LOGINSambil melamun Vira berjalan menyusuri jalanan, dia kembali teringat dengan ibunya yang sedang sakit dan harus segera di operasi.
Namun, bagaimana dia bisa membiayai pengobatan ibunya jika uang sepeser saja dia tidak punya, bahkan Vira kini terancam di pecat."Kemana aku harus mencari uang?" gumam Vira dengan tatapan kosong sambil terus berjalan. Namun, tiba-tiba...Byur!Cipratan air yang berasal dari genangan air yang terlindas mobil mengguyur bajunya. Alhasil, blouse berwarna putih bersih itu kini telah berubah menjadi warna cokelat meski tidak sepenuhnya."Awhhh," Vira mendesah pelan sambil mengusap pakaiannya yang sudah kotor.Dia mengamati dirinya yang kini lebih mirip seperti seekor tikus yang tercebur got. Ingin sekali Vira membalas pengemudi sialan itu, namun sayang dalam hitungan detik mobil tersebut sudah tidak terlihat lagi.Dengan penampilan yang terlihat menyedihkan, Vira masih meneruskan langkahnya. Kini kaki Vira melangkah memasuki gang kecil yang menghubung ke kontrakannya. Langkahnya gontai, selaras dengan hatinya yang lemas.Dan sialnya ucapan Nathan justru kembali terngiang di telinganya, membuat Vira membuang nafasnya kasar."Apa susahnya meminjamkan aku uang dua ratus juta? Padahal aku bisa membayarnya dengan memotong gajiku setiap bulan. Aku yakin, jumlah uang segitu tidak ada apa-apanya bagi orang kaya seperti Nathan. Tetapi dia malah sengaja memanfaatkan keadaanku yang sedang terjepit," gerutu Vira sambil mengerucutkan bibirnya.Vira mendesah lemah, sebelah tangannya mengusap kening yang sedikit berkeringat. Langkahnya semakin dekat ke kontrakannya, Vira terhenti ketika telinganya mendengar suara ribut di dalam sana."Sudah kubilang aku tidak punya uang, ayah!""Bohong! Aku yakin kau menyembunyikannya kan? Cepat, berikan pada ayah sekarang juga!""Jangan, ayah! Ini untuk biaya pengobatan ibu!"Vira terhenyak. Ia tahu betul suara siapa yang sedang berdebat di dalam kontrakan kecilnya. Itu adalah suara Panji dan Baron, adik dan ayahnya."Jangan!" Suara teriakan Ningrum yang melengking dari dalam, membuat Vira segera berseru panik."Ibu!"Bergegas Vira masuk ke dalam kontrakannya, membuka pintu dengan satu kali hentakan. Vira melebarkan matanya ketika melihat Ningrum yang berlutut di kaki Baron, sedangkan Baron tampak santai berdiri sambil menghitung pecahan uang lima puluh ribuan.Vira geram melihat ayahnya mengambil uang itu, uang itu adalah uang tabungan yang ia kumpulkan untuk biaya pengobatan ibunya yang mahal."Ayah, jangan ambil uang itu! Nanti ibu bagaimana?" Isak Panji sambil menarik celana jeans Baron yang telah lusuh.Baron berdecak sambil melirik ke bawah kakinya."Panji, ibumu itu sudah penyakitan! Tinggal tunggu mati saja dia. Untuk apa susah-susah mengumpulkan uang untuk biaya pengobatannya? Kau dan Kakakmu itu hanya akan membuang-buang banyak waktu, lebih baik uang ini kalian gunakan untuk menyenangkan ayahmu ini saja," ucap Baron lalu memasukkan semua uang itu ke dalam saku bajunya.Ningrum yang mendengar ucapan suaminya yang begitu tega membuat dadanya terasa sesak, bahkan kedua kakinya pun terasa lemah sehingga ia terduduk dan bersandar di dinding."Ibu!" teriak Panji sambil menghampiri ibunya yang terisak."Ibu, Panji! Kalian tidak apa-apa?" tanya Vira saat menghampiri ibu dan adiknya itu."Virani! Kau sudah pulang, sayang? Sepertinya kau pulang lebih cepat hari ini, baguslah! Ayah memang ingin cepat-cepat bertemu denganmu," ucap Baron sambil tersenyum