LOGINVira sangat membutuhkan uang itu untuk Ningrum, ibunya yang sedang sakit. Tapi apakah ia harus menyerahkan kehormatannya pada Nathan? Tidak! Vira tidak akan melakukan itu.
Seperti nasihat ibunya, kehormatan bagi wanita selayaknya sebuah mahkota. Vira harus menjaganya, lalu memberikannya pada suaminya kelak. Bukan pada lelaki dihadapannya yang saat ini sedang menatapnya dengan senyum penuh hinaan."Sepertinya aku telah salah meminjam uang kepada anda, Pak. Aku mengurungkan niatku, permisi!"Ceklek! Brakk! Vira membuka lalu membanting pintu tersebut dengan kasar. Melihat hal itu Nathan hanya tersenyum tipis, wanita yang benar-benar unik dan menarik untuknya.Baru kali ini ada wanita yang begitu berani bersikap kurang ajar seperti itu kepadanya, dan bahkan berani menolaknya mentah-mentah. Tidak seperti para wanita lainnya, harus Nathan akui bahwa Vira memang sangat berbeda dengan para wanita yang pernah ia temui.Para wanita itu bahkan akan secara suka rela menawarkan tubuhnya kepada Nathan. Namun sayang, Nathan tidak pernah tertarik untuk menyentuh para wanita jalang yang sudah entah berapa banyak pria yang telah menjamah tubuh mereka. Nathan paling tidak suka dengan barang bekas orang lain."Tapi bukankah, semua wanita itu sama saja? Aku yakin, dalam satu atau dua hari, Vira pasti akan kembali menghadapku untuk menyetujui apa yang aku tawarkan," gumam Nathan tersenyum kecut."Vira, jangan sebut aku Raditya Nathan Wijaya jika aku tidak bisa memilikimu! Akan aku pastikan aku akan membuat kamu mengerang nikmat dibawah kungkunganku!" ucap Nathan diiringi dengan senyum yang mengembang di bibirnya yang sensual.Sementara Vira dengan raut wajah yang merah padam, dia berjalan dengan langkahnya yang panjang-panjang meninggalkan ruangan Nathan. Suara hentakan pintu yang tertutup secara kasar tentu mengundang perhatian para karyawan lain yang berada dekat dengan ruangan tersebut.Beberapa pegawai tampak menatap nyalang ke arah Vira. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga membuat Vira dengan begitu berani membanting pintu ruangan atasannya itu. Apa dia sudah bosan hidup? Atau dia memang sedang menggali lubang kuburnya sendiri? Sehingga dengan begitu berani berperilaku begitu lancang kepada Nathan."Ada apa dengannya?" desis seorang karyawan tampak berbisik kepada rekan kerja di sebelahnya."Aku tidak tahu, apa dia sedang mencari mati? Sehingga dengan begitu berani membanting pintu ruang kerja Pak Nathan," sahut wanita disebelahnya.Mereka benar-benar tak habis pikir dengan perilaku Vira, seumur-umur baru kali ini mereka melihat ada karyawan yang begitu berani berperilaku seperti itu kepada CEO perusahaan tempat mereka bekerja."Aku yakin, setelah ini dia akan segera didepak dari perusahaan ini," ucap seorang karyawan lagi.Vira yang mengetahui bahwa karyawan lain tengah memperbincangkan dirinya, namun Vira tidak mau ambil pusing dengan tidak menggubrisnya sama sekali. Biarkan saja mereka berkata sesuka hati mereka.Hatinya sudah terlalu kesal dengan pria yang sampai saat ini masih berstatus sebagai pimpinannya tersebut. Namun, segala rasa hormatnya sudah hilang sejak pria tersebut dengan begitu lancang merendahkan harga dirinya.Braakk! Suara gebrakan meja yang begitu tiba-tiba itu membuat pegawai lainnya terlonjak kaget. Mereka menoleh ke arah sumber suara tersebut, yang tidak lain disebabkan oleh Vira yang menggebrak meja kerjanya dengan kasar."Hmhh," Vira mendengus kesal dengan