Share

Bab 5

Author: Liyusa_
last update Last Updated: 2025-07-28 19:48:00

Sementara itu, Revan hanya menatap mereka satu per satu, datar, tanpa penyesalan sedikit pun. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah pergi.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum Arman menarik napas dan mencoba tersenyum tipis, meski jelas terasa dipaksakan.

“Ya udah... kita lanjut sarapannya,” ucapnya pelan. “Nggak apa-apa ya, kita cuma bertiga lagi…”

Ia menoleh ke Alya, suaranya lebih lembut, hampir terdengar menyesal. “Papa minta maaf, atas kelakuan Revan barusan. Papa juga nggak nyangka dia bakal segitu kasarnya.”

Alya tersenyum tipis dan menggeleng. “Nggak apa-apa, Pa. Aku ngerti kok… mungkin dia memang belum bisa nerima kita.”

Maya pura-pura menyeka sudut matanya dengan ujung jari, lalu mengambil sendok dan mulai menyuap nasi di piringnya. “Ayo makan, nanti keburu dingin…”

Alya dan Arman mengikuti, mencoba menikmati sarapan yang sempat tertunda. Suasana masih sedikit kaku, tapi setidaknya tak ada lagi kata-kata yang menyakitkan.

Malam turun perlahan. Makan Malam telah lama selesai. Arman dan Maya udah masuk kamar, meninggalkan rumah dalam keheningan yang menenangkan.

Alya yang nggak bisa tidur, turun dari kamarnya. Ia menuju dapur dan mulai menyiapkan mie instan. Pakaian tidurnya tipis, hanya tanktop dan celana pendek longgar berwarna pastel. Ia memakai itu karena dia berpikir nggak akan ada yang melihatnya.

Revan biasanya lebih memilih lembur, meski pekerjaan di kantor sebenarnya tak terlalu mendesak. Baginya, itu bukan soal tugas, melainkan cara paling mudah untuk menghindar. Menghindari ajakan makan malam bersama. Menghindari bertemu dan duduk satu meja dengan Maya.

Tapi tidak.

Revan membuka pintu dan masuk tanpa suara. Ia menutupnya perlahan, lalu melangkah pelan melewati ruang tengah. Baru saja hendak naik ke lantai atas, matanya melihat sosok di dapur dan langkahnya terhenti.

Alya sedang berdiri membelakangi arah datangnya Revan, sibuk mengaduk mie dalam panci.

Pandangan Revan terpaku. Bukan hanya karena kejutan melihat Alya masih terjaga, tapi karena penampilannya malam itu terlalu terbuka untuk dapur rumah yang bisa diakses siapa saja.

Tatapannya berubah. Ada sesuatu di matanya, bukan sekadar terkejut. Lebih dari itu. Seperti rasa penasaran yang tak seharusnya tumbuh. Seperti keinginan yang ia tahu harusnya segera dihilangkan, tapi malah dibiarkan berkembang.

Alya berbalik dengan nampan di tangan, dan jantungnya langsung melonjak saat melihat Revan berdiri tak jauh dari sana, menatapnya lurus.

“Revan?” gumamnya refleks, suara pelan nyaris tercekat. “Kamu udah pulang?”

Revan tidak langsung menjawab. Ia melangkah ke dalam dapur dengan santai, lalu menarik kursi dan duduk di meja makan, masih menatap Alya dari ujung kepala sampai kaki.

“Kalau kamu lihat aku di sini…” katanya datar, tapi tatapannya tak lepas dari Alya “berarti aku udah pulang, kan?”

Alya buru-buru meletakkan mangkuk mie di atas meja, wajahnya memerah karena gugup. Ia melirik cepat ke arah Revan, lalu menghindari tatapannya.

“Aku cuma laper. Nggak bisa tidur,” sahutnya singkat.

Revan menyandar di kursi, melipat tangan di dada. “Kamu yakin pakaian kayak gini aman dipake keluar kamar?”

