah kaki Revan. “Duduk, Van. Mumpung masih hangat.”

Alya menunduk dalam-dalam, jantungnya berdetak begitu cepat hingga nyaris membuatnya sulit bernapas. Ia berharap Revan akan bersikap seperti biasanya, acuh, dingin, menjauh. Ia berharap Revan akan menolak ajakan Maya dengan anggukan singkat lalu berbalik pergi. Mungkin keluar rumah atau kembali ke kamarnya sendiri. Ke mana pun, asalkan bukan duduk di meja makan.

Namun harapan itu pupus dalam satu detik berikutnya.

Arman menyusul dengan nada santai. “Iya, Van. Ayo makan dulu, mumpung masih hangat,” katanya sambil tersenyum, tangan kirinya mengambil sepotong roti dan mengoleskan mentega.

Tanpa berkata apa pun, Revan menarik kursi dan duduk di samping Alya. Keberadaan Revan di sampingnya membuat Alya menjadi canggung dan merasakan ketegangan.

“Gimana keadaan kantor, Van?” tanya Arman sembari menyuap roti ke mulutnya.

Revan menjawab, tapi pandangannya justru tertuju pada Alya. “Ada sedikit perkembangan, Pa. Beberapa klien mulai balik ke jalur, semoga minggu depan stabil.”

Arman mengangguk pelan, lalu beralih ke Alya. “Alya, katanya kamu pengen ngerasain yang namanya kuliah? Kalau kamu mau Papa bisa bantu biayanya.”

Alya terkejut mendengar itu. Ia spontan menoleh ke Maya, seolah mencari isyarat atau dukungan. Maya hanya menatapnya datar, tanpa banyak ekspresi, seolah menunjukkan ketidaksetujuan nya.

Revan tiba-tiba menyahut, “Oh, jadi kamu mau kuliah?”

Belum sempat Alya menyahut, ia sudah dibuat terkejut dengan aksi kakak tirinya itu.

Pria itu meletakkan tangannya di atas paha Alya.

Alya tersentak kaget. Ia hanya bisa membeku, dan untuk beberapa detik ia tak mampu menggerakkan lidahnya.

Ia meneguk liurnya susah payah, sebelum menjawab dengan gugup, “I-iya, waktu itu… tapi sekarang kayaknya aku pikir-pikir dulu, Pa.”

Arman mengangguk, tak menyadari ketegangan yang tercipta di antara Revan dan Alya.

Maya tetap diam, menyuap sarapan ke mulutnya tanpa komentar. Tapi dari sorot matanya yang dingin, Alya tahu ada sesuatu yang mengganjal. Mungkin Maya tak suka jika Alya melangkah lebih jauh. Mungkin Maya tak ingin Alya lebih dari sekadar penghuni rumah.

Revan menyahut dengan nada datar, nyaris terdengar seperti sindiran yang diselimuti basa-basi. “Terima aja lagi, mumpung gratis.”

Tangan yang tadinya hanya menyentuh, kini perlahan mulai mengelus paha Alya. Kali ini, bukan hanya ketakutan, tapi amarah dan rasa malu yang membuncah di dadanya.

Tangan Revan masih mengelus Paha Alya. “Kok diem? Nggak tertarik kuliah gratis? Kapan lagi ada kesempatan kuliah tanpa harus mikirin biaya?”

Tangan Revan semakin bergerak naik, namun Alya memberanikan diri untuk menahannya agar tidak menyentuh bagian sensitifnya.

Alya menelan ludah dengan susah payah. “Sebenarnya mau. Tapi lihat aja nanti,” katanya akhirnya, lirih dan gugup, nyaris seperti bisikan yang ia paksa keluar dari

mulut.

Arman menoleh padanya sambil mengangguk, seolah tidak menyadari ketegangan yang terjadi diantara mereka berdua. “Nanti kalau memang serius mau, kamu bilang aja ya. Biar Revan yang bantu daftarin.”