pandangan mata lurus ke depan."Berani sekali. Enak saja, memangnya dia pikir dia itu siapa, hah?!" ucapnya mendumal sendiri.Membuat para karyawan lainnya semakin menatapnya heran. Mereka bahkan menganggap bahwa Vira sedang kesetanan atau sudah tidak waras."Mentang-mentang dia itu orang kaya, bukan berarti dia bisa merendahkan dan menginjak-injak harga diriku!" ucap Vira dengan geram."Dasar wanita aneh!" cibir seorang karyawan."Sepertinya dia memang benar-benar sudah tidak waras," ucap seorang lagi sambil menatap Vira dengan tatapan tidak suka.Vira masih tidak menghiraukannya, dia berpura-pura tuli. Dan sambil menahan kekesalannya, Vira merapikan segala sesuatu yang ada di meja kerjanya. Dia mengambil tasnya dan tanpa berkata apapun dia langsung melangkah pergi meninggalkan tempat itu.Vira masuk ke dalam lift untuk turun ke loby, dia benar-benar ingin segera pergi meninggalkan perusahaan itu. Vira merasa sudah tidak tahan lagi menghirup udara yang membuat dadanya terasa sesak.Di loby, Vira bertemu dengan seorang wanita yang merupakan sahabatnya. Wanita yang baru saja datang dari kantin, wanita bernama Ana itu tampak dibuat terheran-heran melihat penampilan Vira.Ana segera menghampiri sahabatnya itu untuk bertanya hendak kemana dia kali ini? Bukankah jam makan siang sudah berakhir?"Vira!" Panggilan dari wanita itu mampu menghentikan langkah Vira.Semarah-marahnya Vira, dia tidak akan mampu mengabaikan sahabatnya itu karena Ana adalah orang yang selama ini paling paham dengan situasi yang Vira alami. Hubungan mereka pun bukan hanya sekedar sahabat, tetapi sudah seperti saudaranya sendiri.Sambil berlari kecil, Ana menghampiri Vira."Vira, kamu mau kemana?" tanya Ana."Aku harus pergi," jawab Vira terdengar ketus. Dia sendiri juga tidak bisa menyembunyikan rasa dongkol di hatinya akibat ulah dari atasannya itu."Pergi? Pergi kemana? Ini sudah lewat jam makan siang, bagaimana jika kamu dipecat karena melanggar peraturan?" tanya Ana.Yah, perusahaan besar tentu memiliki peraturan yang ketat pula didalamnya. Dan barang siapa yang melanggar, maka harus siap-siap untuk angkat kaki dari perusahaan ini."Hahaha...!" Vira tertawa sambil menatap ke atas. Entah apa yang dia tertawakan? Mungkin itu adalah dirinya sendiri."Biarkan saja, lagi pula aku memang akan segera di pecat," sahut Vira dengan begitu enteng dan terdengar acuh, seolah dia sudah benar-benar pasrah dengan nasib pekerjaannya.Bagaimana tidak? Memangnya siapa yang akan mengampuni karyawan yang dengan begitu berani menampar seorang CEO ditempatnya bekerja.Ana tidak mengerti dengan arah pembicaraan Vira, semakin bingung dibuatnya. Namun, satu hal yang ia tahu pasti bahwa sahabatnya ini sedang berada di ambang kesulitan."Vira, apa yang sebenarnya terjadi? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Ana dengan suara lirih, seraya memegang pundak Vira.Ana menatap Vira dengan sendu, begitu pula sebaliknya. Tatapan Vira benar-benar menunjukkan bahwa dia sedang berada dalam masalah."Ana, maaf aku belum bisa cerita denganmu, untuk saat ini aku perlu waktu untuk sendiri," ucap Vira."Baiklah, kalau memang begitu aku tidak akan memaksamu untuk bercerita saat ini. Tapi jika kamu membutuhkan teman untuk berbagi maka jangan segan untuk datang kepadaku," sahut Ana.Dari sekian banyak orang, hanya Ana yang tau seberapa berat kehidupan yang telah dilalui Vira selama ini.Vira memeluk Ana sejenak, kemudian melepaskannya."Aku pergi dulu," ujar Vira