Alya langsung memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menutupi bagian yang terasa terlalu terbuka. “Aku pikir semua sudah tidur…” bisiknya.

Revan tak bicara lagi. Ia hanya menatap, dengan pandangan yang membuat Alya merasa tidak nyaman. Campuran bingung dan risih, tapi anehnya, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya.

“Kamu kenapa sih...” tanyanya akhirnya, setengah berani, setengah gugup. “Ngeliatin aku kayak gitu banget.”

Revan mendengus pelan, matanya menyipit sedikit. “Aku lapar pengen makan kamu”

Alya terkejut, alisnya terangkat. “Hah?”

“Maksudku... aku lapar. Mau mie juga. Buatin dong,” ucapnya, kali ini dengan senyum tipis yang sulit ditebak.

Alya menghela napas panjang. “Ih, bikin sendiri sana. Tinggal rebus juga,” ucapnya, berusaha tetap tenang meski suaranya sedikit gemetar.

Tapi Revan bangkit dari kursi dan melangkah pelan ke arahnya, berdiri agak dekat.

“Ya udah… kamu aja yang aku makan,” ucapnya pelan, dengan tatapan nakal.

Alya terpaku. Selama beberapa detik, mereka hanya saling menatap dalam diam. Lalu, sambil menghindari tatapannya, ia mengangguk kecil.

“I-iya aku buatin,” gumamnya cepat.

Alya kembali ke arah kompor. Tangannya sibuk mengaduk mie yang baru ia masukkan ke dalam air mendidih, tapi pikirannya tidak tenang. Ia bisa merasakan tatapan Revan di belakangnya, seperti bayangan yang menolak menghilang meski lampu sudah dinyalakan.

Revan kembali menyender santai di meja, satu tangannya menopang dagu. Pandangannya tidak berubah sejak tadi, penuh rasa ingin tahu, dan ada sesuatu yang tidak biasa. Tatapannya bukan tatapan seorang saudara ipar yang kebetulan melihat orang rumah terjaga malam-malam. Lebih seperti seseorang yang sedang mencari celah. Celah antara ketidaksengajaan dan niat.

“Aromanya enak,” suara Revan akhirnya terdengar lagi, membuat Alya sedikit tersentak. “Tapi kayaknya bukan cuma mie yang bikin lapar malam ini.”

Alya pura-pura tak mendengar. Ia mematikan kompor, lalu menuangkan mie ke dalam mangkuk. Ia menaruh mangkuk itu ke atas nampan, lalu membawanya ke meja dengan langkah hati-hati.

“Ini…” ucapnya pelan, meletakkan mie di hadapan Revan, tapi tak berani menatap matanya.

Revan menatap mangkuk itu sebentar, lalu pandangannya naik kembali ke wajah Alya. “Makasih,” ucapnya, tapi dengan nada yang masih mengandung sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Alya hanya mengangguk cepat, lalu berbalik, hendak kembali ke kamarnya. Tapi langkahnya tertahan ketika Revan berkata, “Kamu sering begini malam-malam?”

Alya menoleh pelan. “Maksudnya?”

“Keluar kamar dengan baju kayak gitu. Masak mie jam segini. Sendirian.”

Alya menggigit bibir bawahnya. “Enggak... cuma lagi nggak bisa tidur aja.”

Revan mengangguk pelan. “Kamu nggak takut?”

“Takut apa?”

“Kalau aku bukan Revan yang biasanya,” ucapnya sambil memainkan sendok di tangan. “Kamu tahu, kadang malam bisa bikin orang berubah jadi lain. Jadi lebih jujur atau lebih gelap.”

Alya menatapnya sejenak, ia menarik napas dalam-dalam. “Aku ngantuk. Selamat makan,” katanya cepat, lalu segera melangkah pergi sebelum sempat melihat senyum kecil di bibir Revan yang entah apa artinya.

