Sabtu sore, jalanan Malang lebih padat daripada hari-hari biasa. Kota dingin itu menjadi tujuan wisata akhir minggu oleh orang-orang dari luar kota Malang. Caca sedang terjebak di lampu merah di daerah Dinoyo selama lebih dari satu setengah jam. Walau begitu, Caca tidak mengeluh. Sensasi kupu-kupu yang menggelitik perutnya terlalu menyenangkan. Kemacetan itu tidak berarti baginya.
Caca menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Indra. Perbincangannya dengan Jasmine tempo hari membuatnya sadar, hatinya sudah menjadi milik Indra. Untuk pertama kalinya dalam tujuh belas atau delapan belas tahun terakhir, Caca merasakan indahnya jatuh cinta.
Caca tersenyum-senyum sendiri. Berkali-kali Caca menoleh pada cermin tengah mengaca, membenarkan rambutnya, melihat pipinya yang bersemu merah. Mobil-mobil yang ada di sekililingnya seolah-olah kumpulan binatang kesukaanya, panda. Caca tidak berada di tengah kemacetan, tapi berada di hamparan hutan belantara bambu yang sejuk. Warna jingga matahari membuat hatinya semakin berseri-seri.
Tiba-tiba ada keinginan Caca untuk menghidupkan radio. Begitu radio itu menyala, sebuah lagu yang sudah dia kenal terdengar, “Somewhere Only We Know” dari band Inggris, Keane. Sebuah lagu dengan nada-nada piano yang khas.
Tangan Caca mengetuki setir mobil seirama dengan nada-nada yang keluar dari radionya. Kepalanya mengangguk-angguk seraya mulutnya menyanyikan lirik lagu tersebut.
Salah satu liriknya berbunyi, “I am getting old and I need something to rely on.” Kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia kira-kira seperti, “Aku semakin tua dan aku butuh sesuatu yang bisa ku percaya.” Saat menyanyikan bagian itu, tubuh Caca merinding. Air mata menetes di pipinya. Caca benar-benar mengharapkan Indra di dalam hidupnya.
“Somewhere only we know.”
“Suatu tempat yang hanya kita yang tahu.”
Caca membayangkan menjalin hubungan dengan Indra dan mempunyai satu tempat spesial yang hanya mereka berdua yang tahu.
Caca berkata pada dirinya sendiri, “Memang benar kata orang-orang itu. Ketika seseorang sedang jatuh cinta, semua lagu terdengar sangat masuk akal.”
Lagu ini memang sangat masuk akal bagi Caca. Suatu tempat itu adalah tujuan Caca. Suatu tempat itu adalah Indra.
Si kupu-kupu masih terbang berseliweran menggelitik di perut Caca. Sensasi aneh seperti sakit perut ingin buang air besar menusuk-nusuk. Terlebih lagi jantungnya berdetak lebih keras dan cepat daripada biasanya.
Alhasil karena macet tersebut, perjalanan dari kampus ke rumah, yang biasanya hanya memakan waktu tak lebih dari setengah jam, molor menjadi dua jam lebih.
Caca masuk rumah tatkala adzan Isya’ berkumandang.
Tatkala memarkirkan Toyota New Corolla Altis hitam miliknya, Caca tidak melihat mobil Papanya, Land Cruiser putih, di parkiran. Ada yang mengganjal di hatinya, namun dia abaikan perasaan tersebut. Caca hanya berpikir bahwa Papanya pergi ke majelis ilmu dengan membawa mobilnya, walaupun itu tidak mungkin. Perasaan aneh semakin mendera saat dirinya masuk ke dalam rumah. Rumah yang berada di kawasan perumahan elit Ijen Nirwana Malang itu dalam keadaan sepi.
Sepi yang tidak masuk akal pikir Caca.
Biasanya, semua orang sedang berkumpul di ruang makan, ruang favorit. Apalagi malam minggu seperti ini, Mama pasti sedang duduk di meja makan itu sembari berbincang dengan Mbah ataupun Mbak Sri. Namun, tidak ada orang di ruang makan. Kursi-kursi itu berjajar rapi mengelilingi meja.
Caca penasaran, kemana semua orang rumah pergi.
Caca langsung bergegas ke gazebo belakang. Hanya ada beberapa helai daun bambu hias tergeletak di lantai gazebo itu tanpa ada orang juga disana. Meja di gazebo itu terlihat sangat bersih. Kaca yang menutupi meja tersebut sama sekali tidak bernoda.
Karena tidak menemukan petunjuk apapun, Caca kembali berjalan ke rumah.
“Mbak… Mbak…” teriak Caca ketika memasuki rumah. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Mbak Sri, si asisten rumah tangga.
