LOGINBruk!
"Kakak, ibu pingsan!" teriak Panji.Vira langsung menoleh, "Panji, kita bawa ibu ke rumah sakit sekarang! Ibu harus segera ditangani oleh dokter. Untung saja kakak tidak menyerahkan semua uang kakak pada ayah, jadi kita bisa membawa ibu berobat sekarang."Harapan kembali tumbuh di hati Panji. Matanya berbinar menatap Ningrum yang tidak sadarkan diri."Baik, kak. Ayo kita berangkat sekarang."Sesampainya di rumah sakit, perawat datang dan membawa Ningrum untuk dilakukan pemeriksaan.Tanpa terasa air mata menetes di manik mata Vira. Gadis itu tampak lemas ketika ia melihat para suster dan dokter sedang melakukan tindakan untuk menyelematkan sang ibu.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan tersebut terbuka. Seorang wanita berpakaian serba putih menyembul keluar."Keluarga pasien atas nama Ibu Ningrum?" ucap suster tersebut."Saya sus," sahut Vira. Vira dan Panji pun langsung menghampiri suster tersebut."Anda keluarganya?" tanya suster tersebut."Iya dok, kami anak-anaknya," sahut Vira."Baiklah, kalau begitu silahkan kalian masuk! Dokter ingin bertemu dengan keluarga dari pasien," ucap suster tersebut.Vira dan Panji pun saling melirik, kemudian mereka mengikuti suster tersebut untuk masuk ke dalam ruangan dimana ibunya diperiksa.Sesampainya didalam, mata Vira langsung tertuju kepada wanita paruh baya yang masih terbaring tak sadarkan diri di atas brankar.Dadanya terasa sesak kala Vira melihat tubuh sang ibu yang dipenuhi dengan berbagai macam peralatan medis. Semua itu cukup membuat Vira benar-benar sadar bahwa kondisinya ibunya memang cukup parah."Kak, ibu..." ucap Panji lirih. Remaja itu juga merasakan hal yang serupa yang Vira rasakan.Vira mencoba tetap tersenyum, meski itu sulit."Ibu pasti akan baik-baik saja, dek." ucap Vira.Entah siapa yang ingin Vira bohongi, Panji sendiri sudah cukup dewasa untuk mengerti dengan apa yang dia lihat didepan matanya."Silahkan duduk, Mbak!" ucap suster tersebut."Terimakasih, sus." sahut Vira.Vira dan Panji pun duduk sebuah kursi di depan meja sang sang dokter. Sesaat kemudian, lelaki paruh baya berjas putih datang dan duduk hadapan mereka."Apa kalian keluarga dari Ibu Ningrum?" tanya lelaki tersebut."Iya dok, kami anak-anak Ibu Ningrum. Saya Vira, dan ini adik saya, Panji." jawab Vira dan dokter itu pun menganggukkan kepalanya."Bagaimana kondisi ibu saya, dok?" tanya Vira lagi."Jadi begini, kondisi Ibu Ningrum semakin memburuk. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya bahwa kondisi jantung Ibu Ningrum harus segera di operasi karena kondisinya sekarang semakin memburuk. Saya tidak berani menjamin bila beliau akan selamat jika tidak melakukan operasi," jelas dokter itu.Seperti tersambar petir ketika sang dokter memberitahukan keadaan Ningrum, dan yang membuat Vira tambah bingung ibunya itu harus segera dioperasi sedangkan ia tahu berapa besar biaya operasi transplantasi jantung itu.Saat ini Vira memang tak memiliki uang untuk operasi ibunya tetapi ia tak mungkin menyerah begitu saja, karena baginya Ningrum adalah satu-satunya orang tua yang Vira punya, ia akan melakukan apapun agar ibunya bisa selamat."A-apa tidak ada cara lain dok selain dengan operasi?" tanya Vira dengan bibir bergetar."Maaf Bu Vira, tidak ada. Tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan karena jantung Ibu Ningrum sudah tidak bisa berfungsi dengan baik. Transplantasi jantung adalah satu-satunya