Share

Bencana Bagi Caca

last update Last Updated: 2022-10-18 16:21:36

Sabtu sore, jalanan Malang lebih padat daripada hari-hari biasa. Kota dingin itu menjadi tujuan wisata akhir minggu oleh orang-orang dari luar kota Malang. Caca sedang terjebak di lampu merah di daerah Dinoyo selama lebih dari satu setengah jam. Walau begitu, Caca tidak mengeluh. Sensasi kupu-kupu yang menggelitik perutnya terlalu menyenangkan. Kemacetan itu tidak berarti baginya.

Caca menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Indra. Perbincangannya dengan Jasmine tempo hari membuatnya sadar, hatinya sudah menjadi milik Indra. Untuk pertama kalinya dalam tujuh belas atau delapan belas tahun terakhir, Caca merasakan indahnya jatuh cinta.

Caca tersenyum-senyum sendiri. Berkali-kali Caca menoleh pada cermin tengah mengaca, membenarkan rambutnya, melihat pipinya yang bersemu merah. Mobil-mobil yang ada di sekililingnya seolah-olah kumpulan binatang kesukaanya, panda. Caca tidak berada di tengah kemacetan, tapi berada di hamparan hutan belantara bambu yang sejuk. Warna jingga matahari membuat hatinya semakin berseri-seri.

Tiba-tiba ada keinginan Caca untuk menghidupkan radio. Begitu radio itu menyala, sebuah lagu yang sudah dia kenal terdengar, “Somewhere Only We Know” dari band Inggris, Keane. Sebuah lagu dengan nada-nada piano yang khas.

Tangan Caca mengetuki setir mobil seirama dengan nada-nada yang keluar dari radionya. Kepalanya mengangguk-angguk seraya mulutnya menyanyikan lirik lagu tersebut. 

Salah satu liriknya berbunyi, “I am getting old and I need something to rely on.” Kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia kira-kira seperti, “Aku semakin tua dan aku butuh sesuatu yang bisa ku percaya.” Saat menyanyikan bagian itu, tubuh Caca merinding. Air mata menetes di pipinya. Caca benar-benar mengharapkan Indra di dalam hidupnya. 

Somewhere only we know.”

“Suatu tempat yang hanya kita yang tahu.”

Caca membayangkan menjalin hubungan dengan Indra dan mempunyai satu tempat spesial yang hanya mereka berdua yang tahu. 

Caca berkata pada dirinya sendiri, “Memang benar kata orang-orang itu. Ketika seseorang sedang jatuh cinta, semua lagu terdengar sangat masuk akal.”

Lagu ini memang sangat masuk akal bagi Caca. Suatu tempat itu adalah tujuan Caca. Suatu tempat itu adalah Indra. 

Si kupu-kupu masih terbang berseliweran menggelitik di perut Caca. Sensasi aneh seperti sakit perut ingin buang air besar menusuk-nusuk. Terlebih lagi jantungnya berdetak lebih keras dan cepat daripada biasanya. 

Alhasil karena macet tersebut, perjalanan dari kampus ke rumah, yang biasanya hanya memakan waktu tak lebih dari setengah jam, molor menjadi dua jam lebih. 

Caca masuk rumah tatkala adzan Isya’ berkumandang. 

Tatkala memarkirkan Toyota New Corolla Altis hitam miliknya, Caca tidak melihat mobil Papanya, Land Cruiser putih, di parkiran. Ada yang mengganjal di hatinya, namun dia abaikan perasaan tersebut. Caca hanya berpikir bahwa Papanya pergi ke majelis ilmu dengan membawa mobilnya, walaupun itu tidak mungkin. Perasaan aneh semakin mendera saat dirinya masuk ke dalam rumah. Rumah yang berada di kawasan perumahan elit Ijen Nirwana Malang itu dalam keadaan sepi. 

Sepi yang tidak masuk akal pikir Caca. 

Biasanya, semua orang sedang berkumpul di ruang makan, ruang favorit. Apalagi malam minggu seperti ini, Mama pasti sedang duduk di meja makan itu sembari berbincang dengan Mbah ataupun Mbak Sri. Namun, tidak ada orang di ruang makan. Kursi-kursi itu berjajar rapi mengelilingi meja.