Tidak ada jawaban dari Mbak Sri.
Dia mengeluarkan ponselnya, mencoba mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan masuk.
Nihil.
Jantung Caca berdegup kencang. Dia mulai khawatir.
Caca memutuskan untuk mencari ke sekeliling rumah. Caca berkeliling di lantai satu. Tidak ada batang hidung Mbak Sri atau siapapun. Akhirnya, Caca memutuskan untuk melihat ke kamar Mbak Sri yang ada di bagian samping rumah. Setelah mengetuk pintu kamar itu berkali-kali dan tidak ada jawabn, Caca memutuskan kalau Mbak Sri tidak ada di kamarnya.
Caca semakin panik. Caca berlari ke lantai atas, ke kamarnya. Tak disangka, akhirnya, Caca bertemu Mbak Sri di lantai atas.
“Mbak, kok sepi semua orang kemana?”
“Eh… Eh…. Semua orang sedang keluar.”
“Keluar kemana? Semuanya?”
“Eh… Anu.. Anu…”
Caca menangakap ada yang tidak beres, “Ada apa Mbak? Ada musibah?”
“Nggak Mbak.. Saya tidak tahu keluar kemana. Papa, Mama, sama Ndoro Ning keluar bertiga tadi.”
Caca menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Mbak Sri selalu tegas dan lugas. Lagipula, tidak biasanya Papa dan Mama keluar bersama Mbah. Kecuali, ada keadaan darurat.
“Mbak, ada apa?” desak Caca.
“Mohon maaf Mbak Ca, saya nggak bisa ngomong.”
“Maksudnya?”
Mbak Sri semakin salah tingkah.
“Mbak, Mbah kenapa? Atau Mama?”
Mbak Sri tetap diam. Caca mengeluarkan ponselnya. Dia menelepon Mama. Setelah berdering beberapa kali, sambungan telepon itu tidak diangkat. Caca mencoba menelepon Papa.
Mbak Sri ingin memanfaatkan situasi ketika Caca sibuk dengan ponsel untuk lari. Caca berhasil menangkap tangan Mbak Sri dan menahan agar tetap di tempat.
Hasilnya sama saja. Papa tidak mengangkat teleponnya.
Perutnya terasa aneh sekarang. Kupu-kupu yang tadi menggelitiki sekarang hilang. Rasa ingin buang air besar kini lebih kuat daripada sebelumnya. Kening Caca terasa panas. Keringat mulai bermunculan di dahinya.
“Mbak Sri, ada apa?” suara Caca meninggi.
Mbak Sri masih terdiam. Dia celingak-celinguk. Seperti maling yang tertangkap basah.
Caca teringat Ratu. Dia mencoba menelepon Ratu. Tetapi, hasilnya tetap sama saja, Ratu tidak mengangkat teleponnya.
Jantung Caca berdetak lebih kencang. Kali ini, matanya melotot melihat layar ponselnya. Keringat mulai menetes membasahi pipi. Tangannya menggaruk kulit kepala dan rambutnya.
“Mbak, ada apa? Papa kenapa? Mama kenapa? Mbah kenapa?”
Caca memasukkan ponselnya ke dalam saku blazernya. Dengan kedua tangannya, dia memegang lengan Mbak Sri dan mulai menggoyang-goyangkan tubuh Mbak Sri. Tubuh Mbak Sri yang lebih pendek tetapi lebih berisi berguncang. Mata Caca merah menatap mata Mbak Sri.
“Iya.. Iya Mbak Caca.. Papa, Mama, dan Ndoro Ning keluar untuk bertemu dengan orang tuanya Mas Zul.”
Caca tertegun. “Ada apa memangnya? Ratu kenapa dengan Zul? Kenapa mereka berdua? Mereka …”
Tenggorokan Caca tercekat, menyusut, dan kering. Mulutnya menganga menyadari sesuatu. Perut Caca meronta semakin kuat. Hasrat ingin buang air besar semakin tidak tertahankan. Nafasnya terhenti untuk sesaat. Dadanya terasa sesak, seolah-olah seluruh udara telah meninggalkan paru-parunya menjadi kosong dan hampa. Caca kesulitan untuk bernafas. Rasa dingin yang aneh menyelimuti dirinya.
“Mereka lamaran?”
Mbak Sri mengangguk perlahan.
“Makasih Mbak.” Caca membalikkan badannya dan langsung masuk ke kamarnya.
Hati Caca terasa remuk.