cara, dan itu pun harus dilakukan secepat mungkin. Saya takut jika hal ini ditunda, maka akan membahayakan keselamatan pasien," ucap dokter itu.Ini kedua kalinya Dokter Sandi mengatakan hal itu pada Vira. Dia mengetahui tentang kondisi Ningrum yang harus segera dioperasi, tetapi Vira tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu dimana."Kak, bagaimana ini?" tanya Panji."Aku tidak mau kehilangan ibu, kak." imbuhnya lagi."Panji, kakak tidak akan membiarkan sesuatu terjadi kepada ibu. Kakak juga tidak mau kehilangan ibu," sahut Vira."Saya tahu ini tidak mudah, Vira. Biayanya memang sangat besar, saya mengerti keadaan ekonomi keluargamu. Sebagai dokter, saya harus mengatakan apa jalan yang terbaik untuk kesembuhan Ibu Ningrum," ucap dokter Sandi.Vira mengangguk, tersenyum pahit. Keadaan Ningrum semakin serius, apa yang harus ia lakukan untuk kesembuhan ibunya itu?Vira tidak pernah perhitungan, meski gajinya setiap bulan sebagian besar selalu digunakan untuk biaya pengobatan Ningrum dan biaya sekolah Panji, tetapi Vira rela demi ibu dan adik satu-satunya itu."Dokter, lakukan yang terbaik untuk ibu saya, saya mohon selamatkan ibu saya. Jika memang operasi adalah jalan satu-satunya maka lakukanlah, dok!" ucap Vira."Baiklah Bu Vira, kalau begitu saya akan segera membuat jadwal operasi untuk Ibu Ningrum," sahut dokter tersebut."Baik, dokter.""Suster, tolong pindahkan pasien ke ruang rawat!" ucap Sandi kepada suster yang ada disebelahnya."Dan satu lagi, tolong pantau terus kondisi pasien selama dua puluh empat jam penuh.""Baik, dok." sahut suster itu."Bu Vira, mulai hari ini Ibu Ningrum harus menjalani rawat inap. Saya harus memantau perkembangan beliau sebelum melakukan tindakan operasi," jelas dokter pada Vira."Baik dok, lakukanlah yang terbaik untuk ibu saya!"Setelah berbicara dengan dokter, Vira dan Panji pun keluar dari ruangan dokter kemudian berjalan menuju ruangan dimana Ibu Ningrum di rawat inap."Permisi, Mbak Vira," ujar seorang perawat memanggil Vira."Iya, sus?""Mbak Vira, ini adalah rincian biaya operasi Ibu Ningrum," ucap perawat itu sembari menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Vira.Tangan Vira bergetar saat meraih kertas tersebut. Dia benar-benar takut melihat nominal yang tertera disana."Dua ratus juta?" Vira bergumam dengan begitu frustasi. Bahkan jika bekerja seumur hidup pun Vira tidak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu."Iya mbak, itu belum termasuk biaya rawat inapnya. Jadi sebaiknya Mbak Vira segera mengurus biaya administrasinya supaya Ibu Ningrum bisa segera dioperasi," ucap suster itu lagi."Baik dok, saya akan segera melunasinya," sahut Vira sambil tersenyum kecut."Kak?" ucap Panji."Iya dek, ada apa?" tanya Vira."Dimana kakak akan mencari uang sebanyak itu, kak?" tanya Panji."Panji, kamu tidak usah memikirkan hal itu. Kakak akan segera mencari pinjaman dan mendapatkan uang untuk biaya operasi ibu.""Sekarang kakak pulang dulu, kamu temani ibu disini ya! Tidak apa-apa kan? Nanti kakak akan kesini lagi untuk membawakan makanan dan baju ganti buat kamu dan ibu," ucap Vira lagi."Iya, kak.""Ya sudah, kalau gitu Kakak pulang dulu, jaga ibu! Jangan lupa telepon kakak Jika terjadi sesuatu!""Iya kak, kakak hati-hati di jalan," ucap Panji."Hmmm." Vira bergegas pergi dari sana untuk mencari pinjaman.Vira berjalan dengan tatapan yang kosong tanpa arah dan tujuan yang jelas. Hari sudah mulai gelap, dan Vira sendiri masih belum tahu kemana dia harus mencari uang sebanyak itu. Kepalanya mendadak berdenyut, Vira benar-benar frustasi.