lebar.Vira mendengus masam, tahu betul apa yang ayahnya maksud. Apalagi kalau bukan soal uang?"Berikan uang itu pada ibu! Ayah tidak berhak mengambilnya. Aku mengumpulkan uang itu untuk biaya pengobatan ibu, harusnya ayah sebagai kepala keluarga membantu mencari uang untuk biaya pengobatan ibu, bukannya malah merampas yang ada!" Vira membantu Ningrum dan Panji berdiri, lalu memasang badan di depan Baron menatap dengan raut protesnya.Vira tidak pernah ingin memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab seperti Baron. Tapi kenyataannya, Baron si pemabuk dan tukang judi inilah ayahnya, yang bisanya hanya mengganggu ketenangan keluarga."Sejak dulu uang yang kamu kumpulkan selalu untuk ibu dan adikmu. Vira! Ibumu ini sudah sekarat, biarkan saja dia. Nanti kalau umurnya sudah habis, dia juga akan mati kan?" ucap Baron, wajahnya tampak begitu santai membuat Vira menggeram kesal."Jangan berkata seperti itu tentang ibuku! Ibuku pasti akan sembuh! Ibu akan sembuh! Kau itu seorang suami dan juga ayah, tidak pantas perkataan seperti itu keluar dari mulutmu."Ningrum menyentuh punggung Vira dengan tangan bergetar, hatinya sakit tetapi ia tetap berusaha tegar dihadapan ke dua anaknya."Kenapa? Ayah mengatakan ini sesuai fakta. Bukankah penyakit ibumu itu sudah semakin parah, dokter sendiri yang bilang kalau ibu kalian akan sembuh jika ia sudah melakukan operasi transplantasi jantung." Baron menaikkan sebelah alisnya dengan santai."Ayah yakin, kau tahu betul berapa biaya transplantasi jantung itu. Dari pada menjadi beban, lebih baik biarkan saja ibu kalian menghadapi penyakitnya sendirian. Suruh siapa dia sakit?" ucap Baron enteng."Ayah! Tutup mulut ayah sekarang juga! Lagi pula ibu bukan beban di keluarga ini. Dia ibuku! Wanita yang ayah sia-siakan ini adalah ibuku! Justru ayah yang selalu mengganggu ketenangan kami. Ayah yang membuat kami susah, jika tidak ada ayah pasti hidup kami akan damai," sentak Vira.Kesabaran Vira musnah sudah, ia tidak tahan lagi ingin segera membungkam mulut Baron.Mendengar sentakan Vira, Baron menatap dengan bola mata yang melebar, wajahnya memerah, luapan amarah menguasai dirinya."Lancang sekali kau berbicara seperti itu pada ayahmu, Vira! Beraninya kau," Tangan Baron terangkat, hendak menampar pipi Vira. Tetapi Ningrum lebih dulu berseru dan menahan pergelangan tangan suaminya."Jangan! Jangan pernah berani menyakiti anak-anakku! Jika kau tidak bisa menjadi suami dan ayah yang baik, setidaknya jangan pernah kau melukai fisik mereka!" teriak Ningrum, matanya sudah berkaca-kaca.Ningrum merasa jengah, pertengkaran seperti ini nyaris selalu terjadi setiap kali suaminya itu datang. Entah dimana lelaki itu beristirahat, yang jelas tempat Baron tidak akan jauh dari tempat-tempat perjudian dan penjual minuman beralkohol.Baron mengurungkan niatnya, tetapi matanya masih menyala pada Vira yang tampak tidak takut sama sekali padanya."Sebaiknya ayah pergi dari sini! Aku tidak ingin melihat ayah menyakiti ibu ataupun Panji!" ucap Vira sambil menunjuk ke arah pintu yang terbuka lebar.Kembali tenang, Baron mengeluarkan korek api dari saku celana jeansnya. Ia menyalakan rokok, lalu menyesapnya dan membuang asapnya tepat di depan wajah Vira. Hingga Vira harus mendengus mengalihkan pandangannya ke arah lain."Ayah akan pergi jika kau sudah memberikan ayah uang." Tangan kanan Baron menengadah di hadapan Vira.Mata Vira tertuju ke arah sana. Mati-matian ia menahan kesal