Di tangga, Alya berhenti sejenak, memegang dada yang masih berdebar.

“Apa barusan tadi beneran nyata?” pikirnya panik. “Dia bilang pengen makan aku. Bercanda, kan? Tapi tatapannya…” Ia menggigit bibir, mencoba mengusir sisa-sisa panas yang menempel di pipinya.

Tangannya meremas pegangan tangga. “Kenapa aku nggak langsung pergi aja tadi? Kenapa malah gugup? Kenapa malah ngangguk?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 78

    Revan menunduk cepat, kembali melumat bibir Alya dalam-dalam. Ciumannya lebih panas, lebih menuntut, membuat gadis itu terdesak ke dinding kamar mandi.Tangannya bergerak lincah, menarik tali piyama Alya hingga longgar, lalu menjatuhkan kain tipis itu ke lantai. Alya terperanjat, kedua tangannya otomatis menahan dada Revan, tapi tubuhnya bergetar karena sensasi yang datang begitu cepat.“V-Van…” lirihnya, nyaris tak terdengar di antara suara air yang menetes dari shower.Revan menempelkan dahinya ke dahi Alya, napasnya memburu. “Aku mau kamu lagi, Alya.” bisiknya serak, lalu bibirnya turun mencumbu leher gadis itu.Alya mendesah, jemarinya mencengkram lengan Revan erat-erat. Tubuhnya seolah tak lagi punya kekuatan untuk menolak. Setiap kecupan di kulitnya membuatnya makin kehilangan kendali.Revan menunduk, bibirnya kembali menemukan puncak dada Alya, menjilat dan menghisap bergantian, membuat gadis itu terpejam dengan wajah memerah. Desahan lirih lolos dari bibirnya, menggema lemb

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 77

    Revan langsung menunduk cepat, bibirnya melumat bibir Alya, mendesak hingga napas gadis itu tercekat. Ciumannya dalam, panas, membuat gadis itu terkejut hingga matanya membesar. Nafasnya tercekat, tubuhnya kaku sesaat sebelum akhirnya luluh dalam desakan Revan. Lidah mereka saling bersentuhan, membuat tubuh Alya makin gemetar. Di sela ciuman yang membuat nafasnya terengah, Alya mencoba bicara, suaranya terpotong-potong. “Ih… Revan… a-aku lagi masak…” Revan hanya terkekeh rendah, bibirnya masih menempel di bibir Alya. “Kan aku udah bilang…” desisnya serak, “aku maunya makan kamu. Jadi, nggak usah capek-capek masak.” Belum sempat Alya menjawab, Revan kembali melumat bibirnya lebih dalam. Revan mencium lebih dalam, seolah tak memberi ruang untuk berpikir. Tangannya menuntun pinggang Alya mundur, langkah demi langkah, sampai punggung gadis itu menempel pada tepian meja makan. Alya tanpa sadar meraih tengkuk Revan, lengannya melingkar, menarik tubuh laki-laki itu lebih

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 76

    Alya terbelalak, nafasnya tercekat. “H-hah? Nggak kok, Van… aku cuma pengen aja” jawabnya terbata. Namun, begitu kata-kata itu terucap, jantungnya berdegup kencang. Pikirannya mendadak penuh tanya, sementara tubuhnya seolah makin lemas. Akhirnya Revan menepikan mobil sebentar, lalu membeli sebungkus rujak mangga muda untuk Alya. Begitu kembali ke dalam mobil, Alya langsung membuka plastiknya dengan semangat berlebihan, wajahnya berbinar. Revan melirik dengan dahi berkerut. “Makannya nggak bisa nunggu di rumah aja?” tegurnya, nada setengah heran. Alya menggeleng cepat, senyumnya merekah. “Nggak, Van... aku udah pengen banget…” suaranya penuh antusias. Revan hanya menghela nafas, lalu mengingatkan. “Ya udah, awas aja kalau sambalnya tumpah-tumpah.” Alya mengangguk sambil tersenyum, tangannya sibuk mengambil sepotong mangga dan mencocolnya ke sambal. Matanya berbinar puas saat gigitan pertama masuk. Di sela kunyahan nya, ia menoleh ke Revan, senyum nakal muncul