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di sebelahnya."Vira!" ujar seorang wanita yang menyembul keluar dari jendela mobil berwarna hitam itu."Ana?" ucap Vira pada seorang wanita yang tidak lain adalah Ana, sahabatnya. Wanita itu langsung saja turun dari mobil dan menghampiri Vira."Vira, apa yang sedang kamu lakukan disini?" tanya Ana.Sementara Ana hanya menatap heran ke arah Vira. Ana yakin ada yang tidak beres dari sahabatnya itu, sejak tadi siang Ana sudah curiga bahwa sahabatnya itu sedang dilanda masalah saat ia meninggalkan perusahaan dengan begitu tiba-tiba.--Pria paruh baya itu melangkah mantap ke tengah ruangan, sorot matanya tajam menyapu setiap sudut hingga membuat suasana terasa kian menegangkan. Para pegawai sontak terdiam, tak ada yang berani bersuara. Vira yang berdiri paling ujung hanya bisa menatap penuh tanya, siapa sebenarnya orang ini hingga semua orang begitu menghormatinya?Vira menelan ludah, ia tak tahan lagi untuk berbisik pada Ana, "Siapa dia, Na?"Ana meliriknya sekilas, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Vira. "Itu… Ayahnya Pak Nathan, namanya Pak Bramantyo!"Dengan suara berat namun penuh wibawa, pria paruh baya itu akhirnya membuka mulutnya, "Apa Nathan ada di ruangannya?" tanyanya. Ana yang berdiri di samping Vira buru-buru menyikut pelan lengannya, memberi isyarat agar ia segera maju. Bagaimanapun juga, Vira adalah asisten pribadi Nathan jadi sudah sepatutnya dialah yang harus berurusan langsung dengan pria penting itu.Mau tak mau, Vira melangkah mendekat, menundukkan sedikit tubuhnya sebagai bentuk hormat. "S
Makan malam akhirnya usai, menyisakan meja yang dipenuhi piring dan gelas kotor. Namun, alih-alih beranjak, Nathan masih bersandar santai di kursinya, matanya tak lepas dari sosok Vira di seberangnya. "Vira," suaranya dalam, membuat wanita itu menoleh dengan bingung. "Ada sesuatu di sudut bibirmu!" ucap Nathan sambil menunjuk dengan telunjuknya. Refleks Vira menyeka dengan punggung tangannya. "Sudah belum?" tanyanya polos.Nathan menggeleng, sudut bibirnya terangkat tipis. "Bukan di situ… di sebelah kanan!"Dengan kikuk, Vira mencoba lagi, menggunakan ujung jarinya. "Sekarang?" tanyanya, semakin salah arah.Nathan mendesah pendek, matanya menyipit antara kesal dan geli. "Bukan di situ. Kau justru membuatnya semakin berantakan!" Wajah Vira memanas, ia kembali menyeka dengan buru-buru. "Dimana sebenarnya? Ini tidak ada kok!" ucapnya sedikit jengkel.Nathan hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari kursinya. "Sudahlah…" gumamnya pelan.Tanpa banyak kata, ia melangkah
Nathan menarik napas dalam, membiarkan jarak di antara mereka terasa lebih intim. Matanya menatap Vira, seolah ingin menembus setiap perasaan yang tersembunyi di balik tatapannya.Vira masih meringkuk di sudut sofa, jantungnya berdegup kencang, campuran rasa gugup dan hangat yang tiba-tiba membanjiri dadanya. Ia tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menatap Nathan dengan mata yang sedikit membelalak.Vira menunduk, bibirnya bergetar sedikit. "Nathan…" ucapnya dengan suara lirih, nyaris tersedak. "A-apa… kau tidak lapar?" Lanjutnya terbata. Nathan tersenyum tipis, matanya berkilat nakal. "Tentu saja aku sangat lapar… sampai aku ingin memakanmu sekarang juga!" jawabnya sambil menyeringai, nada bercandanya berhasil membuat wajah Vira memerah hebat. Vira terdiam sejenak, menelan ludah dan menundukkan wajahnya. Jantungnya berdetak lebih kencang, antara kesal dan malu. "Bu-bukan itu maksudku… hmmpptthh…" ucapnya terbata, wajahnya memerah hebat.Namun sebelum kata-katanya tuntas, Natha