Alya semakin menegang. Kalimat itu terasa seperti jebakan. Ia menoleh perlahan ke arah Revan, dan tangan lelaki itu masih berusaha untuk bergerak naik.

Revan tersenyum miring melihat air mata Alya yang hampir terjatuh. Sudut bibirnya terangkat sedikit. “Kok sampai mau nangis gitu, kenapa? Terharu ya?” tanyanya dengan nada main-main.

Alya merasa geram, tapi ia mencoba tersenyum, meski air mata yang menggenang hampir jatuh. Ia memaksa dirinya untuk berkata, “Iya... terima kasih, Pa… Van…”

Tapi hatinya tidak mengatakan hal yang sama. Di dalam dadanya, bukan rasa terima kasih yang tumbuh, melainkan bara kecil yang perlahan menyala menjadi sesuatu yang lebih besar.

Rasa malu dan amarah yang membara bercampur dengan rasa takut yang melumpuhkannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Antara Tatapan dan Ancaman

    Setelah sarapan selesai. Arman beranjak lebih dulu. Ia melirik ke arah Revan sebentar, lalu menepuk pundaknya pelan sebelum berjalan meninggalkan ruang makan. Revan bangkit menyusul beberapa detik kemudian, tak berkata apa pun, ia hanya melirik sekilas ke arah Alya sebelum benar-benar berlalu.Maya masih duduk di kursinya. Tatapannya tajam mengarah ke Alya yang kini mulai bangkit dari duduknya untuk membereskan meja makan.Tanpa menunggu aba-aba. Tanpa instruksi Alya sudah tau perannya. Dengan langkah ringan namun cepat, ia mulai mengambil piring-piring kotor, sendok, sisa roti, cangkir yang belum di cuci, lalu menumpuknya dengan rapi di atas nampan. Bukan karena senang melakukannya, tapi karena sudah terlatih dari kecil untuk bergerak sebelum dipanggil, sebelum disuruh.Di tengah gerakannya yang sibuk, sambil mengambil cangkir yang kosong, Maya membuka mulutnya pelan, namun cukup terdengar di telinga Alya."Alya, awas ya kamu nerima tawaran kuliah dari Papa kamu," bisik Maya tajam.

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Sarapan Dalam Dosa

    Keesokan paginya… Alya sudah duduk lebih dulu di meja, bersama Maya dan Arman yang tengah menikmati sarapan. Tangannya menggenggam sendok, tapi dari tadi ia hanya memainkannya di dalam mangkuk tanpa benar-benar menyuap. Pikirannya masih terjebak pada kejadian semalam, pada tatapan Revan yang menusuk tajam, pada suara Revan yang seperti bisikan dosa. Alya berharap pagi ini Revan tidak akan ikut makan bersama. Ia berdoa dalam hati agar laki-laki itu memilih keluar rumah atau sekadar menghindar seperti yang biasa ia lakukan. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang menuruni tangga. Sontak detak jantung Alya melonjak. Ia menoleh perlahan, dan benar saja Revan muncul dengan kaos oblong yang santai. Rambutnya sedikit acak, namun langkahnya mantap. Revan berjalan perlahan menuju meja makan. Suara langkah kakinya di tangga terdengar begitu jelas di telinga Alya, seolah setiap langkah mengukir getaran di dadanya. Ia tak berani menoleh, hanya bisa memperhatikan dari ujung matanya. Aly

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Antara Mie dan Tatapan

    Sementara itu, Revan hanya menatap mereka satu per satu, datar, tanpa penyesalan sedikit pun. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah pergi.Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum Arman menarik napas dan mencoba tersenyum tipis, meski jelas terasa dipaksakan.“Ya udah... kita lanjut sarapannya,” ucapnya pelan. “Nggak apa-apa ya, kita cuma bertiga lagi…”Ia menoleh ke Alya, suaranya lebih lembut, hampir terdengar menyesal. “Papa minta maaf, atas kelakuan Revan barusan. Papa juga nggak nyangka dia bakal segitu kasarnya.”Alya tersenyum tipis dan menggeleng. “Nggak apa-apa, Pa. Aku ngerti kok… mungkin dia memang belum bisa nerima kita.”Maya pura-pura menyeka sudut matanya dengan ujung jari, lalu mengambil sendok dan mulai menyuap nasi di piringnya. “Ayo makan, nanti keburu dingin…”Alya dan Arman mengikuti, mencoba menikmati sarapan yang sempat tertunda. Suasana masih sedikit kaku, tapi setidaknya tak ada lagi kata-kata yang menyakitkan.Malam turun perlaha