Tanpa berganti baju, Caca langsung telungkup di atas kasurnya. Dunianya seolah-olah berhenti berputar. Detik jam yang biasanya terdengar, sepertinya ikut-ikutan berhenti berdetak. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya terasa berlubang dan hancur. Tangan Caca menempel di dadanya. Caca berusaha meredakan rasa sakit, hancur, dan perih di dadanya dengan terus memegangi dadanya. Tak puas hanya dengan memegangi dadanya, Caca memukul-mukul kasurnya dengan keras. Caca mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul. Setelah beberapa pukulan tak bersuara dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan di kasur, Caca kelelahan dan berhenti memukuli. Tangisan Caca meledak. Air mata menetes dengan deras. Hidungnya berair mengucur. Tubuhnya berguncang di atas kasurnya, bergerak naik turun tak berirama. Caca tidak dapat memutuskan mana yang lebih sakit. Pikirannya buntu tidak dapat memilih dan memilah mana yang lebih menyakitkan diantara dua fakta yang dia ketahui. Apakah Ratu yang dilamar Zul, yan
Caca mematung di kursinya. Suara Papa menggelegar seperti petir menghantam tubuhnya. Dengan mulut menganga lebar, tangan Caca menunjuk ke dadanya. Caca melihat ke arah Mama. Mama tidak menunjukkan ekspresi apapun. Caca menoleh ke arah Mbah. Mbah mengangguk seolah menyetujui rencana Papa. Papa masih menatapnya dengan pandangan serius. Mulut Papa menganga seolah ingin berkata lebih lanjut ketika Mbah memotong Papa terlebih dahulu. “Ca, sebenarnya ini adalah ide Mbah. Mbah cuma mikirin kamu. Mbah sayang sama kamu. Di rumah ini hanya Mbah yang memikirkan kamu, yang peduli dengan kamu. Kamu ingat kemarin Mbah ke dokter Satrio?” Caca mengangguk enteng, tidak mengerti. “Dokter Satrio itu ternyata adalah cucu dari teman Nenek.” Caca semakin tidak paham dengan arah pembicaraan ini. “Terus?” sahut Caca tidak sabar. “Ya…” jawab Mama, “Kami mau mengenalkan kamu dengan dokter Satrio itu.” “Jadi aku mau dijodohkan dengan dokter Satrio itu?” Caca melotot tidak percaya. Mbah tersenyum mengan
Pikiran Caca berjalan. Secara rasional, Satrio ini adalah orang yang paling cocok dengannya. Satrio memenuhi segala kriteria yang diharapkannya. Tetapi hatinya membantah hal tersebut. Hatinya mengatakan bahwa yang Caca harapkan adalah Indra, bukan Satrio. Pikirannya menyahut apakah Indra juga mempunyai rasa yang sama dengan dirinya. Kalaupun ada rasa yang sama, lalu apa kata orang kalau dia menikahi mahasiswanya sendiri yang jauh lebih muda dan ada di bawahnya? Terlebih lagi, dia adalah seorang pejabat penting di kampus. “Ca, bukannya Mama mau mendikte kamu. Tapi menurut Mama, dokter Satrio ini adalah calon yang terbaik untuk kamu. Mama memang belum mengenal dia secara utuh dan Mama baru bertemu dokter Satrio itu dua kali. Tapi dari dua kali pertemuan itu, Mama bisa menyimpulkan kalau dokter Satrio itu adalah orang yang baik. Mama juga yakin, kalau dokter Satrio itu cocok menjadi suamimu.” Suara Mama lebih tenang sekarang. Caca mengernyitkan dahinya, ada kata-kata yang mencurigakan
Hari selasa kemarin. Satrio menutup Qur’annya ketika jam sudah menunjuk pukul lima lewat tiga puluh. Dia bersiap mandi dan berangkat. Hari selasa adalah hari yang sibuk baginya. Dia harus bekerja di tiga tempat, praktek bersama, rumah sakit swasta, dan rumah sakit umum milik pemerintah. Jam enam dia sudah siap untuk berangkat ke tempat pertama, tempat praktek bersama. Tetapi sebelum itu, dia mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan masuk. Namun, tidak ada pesan baru. Matanya terpaku pada pesan yang terletak di paling atas. Pesan ungkapan terima kasih dari seorang dokter residen yang dia bela kemarin. “Bagaimana bisa seseorang bangga pada hal yang absurd dan menganggap orang yang tidak berasal dari golongan yang sama lebih rendah derajatnya?” tanya Satrio pada dirinya sendiri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Jam sembilan kurang lima belas, pasien terakhir di tempat prakteknya bernama Sukarminingsih, perempuan, berusia tujuh puluh delapan tahun. Pasien terakhir ini