Kini hidangan yang ia olah dengan sepenuh hati, tersusun rapi di atas meja makan. Vira duduk di kursinya, menyendok nasi lalu menambahkan lauk ke piringnya. Perutnya pun mulai keroncongan, membuatnya benar-benar ingin segera menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Namun saat sendok nyaris menyentuh mulutnya, sebuah kalimat Nathan kembali terlintas di kepalanya, "Aku tidak suka makan sendirian." Vira terdiam. Tangannya yang memegang sendok refleks terhenti di udara. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di seberangnya, kursi yang semestinya terisi oleh Nathan. Seketika rasa lapar itu sirna, digantikan dengan perasaan hampa. Entah mengapa, ia merasa tidak tega menghabiskan makanan itu sendirian. Seolah Nathan benar-benar hadir di antara ingatannya, menahannya untuk tidak menikmati makan malam itu tanpa dirinya. Dengan helaan napas panjang, Vira meletakkan kembali sendoknya di atas piringnya. Ia hanya duduk memandangi meja, membiarkan makanan tetap utuh, sembari berharap pintu apartemen i
Keheningan di antara mereka tak berlangsung lama. Nathan menarik napas dalam, seolah tengah menimbang sesuatu yang berat. Dia tidak mengerti kenapa dirinya harus semarah itu. Namun jujur saja, Nathan merasa tidak terima jika ada pria lain yang menyentuh Vira.Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan gejolak yang mendesak keluar."Sekarang aku ingin kau... memberikan identitas orang itu padaku!" ucapnya penuh penekanan. "Untuk apa, Pak?" tanya Vira lirih. "Vira! Jangan membantah. Lakukan saja apa yang kukatakan. Sekarang, berikan identitas pria itu padaku!" suara Nathan meninggi, tegas dan penuh tekanan."B-baik, Pak…" ucap Vira terbata. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya. Air matanya masih mengalir, membasahi pipinya saat ia menggulir layar, mencari nama yang paling ingin ia hapus dari hidupnya. Beberapa detik kemudian, data itu terkirim."Aku… sudah mengirimkannya, Pak!" ucapnya pelan, seolah melepaskan beban berat dari dadanya.Nathan segera menunduk pada layar ponselnya.
Langkah Nathan dan Vira langsung terhenti. Nathan menoleh perlahan, rahangnya mengeras saat melihat Andi masih berdiri di tempat yang sama. "Kau masih belum tahu diri rupanya," ucap Nathan pelan, namun penuh penekanan. Andi maju selangkah, sorot matanya liar. "Kau tidak bisa membawanya pergi begitu saja!" seru Andi."Aku belum selesai berurusan dengannya!"Nathan mendorong Vira perlahan ke belakang tubuhnya, seolah menjadi tameng. Tatapannya tajam menantang."Kau sudah selesai sejak kau memilih mengkhianatinya!"Andi mendengus."Dia milikku!""Dia bukan milikmu lagi! Sekarang, dia bersamaku. Kau tak punya hak sedikit pun untuk menahannya," ucap Nathan tegas. "Pak, tenang saja. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar. Setelah itu, akan ku kembalikan lagi padamu," ucap Andi dengan nada seenaknya."Lagi pula... wanita seperti dia, bukankah kita bisa berbagi?"Deg!Mata Vira membelalak. Berbagi?Apa dia pikir dirinya itu barang? Yang bisa dipinjam dan dikembalikan sesuka hati? Hatinya be