yang telah kembali menumpuk di dalam dada. Tanpa dosa Baron justru meminta uang padanya, padahal Vira kini terancam di pecat dari pekerjaannya.Vira menghembuskan nafasnya kasar, ia merogoh tas selempang nya lalu mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan yang langsung direbut oleh Baron."Aku belum menerima gaji, hanya itu yang aku punya."Vira sengaja berbohong, agar Baron percaya ia tidak memiliki uang lagi selain yang ada di tangan lelaki itu.Baron menciumi uang itu dengan penuh kasih sayang, senyum lebar merekah di wajah tuanya."Terimakasih, anakku. Kau memang anak kebanggaan ayah, lain kali ayah akan datang lagi untuk menemuimu."Vira membisu, ia hanya menatap penuh ketidaksukaan pada Baron. Ia membiarkan ayahnya pergi dari kontrakan yang sebenarnya sudah tidak layak huni ini.--Pria paruh baya itu melangkah mantap ke tengah ruangan, sorot matanya tajam menyapu setiap sudut hingga membuat suasana terasa kian menegangkan. Para pegawai sontak terdiam, tak ada yang berani bersuara. Vira yang berdiri paling ujung hanya bisa menatap penuh tanya, siapa sebenarnya orang ini hingga semua orang begitu menghormatinya?Vira menelan ludah, ia tak tahan lagi untuk berbisik pada Ana, "Siapa dia, Na?"Ana meliriknya sekilas, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Vira. "Itu… Ayahnya Pak Nathan, namanya Pak Bramantyo!"Dengan suara berat namun penuh wibawa, pria paruh baya itu akhirnya membuka mulutnya, "Apa Nathan ada di ruangannya?" tanyanya. Ana yang berdiri di samping Vira buru-buru menyikut pelan lengannya, memberi isyarat agar ia segera maju. Bagaimanapun juga, Vira adalah asisten pribadi Nathan jadi sudah sepatutnya dialah yang harus berurusan langsung dengan pria penting itu.Mau tak mau, Vira melangkah mendekat, menundukkan sedikit tubuhnya sebagai bentuk hormat. "S
Makan malam akhirnya usai, menyisakan meja yang dipenuhi piring dan gelas kotor. Namun, alih-alih beranjak, Nathan masih bersandar santai di kursinya, matanya tak lepas dari sosok Vira di seberangnya. "Vira," suaranya dalam, membuat wanita itu menoleh dengan bingung. "Ada sesuatu di sudut bibirmu!" ucap Nathan sambil menunjuk dengan telunjuknya. Refleks Vira menyeka dengan punggung tangannya. "Sudah belum?" tanyanya polos.Nathan menggeleng, sudut bibirnya terangkat tipis. "Bukan di situ… di sebelah kanan!"Dengan kikuk, Vira mencoba lagi, menggunakan ujung jarinya. "Sekarang?" tanyanya, semakin salah arah.Nathan mendesah pendek, matanya menyipit antara kesal dan geli. "Bukan di situ. Kau justru membuatnya semakin berantakan!" Wajah Vira memanas, ia kembali menyeka dengan buru-buru. "Dimana sebenarnya? Ini tidak ada kok!" ucapnya sedikit jengkel.Nathan hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari kursinya. "Sudahlah…" gumamnya pelan.Tanpa banyak kata, ia melangkah
Nathan menarik napas dalam, membiarkan jarak di antara mereka terasa lebih intim. Matanya menatap Vira, seolah ingin menembus setiap perasaan yang tersembunyi di balik tatapannya.Vira masih meringkuk di sudut sofa, jantungnya berdegup kencang, campuran rasa gugup dan hangat yang tiba-tiba membanjiri dadanya. Ia tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menatap Nathan dengan mata yang sedikit membelalak.Vira menunduk, bibirnya bergetar sedikit. "Nathan…" ucapnya dengan suara lirih, nyaris tersedak. "A-apa… kau tidak lapar?" Lanjutnya terbata. Nathan tersenyum tipis, matanya berkilat nakal. "Tentu saja aku sangat lapar… sampai aku ingin memakanmu sekarang juga!" jawabnya sambil menyeringai, nada bercandanya berhasil membuat wajah Vira memerah hebat. Vira terdiam sejenak, menelan ludah dan menundukkan wajahnya. Jantungnya berdetak lebih kencang, antara kesal dan malu. "Bu-bukan itu maksudku… hmmpptthh…" ucapnya terbata, wajahnya memerah hebat.Namun sebelum kata-katanya tuntas, Natha
