Share

Bab 4 Kondisi Ningrum Memburuk

Bruk!

"Kakak, ibu pingsan!" teriak Panji.

Vira langsung menoleh, "Panji, kita bawa ibu ke rumah sakit sekarang! Ibu harus segera ditangani oleh dokter. Untung saja kakak tidak menyerahkan semua uang kakak pada ayah, jadi kita bisa membawa ibu berobat sekarang."

Harapan kembali tumbuh di hati Panji. Matanya berbinar menatap Ningrum yang tidak sadarkan diri.

"Baik, kak. Ayo kita berangkat sekarang."

Sesampainya di rumah sakit, perawat datang dan membawa Ningrum untuk dilakukan pemeriksaan.

Tanpa terasa air mata menetes di manik mata Vira. Gadis itu tampak lemas ketika ia melihat para suster dan dokter sedang melakukan tindakan untuk menyelematkan sang ibu.

Beberapa saat kemudian, pintu ruangan tersebut terbuka. Seorang wanita berpakaian serba putih menyembul keluar.

"Keluarga pasien atas nama Ibu Ningrum?" ucap suster tersebut.

"Saya sus," sahut Vira. Vira dan Panji pun langsung menghampiri suster tersebut.

"Anda keluarganya?" tanya suster tersebut.

"Iya dok, kami anak-anaknya," sahut Vira.

"Baiklah, kalau begitu silahkan kalian masuk! Dokter ingin bertemu dengan keluarga dari pasien," ucap suster tersebut.

Vira dan Panji pun saling melirik, kemudian mereka mengikuti suster tersebut untuk masuk ke dalam ruangan dimana ibunya diperiksa.

Sesampainya didalam, mata Vira langsung tertuju kepada wanita paruh baya yang masih terbaring tak sadarkan diri di atas brankar.

Dadanya terasa sesak kala Vira melihat tubuh sang ibu yang dipenuhi dengan berbagai macam peralatan medis. Semua itu cukup membuat Vira benar-benar sadar bahwa kondisinya ibunya memang cukup parah.

"Kak, ibu..." ucap Panji lirih. Remaja itu juga merasakan hal yang serupa yang Vira rasakan.

Vira mencoba tetap tersenyum, meski itu sulit.

"Ibu pasti akan baik-baik saja, dek." ucap Vira.

Entah siapa yang ingin Vira bohongi, Panji sendiri sudah cukup dewasa untuk mengerti dengan apa yang dia lihat didepan matanya.

"Silahkan duduk, Mbak!" ucap suster tersebut.

"Terimakasih, sus." sahut Vira.

Vira dan Panji pun duduk sebuah kursi di depan meja sang sang dokter. Sesaat kemudian, lelaki paruh baya berjas putih datang dan duduk hadapan mereka.

"Apa kalian keluarga dari Ibu Ningrum?" tanya lelaki tersebut.

"Iya dok, kami anak-anak Ibu Ningrum. Saya Vira, dan ini adik saya, Panji." jawab Vira dan dokter itu pun menganggukkan kepalanya.

"Bagaimana kondisi ibu saya, dok?" tanya Vira lagi.

"Jadi begini, kondisi Ibu Ningrum semakin memburuk. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya bahwa kondisi jantung Ibu Ningrum harus segera di operasi karena kondisinya sekarang semakin memburuk. Saya tidak berani menjamin bila beliau akan selamat jika tidak melakukan operasi," jelas dokter itu.

Seperti tersambar petir ketika sang dokter memberitahukan keadaan Ningrum, dan yang membuat Vira tambah bingung ibunya itu harus segera dioperasi sedangkan ia tahu berapa besar biaya operasi transplantasi jantung itu.

Saat ini Vira memang tak memiliki uang untuk operasi ibunya tetapi ia tak mungkin menyerah begitu saja, karena baginya Ningrum adalah satu-satunya orang tua yang Vira punya, ia akan melakukan apapun agar ibunya bisa selamat.

"A-apa tidak ada cara lain dok selain dengan operasi?" tanya Vira dengan bibir bergetar.

"Maaf Bu Vira, tidak ada. Tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan karena jantung Ibu Ningrum sudah tidak bisa berfungsi dengan baik. Transplantasi jantung adalah satu-satunya cara, dan itu pun harus dilakukan secepat mungkin. Saya takut jika hal ini ditunda, maka akan membahayakan keselamatan pasien," ucap dokter itu.

Ini kedua kalinya Dokter Sandi mengatakan hal itu pada Vira. Dia mengetahui tentang kondisi Ningrum yang harus segera dioperasi, tetapi Vira tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu dimana.

"Kak, bagaimana ini?" tanya Panji.

"Aku tidak mau kehilangan ibu, kak." imbuhnya lagi.