sebelum ia melangkahkan kakinya keluar dari gedung tersebut. Sementara Ana hanya menatap nanar punggung perempuan yang kian menjauh dari pandangannya.Vira berdiri di tepi jalan raya menunggu mobil taksi yang lewat. Namun entah kenapa sejauh mata memandang, tidak ada satu pun taxi yang lewat di jalanan. Bahkan untuk mencari sebuah taxi saja susahnya minta ampun.Akhirnya Vira memutuskan untuk berjalan kaki saja. Agaknya alam sedikit berpihak kepadanya, karena untung saja cuaca hari ini tidak terlalu terik setelah tadi pagi turun hujan. Jika tidak, sudah bisa dipastikan betapa terbakarnya kulit Vira akibat teriknya sinar matahari.Gadis berambut panjang dengan postur tubuh semampai itu terus berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas, dia hanya mengikuti kemana kakinya ingin melangkah.--Pria paruh baya itu melangkah mantap ke tengah ruangan, sorot matanya tajam menyapu setiap sudut hingga membuat suasana terasa kian menegangkan. Para pegawai sontak terdiam, tak ada yang berani bersuara. Vira yang berdiri paling ujung hanya bisa menatap penuh tanya, siapa sebenarnya orang ini hingga semua orang begitu menghormatinya?Vira menelan ludah, ia tak tahan lagi untuk berbisik pada Ana, "Siapa dia, Na?"Ana meliriknya sekilas, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Vira. "Itu… Ayahnya Pak Nathan, namanya Pak Bramantyo!"Dengan suara berat namun penuh wibawa, pria paruh baya itu akhirnya membuka mulutnya, "Apa Nathan ada di ruangannya?" tanyanya. Ana yang berdiri di samping Vira buru-buru menyikut pelan lengannya, memberi isyarat agar ia segera maju. Bagaimanapun juga, Vira adalah asisten pribadi Nathan jadi sudah sepatutnya dialah yang harus berurusan langsung dengan pria penting itu.Mau tak mau, Vira melangkah mendekat, menundukkan sedikit tubuhnya sebagai bentuk hormat. "S
Makan malam akhirnya usai, menyisakan meja yang dipenuhi piring dan gelas kotor. Namun, alih-alih beranjak, Nathan masih bersandar santai di kursinya, matanya tak lepas dari sosok Vira di seberangnya. "Vira," suaranya dalam, membuat wanita itu menoleh dengan bingung. "Ada sesuatu di sudut bibirmu!" ucap Nathan sambil menunjuk dengan telunjuknya. Refleks Vira menyeka dengan punggung tangannya. "Sudah belum?" tanyanya polos.Nathan menggeleng, sudut bibirnya terangkat tipis. "Bukan di situ… di sebelah kanan!"Dengan kikuk, Vira mencoba lagi, menggunakan ujung jarinya. "Sekarang?" tanyanya, semakin salah arah.Nathan mendesah pendek, matanya menyipit antara kesal dan geli. "Bukan di situ. Kau justru membuatnya semakin berantakan!" Wajah Vira memanas, ia kembali menyeka dengan buru-buru. "Dimana sebenarnya? Ini tidak ada kok!" ucapnya sedikit jengkel.Nathan hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari kursinya. "Sudahlah…" gumamnya pelan.Tanpa banyak kata, ia melangkah
Nathan menarik napas dalam, membiarkan jarak di antara mereka terasa lebih intim. Matanya menatap Vira, seolah ingin menembus setiap perasaan yang tersembunyi di balik tatapannya.Vira masih meringkuk di sudut sofa, jantungnya berdegup kencang, campuran rasa gugup dan hangat yang tiba-tiba membanjiri dadanya. Ia tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menatap Nathan dengan mata yang sedikit membelalak.Vira menunduk, bibirnya bergetar sedikit. "Nathan…" ucapnya dengan suara lirih, nyaris tersedak. "A-apa… kau tidak lapar?" Lanjutnya terbata. Nathan tersenyum tipis, matanya berkilat nakal. "Tentu saja aku sangat lapar… sampai aku ingin memakanmu sekarang juga!" jawabnya sambil menyeringai, nada bercandanya berhasil membuat wajah Vira memerah hebat. Vira terdiam sejenak, menelan ludah dan menundukkan wajahnya. Jantungnya berdetak lebih kencang, antara kesal dan malu. "Bu-bukan itu maksudku… hmmpptthh…" ucapnya terbata, wajahnya memerah hebat.Namun sebelum kata-katanya tuntas, Natha