Kini hidangan yang ia olah dengan sepenuh hati, tersusun rapi di atas meja makan. Vira duduk di kursinya, menyendok nasi lalu menambahkan lauk ke piringnya. Perutnya pun mulai keroncongan, membuatnya benar-benar ingin segera menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Namun saat sendok nyaris menyentuh mulutnya, sebuah kalimat Nathan kembali terlintas di kepalanya, "Aku tidak suka makan sendirian." Vira terdiam. Tangannya yang memegang sendok refleks terhenti di udara. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di seberangnya, kursi yang semestinya terisi oleh Nathan. Seketika rasa lapar itu sirna, digantikan dengan perasaan hampa. Entah mengapa, ia merasa tidak tega menghabiskan makanan itu sendirian. Seolah Nathan benar-benar hadir di antara ingatannya, menahannya untuk tidak menikmati makan malam itu tanpa dirinya. Dengan helaan napas panjang, Vira meletakkan kembali sendoknya di atas piringnya. Ia hanya duduk memandangi meja, membiarkan makanan tetap utuh, sembari berharap pintu apartemen i
Keheningan di antara mereka tak berlangsung lama. Nathan menarik napas dalam, seolah tengah menimbang sesuatu yang berat. Dia tidak mengerti kenapa dirinya harus semarah itu. Namun jujur saja, Nathan merasa tidak terima jika ada pria lain yang menyentuh Vira.Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan gejolak yang mendesak keluar."Sekarang aku ingin kau... memberikan identitas orang itu padaku!" ucapnya penuh penekanan. "Untuk apa, Pak?" tanya Vira lirih. "Vira! Jangan membantah. Lakukan saja apa yang kukatakan. Sekarang, berikan identitas pria itu padaku!" suara Nathan meninggi, tegas dan penuh tekanan."B-baik, Pak…" ucap Vira terbata. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya. Air matanya masih mengalir, membasahi pipinya saat ia menggulir layar, mencari nama yang paling ingin ia hapus dari hidupnya. Beberapa detik kemudian, data itu terkirim."Aku… sudah mengirimkannya, Pak!" ucapnya pelan, seolah melepaskan beban berat dari dadanya.Nathan segera menunduk pada layar ponselnya.
Langkah Nathan dan Vira langsung terhenti. Nathan menoleh perlahan, rahangnya mengeras saat melihat Andi masih berdiri di tempat yang sama. "Kau masih belum tahu diri rupanya," ucap Nathan pelan, namun penuh penekanan. Andi maju selangkah, sorot matanya liar. "Kau tidak bisa membawanya pergi begitu saja!" seru Andi."Aku belum selesai berurusan dengannya!"Nathan mendorong Vira perlahan ke belakang tubuhnya, seolah menjadi tameng. Tatapannya tajam menantang."Kau sudah selesai sejak kau memilih mengkhianatinya!"Andi mendengus."Dia milikku!""Dia bukan milikmu lagi! Sekarang, dia bersamaku. Kau tak punya hak sedikit pun untuk menahannya," ucap Nathan tegas. "Pak, tenang saja. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar. Setelah itu, akan ku kembalikan lagi padamu," ucap Andi dengan nada seenaknya."Lagi pula... wanita seperti dia, bukankah kita bisa berbagi?"Deg!Mata Vira membelalak. Berbagi?Apa dia pikir dirinya itu barang? Yang bisa dipinjam dan dikembalikan sesuka hati? Hatinya be