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Tak Pernah di Harapkan Ada

    Alya membuka pintu kamar pelan-pelan, berharap ranjangnya sudah kosong. Tapi harapannya pupus begitu melihat Revan masih terbaring di sana.“Kok belum bangun, sih” gumam Alya kesal. Ia memutuskan mandi dulu, lalu akan membangunkannya. Ia mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu keluar kamar menuju kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Revan perlahan membuka mata. Ia mengerjap bingung, memandangi langit-langit kamar yang terasa asing. Setelah beberapa detik, ia sadar ini bukan kamarnya. Ia terduduk perlahan, memegangi kepala yang berat, dan mencium aroma samar sabun dari udara kamar.“Astaga…” desisnya, mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Potongan ingatan datang seperti kilatan kilat, wajah Alya, suara bentakannya, lalu bibir mereka yang bersentuhan.Wajah Revan langsung memerah. “Gila... gue apaan sih...” bisiknya dengan nada kesal pada diri sendiri.Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Alya muncul masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhnya

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Ciuman yang Tak Sengaja

    Saat tengah malam, hujan turun membasahi jendela kamar Alya yang belum bisa terlelap. Pikirannya melayang ke banyak hal, rumah baru, dan terutama Revan.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan kasar.Klek...Alya tersentak duduk. Revan masuk dengan langkah sempoyongan, tubuhnya sedikit oleng, aroma alkohol langsung menyeruak memenuhi kamar."Revan?" Alya memanggil, terkejut sekaligus bingung. “Kamu ngapain kesini!”Revan memicingkan mata, seperti baru sadar ada orang lain di dalam. "Hah… seharusnya aku yang nanya, kamu ngapain di kamar aku?” katanya dengan suara berat.Alya berdiri, menjaga jarak. “Ini kamarku. Kamarmu yang di sebelah.”Revan menyandarkan tubuhnya ke pintu, tertawa pendek namun getir. “Kamu mau godain aku kayak Mama kamu godain Papaku, ya?”Alya menahan napas. Ia mencium bau alkohol yang tajam dan tahu bahwa Revan tidak dalam kondisi sadar. Tapi ucapan itu seperti tamparan.“Kamu mabuk?" kata Alya dingin. “Ini kamarku dan nggak ada yang mau godain kamu.”Revan

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Meja Makan yang Tak Pernah Hangat

    Maya sibuk di dapur, menata meja makan sambil memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi. Ia berperan sebagai istri yang perhatian dengan harapan Revan akan menyukainya.Begitu semuanya siap, Maya menyeka tangannya dengan lap, lalu berjalan ke arah tangga. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Arman yang sedikit terbuka, lalu mengetuk pelan.“Mas… makan malamnya udah siap,” ucapnya lembut.Dari dalam, suara Arman terdengar pelan, nyaris seperti gumaman. “Iya, bentar lagi, Sayang.”Maya pun turun kembali ke ruang makan. Alya sudah duduk di sana, diam, menatap piring kosong di depannya.Beberapa menit kemudian, Arman turun sambil merapikan lengan kemejanya. Ia tersenyum tipis saat melihat mereka.“Revan mana?” tanyanya sambil menarik kursi.Maya menggeleng. “Belum turun, Mas. Mungkin masih di kamar.”Ia lalu menoleh ke Alya.“Alya, coba kamu panggil Revan, ya.” nadanya sedikit tinggi.Arman menoleh cepat. “Kamu kayak gitu aja kok malah nyuruh Alya? Harusnya kamu yang ajak dia turu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status