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 75

    “Gue muak liat muka lo pura-pura polos!” Rina mendesis tajam, wajahnya penuh amarah. Alya terengah, tubuhnya goyah menahan perih di kulit kepalanya. “Rin… lepasin, sakit!” suaranya pecah, hampir berbisik di antara tangisan tertahan. Nanda yang baru saja mendorong pintu toilet langsung terperanjat melihat pemandangan di depannya. Rambut Alya dijambak kasar, wajahnya memerah menahan sakit, air mata sudah hampir jatuh. “Eh, kamu apa-apaan sih?!” seru Nanda lantang. Tanpa pikir panjang, ia segera menarik tangan Rina dengan kasar agar melepaskan jambakan itu. Rina mendengus, meski terkejut dengan keberanian Nanda. “Lo nggak usah ikut campur ya!” bentaknya, menepis tangan Nanda dengan penuh emosi. Alya segera mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar hebat, matanya masih berkaca. Nanda berdiri tegak, menahan emosi yang mulai membuncah. “Gue nggak bakal ikut campur kalau lo nggak keterlaluan kayak gini!” Rina menyeringai sinis, mendekat setengah langkah. “Nggak usah sok

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 74

    Rahang Revan mengeras, sorot matanya tak berkedip menatap Alya.“Pokoknya aku nggak suka kamu sama dia,” ucapnya datar tapi sarat amarah yang ditahan.Alya menunduk, suaranya lirih, hampir bergetar.“I-iya, Van…”Mereka melanjutkan perjalanan tanpa satu kata pun hingga akhirnya mobil berhenti di depan gerbang kampus.Alya buru-buru membuka pintu, ingin segera keluar. Namun sebelum kakinya sempat menginjak tanah, lengannya dicekal kuat oleh Revan.Ia menoleh kaget, bertemu dengan tatapan dingin dan menusuk dari lelaki itu. Nafas Revan berat saat suaranya meluncur pelan, penuh tekanan.“Inget, jauhin dia. Kali ini aku nggak mau dengar alasan apapun.”Alya terdiam, tenggorokannya tercekat.“I-iya, Van…”***Alya melangkah masuk kelas dengan langkah pelan. Begitu duduk, ia mencoba fokus pada penjelasan dosen, tapi matanya terasa berat. Padahal semalam ia tidur cukup. Tubuhnya pegal, seperti habis beraktivitas berat, dan sesekali rasa mual datang tanpa sebab.Ia berusaha menahan kantuk da

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 73

    “Van jangan kayak gini,” suaranya lirih, hampir bergetar. “Aku nggak suka lihat kamu sama dia,” desis Revan, suaranya rendah tapi penuh amarah. Bibirnya melumat bibir Alya dengan kasar, seolah ingin memastikan hanya dirinya yang bisa memiliki gadis itu. Alya terkejut oleh desakan itu, namun entah kenapa tubuhnya justru membalas, seolah tak ingin melepaskan Revan. Di sela ciuman yang membuat nafasnya tersengal, Alya berusaha bicara, “Tapi, Van–” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Revan menempelkan bibirnya kembali, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. “Aku nggak bisa terima ada laki-laki lain yang deketin kamu,” bisiknya di antara helaan napas mereka, suaranya serak, penuh kepemilikan. Tanpa memberi kesempatan pada Alya untuk menjawab, Revan kembali melumat bibirnya. Tangannya bergerak membuka kancing Alya satu persatu. Jantung Alya berdetak tak karuan. Ia menggenggam pergelangan tangan Revan, seolah ingin menghentikan, tapi genggamannya tidak benar-benar menol

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status