"Panji, kakak tidak akan membiarkan sesuatu terjadi kepada ibu. Kakak juga tidak mau kehilangan ibu," sahut Vira.

"Saya tahu ini tidak mudah, Vira. Biayanya memang sangat besar, saya mengerti keadaan ekonomi keluargamu. Sebagai dokter, saya harus mengatakan apa jalan yang terbaik untuk kesembuhan Ibu Ningrum," ucap dokter Sandi.

Vira mengangguk, tersenyum pahit. Keadaan Ningrum semakin serius, apa yang harus ia lakukan untuk kesembuhan ibunya itu?

Vira tidak pernah perhitungan, meski gajinya setiap bulan sebagian besar selalu digunakan untuk biaya pengobatan Ningrum dan biaya sekolah Panji, tetapi Vira rela demi ibu dan adik satu-satunya itu.

"Dokter, lakukan yang terbaik untuk ibu saya, saya mohon selamatkan ibu saya. Jika memang operasi adalah jalan satu-satunya maka lakukanlah, dok!" ucap Vira.

"Baiklah Bu Vira, kalau begitu saya akan segera membuat jadwal operasi untuk Ibu Ningrum," sahut dokter tersebut.

"Baik, dokter."

"Suster, tolong pindahkan pasien ke ruang rawat!" ucap Sandi kepada suster yang ada disebelahnya.

"Dan satu lagi, tolong pantau terus kondisi pasien selama dua puluh empat jam penuh."

"Baik, dok." sahut suster itu.

"Bu Vira, mulai hari ini Ibu Ningrum harus menjalani rawat inap. Saya harus memantau perkembangan beliau sebelum melakukan tindakan operasi," jelas dokter pada Vira.

"Baik dok, lakukanlah yang terbaik untuk ibu saya!"

Setelah berbicara dengan dokter, Vira dan Panji pun keluar dari ruangan dokter kemudian berjalan menuju ruangan dimana Ibu Ningrum di rawat inap.

"Permisi, Mbak Vira," ujar seorang perawat memanggil Vira.

"Iya, sus?"

"Mbak Vira, ini adalah rincian biaya operasi Ibu Ningrum," ucap perawat itu sembari menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Vira.

Tangan Vira bergetar saat meraih kertas tersebut. Dia benar-benar takut melihat nominal yang tertera disana.

"Dua ratus juta?" Vira bergumam dengan begitu frustasi. Bahkan jika bekerja seumur hidup pun Vira tidak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu.

"Iya mbak, itu belum termasuk biaya rawat inapnya. Jadi sebaiknya Mbak Vira segera mengurus biaya administrasinya supaya Ibu Ningrum bisa segera dioperasi," ucap suster itu lagi.

"Baik dok, saya akan segera melunasinya," sahut Vira sambil tersenyum kecut.

"Kak?" ucap Panji.

"Iya dek, ada apa?" tanya Vira.

"Dimana kakak akan mencari uang sebanyak itu, kak?" tanya Panji.

"Panji, kamu tidak usah memikirkan hal itu. Kakak akan segera mencari pinjaman dan mendapatkan uang untuk biaya operasi ibu."

"Sekarang kakak pulang dulu, kamu temani ibu disini ya! Tidak apa-apa kan? Nanti kakak akan kesini lagi untuk membawakan makanan dan baju ganti buat kamu dan ibu," ucap Vira lagi.

"Iya, kak."

"Ya sudah, kalau gitu Kakak pulang dulu, jaga ibu! Jangan lupa telepon kakak Jika terjadi sesuatu!"

"Iya kak, kakak hati-hati di jalan," ucap Panji.

"Hmmm." Vira bergegas pergi dari sana untuk mencari pinjaman.

Vira berjalan dengan tatapan yang kosong tanpa arah dan tujuan yang jelas. Hari sudah mulai gelap, dan Vira sendiri masih belum tahu kemana dia harus mencari uang sebanyak itu. Kepalanya mendadak berdenyut, Vira benar-benar frustasi.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di sebelahnya.

"Vira!" ujar seorang wanita yang menyembul keluar dari jendela mobil berwarna hitam itu.

"Ana?" ucap Vira pada seorang wanita yang tidak lain adalah Ana, sahabatnya. Wanita itu langsung saja turun dari mobil dan menghampiri Vira.

"Vira, apa yang sedang kamu lakukan disini?" tanya Ana.

Sementara Ana hanya menatap heran ke arah Vira. Ana yakin ada yang tidak beres dari sahabatnya itu, sejak tadi siang Ana sudah curiga bahwa sahabatnya itu sedang dilanda masalah saat ia meninggalkan perusahaan dengan begitu tiba-tiba.

--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status