Kini hidangan yang ia olah dengan sepenuh hati, tersusun rapi di atas meja makan. Vira duduk di kursinya, menyendok nasi lalu menambahkan lauk ke piringnya. Perutnya pun mulai keroncongan, membuatnya benar-benar ingin segera menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Namun saat sendok nyaris menyentuh mulutnya, sebuah kalimat Nathan kembali terlintas di kepalanya, "Aku tidak suka makan sendirian." Vira terdiam. Tangannya yang memegang sendok refleks terhenti di udara. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di seberangnya, kursi yang semestinya terisi oleh Nathan. Seketika rasa lapar itu sirna, digantikan dengan perasaan hampa. Entah mengapa, ia merasa tidak tega menghabiskan makanan itu sendirian. Seolah Nathan benar-benar hadir di antara ingatannya, menahannya untuk tidak menikmati makan malam itu tanpa dirinya. Dengan helaan napas panjang, Vira meletakkan kembali sendoknya di atas piringnya. Ia hanya duduk memandangi meja, membiarkan makanan tetap utuh, sembari berharap pintu apartemen i
Keheningan di antara mereka tak berlangsung lama. Nathan menarik napas dalam, seolah tengah menimbang sesuatu yang berat. Dia tidak mengerti kenapa dirinya harus semarah itu. Namun jujur saja, Nathan merasa tidak terima jika ada pria lain yang menyentuh Vira.Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan gejolak yang mendesak keluar."Sekarang aku ingin kau... memberikan identitas orang itu padaku!" ucapnya penuh penekanan. "Untuk apa, Pak?" tanya Vira lirih. "Vira! Jangan membantah. Lakukan saja apa yang kukatakan. Sekarang, berikan identitas pria itu padaku!" suara Nathan meninggi, tegas dan penuh tekanan."B-baik, Pak…" ucap Vira terbata. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya. Air matanya masih mengalir, membasahi pipinya saat ia menggulir layar, mencari nama yang paling ingin ia hapus dari hidupnya. Beberapa detik kemudian, data itu terkirim."Aku… sudah mengirimkannya, Pak!" ucapnya pelan, seolah melepaskan beban berat dari dadanya.Nathan segera menunduk pada layar ponselnya.
Langkah Nathan dan Vira langsung terhenti. Nathan menoleh perlahan, rahangnya mengeras saat melihat Andi masih berdiri di tempat yang sama. "Kau masih belum tahu diri rupanya," ucap Nathan pelan, namun penuh penekanan. Andi maju selangkah, sorot matanya liar. "Kau tidak bisa membawanya pergi begitu saja!" seru Andi."Aku belum selesai berurusan dengannya!"Nathan mendorong Vira perlahan ke belakang tubuhnya, seolah menjadi tameng. Tatapannya tajam menantang."Kau sudah selesai sejak kau memilih mengkhianatinya!"Andi mendengus."Dia milikku!""Dia bukan milikmu lagi! Sekarang, dia bersamaku. Kau tak punya hak sedikit pun untuk menahannya," ucap Nathan tegas. "Pak, tenang saja. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar. Setelah itu, akan ku kembalikan lagi padamu," ucap Andi dengan nada seenaknya."Lagi pula... wanita seperti dia, bukankah kita bisa berbagi?"Deg!Mata Vira membelalak. Berbagi?Apa dia pikir dirinya itu barang? Yang bisa dipinjam dan dikembalikan sesuka hati? Hatinya be