“Omong kosong, kamu bukan seorang lelaki yang bisa dianggap remeh oleh seorang perempuan. Kekurangan apa yang kamu maksud?” “Aku yang terlalu bekerja keras, terlalu memperhatikan pasien-pasienku hingga mengesampingkan keluargaku sendiri.” “Kamu itu seharusnya sudah bisa memaafkan dirimu sendiri. Mamamu meninggal bukan karena kamu. Mama kamu meninggal karena depresi ditinggal Papamu. Berapa kali Kakek harus bilang? Tidak ada bedanya meskipun kamu saat itu ada disini.” Kakeknya berjalan ke belakang, ke arah dapur. Beliau kembali dengan membawa dua gelas besar es teh dan memberikan salah satu gelas ke Satrio. Setelah meminum es tehnya, Kakek melanjutkan perkataanya, “Kamu tidak bisa terus menerus seperti ini Sat. Apakah kamu pikir, dengan terus menerus menghukum diri kamu, Mamamu akan kembali hidup? Mau sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu tidak ingat apa yang kamu rasakan kemari ketika terinfeksi Corona?” Kakeknya berkacak pinggang. “Malam minggu, kita berdua akan bertemu d
Caca masih di kasurnya, tidak bergerak dengan mata yang masih mengantuk menatap langit-langit. Perutnya terasa aneh. Rasa buang air besar semalam masih terasa. Tidak ada yang keluar meskipun dia sudah mencoba, hanya kesemutan merajalela. Jam yang berdetik di dinding menunjukkan pukul enam. Hanya ada rasa enggan beranjak dari kasurnya menggelayut. Dia ingin bumi membuka, menelannya hidup-hidup tanpa ada kemungkinan untuk kembali lagi. Bukan, Caca bukan ingin mati. Caca masih ingin hidup. Nasi pecel dan lalapan masih sayang untuk ditinggalkan, apalagi rawon. Caca hanya malu dan tidak ingin bertemu dengan siapapun, termasuk dengan Satrio nanti. Biasanya pada minggu pagi seperti ini, Caca akan berada di dapur. Karena dia tidak bisa memasak, maka dia akan membantu Mama dan Mbak Sri memasak. Caca yang bertanggung jawab untuk mencuci semua perkakas memasak dan sarapan. Caca bukannya tidak mau belajar masak. Caca sudah belajar masak, tetapi seberapa keras Caca berusaha, hasil masakannya ti
Satrio menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Dia tidak melihat ke wajah ataupun mata Caca ketika mengenalkan dirinya. Satrio terus menundukkan pandangannya, tidak berani memandang Caca. Untuk beberapa saat Caca tidak mengerti kenapa Satrio tidak berani menatapnya. Tetapi dalam sekejap pula, Caca paham kenapa Satrio tidak berani menatap dan hanya menundukkan pandangannya. Dari sikap Satrio itu, Caca bisa menyimpulkan bahwa Satrio adalah seseorang yang religius dan memegang teguh syariat-syariat agama di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk beberapa saat itu juga, Caca merasa terbanting dan merasa malu. Caca tahu hukum agama tetapi jarang mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Caca hanya melakukan syariat-syariat yang bersifat wajib seperti sholat, puasa, dan zakat. Caca masih berat untuk melakukan hal-hal selain itu, termasuk memakai jilbab, meskipunan Papanya juga sudah berkali-kali mengingatkan dan mengatakan kewajiban berjilbab bagi perempuan dewasa adalah wajib dan sa
Senin pagi itu terasa berat sekali. Mendung petang menggelayut di cakrawala ketika dia melihat keluar jendela. Tak ada niatan Caca beranjak dari kasurnya. Dadanya sesak. Meski sudah menghela nafas kuat-kuat berkali-kali, beban itu tak mau pergi. Satu hal yang berkesan dari pertemuan dengan Satrio kemarin adalah Caca bisa menangkap betapa seriusnya Satrio untuk memperistri dirinya. Berbeda dengan pengalamannya ketika bertemu dengan seseorang yang mengenalnya lewat aplikasi kencan itu. Perbedaan jelas adalah ketika Satrio sama sekali tidak menatap wajahnya, sedangkan lelaki aplikasi itu selalu memandanginya. Sebegitu buruknya kesan yang dibuat lelaki aplikasi itu sampai Caca tidak mau mengingat namanya dan hanya memanggilnya lelaki aplikasi. Caca sampai merasa risih karena terus dipandangi. Caca merasa ditelanjangi karena lelaki itu terus menerus melihat ke arah dadanya. Terlebih lagi jawaban-jawaban Satrio atas semua pertanyaan Caca terdengar masuk akal dan terdengar meyakinkan. Satr