Caca penasaran, kemana semua orang rumah pergi.

Caca langsung bergegas ke gazebo belakang. Hanya ada beberapa helai daun bambu hias tergeletak di lantai gazebo itu tanpa ada orang juga disana. Meja di gazebo itu terlihat sangat bersih. Kaca yang menutupi meja tersebut sama sekali tidak bernoda.

Karena tidak menemukan petunjuk apapun, Caca kembali berjalan ke rumah. 

“Mbak… Mbak…” teriak Caca ketika memasuki rumah. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Mbak Sri, si asisten rumah tangga.

Tidak ada jawaban dari Mbak Sri. 

Dia mengeluarkan ponselnya, mencoba mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan masuk.

Nihil.

Jantung Caca berdegup kencang. Dia mulai khawatir. 

Caca memutuskan untuk mencari ke sekeliling rumah. Caca berkeliling di lantai satu. Tidak ada batang hidung Mbak Sri atau siapapun. Akhirnya, Caca memutuskan untuk melihat ke kamar Mbak Sri yang ada di bagian samping rumah. Setelah mengetuk pintu kamar itu berkali-kali dan tidak ada jawabn, Caca memutuskan kalau Mbak Sri tidak ada di kamarnya. 

Caca semakin panik. Caca berlari ke lantai atas, ke kamarnya. Tak disangka, akhirnya, Caca bertemu Mbak Sri di lantai atas. 

“Mbak, kok sepi semua orang kemana?”

“Eh… Eh…. Semua orang sedang keluar.”

“Keluar kemana? Semuanya?”

“Eh… Anu.. Anu…”

Caca menangakap ada yang tidak beres, “Ada apa Mbak? Ada musibah?”

“Nggak Mbak.. Saya tidak tahu keluar kemana. Papa, Mama, sama Ndoro Ning keluar bertiga tadi.”

Caca menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Mbak Sri selalu tegas dan lugas. Lagipula, tidak biasanya Papa dan Mama keluar bersama Mbah. Kecuali, ada keadaan darurat.

“Mbak, ada apa?” desak Caca. 

“Mohon maaf Mbak Ca, saya nggak bisa ngomong.”

“Maksudnya?”

Mbak Sri semakin salah tingkah.

“Mbak, Mbah kenapa? Atau Mama?”

Mbak Sri tetap diam. Caca mengeluarkan ponselnya. Dia menelepon Mama. Setelah berdering beberapa kali, sambungan telepon itu tidak diangkat. Caca mencoba menelepon Papa. 

Mbak Sri ingin memanfaatkan situasi ketika Caca sibuk dengan ponsel untuk lari. Caca berhasil menangkap tangan Mbak Sri dan menahan agar tetap di tempat. 

Hasilnya sama saja. Papa tidak mengangkat teleponnya. 

Perutnya terasa aneh sekarang. Kupu-kupu yang tadi menggelitiki sekarang hilang. Rasa ingin buang air besar kini lebih kuat daripada sebelumnya. Kening Caca terasa panas. Keringat mulai bermunculan di dahinya. 

“Mbak Sri, ada apa?” suara Caca meninggi.

Mbak Sri masih terdiam. Dia celingak-celinguk. Seperti maling yang tertangkap basah. 

Caca teringat Ratu. Dia mencoba menelepon Ratu. Tetapi, hasilnya tetap sama saja, Ratu tidak mengangkat teleponnya. 

Jantung Caca berdetak lebih kencang. Kali ini, matanya melotot melihat layar ponselnya. Keringat mulai menetes membasahi pipi. Tangannya menggaruk kulit kepala dan rambutnya.

“Mbak, ada apa? Papa kenapa? Mama kenapa? Mbah kenapa?”

Caca memasukkan ponselnya ke dalam saku blazernya. Dengan kedua tangannya, dia memegang lengan Mbak Sri dan mulai menggoyang-goyangkan tubuh Mbak Sri. Tubuh Mbak Sri yang lebih pendek tetapi lebih berisi berguncang. Mata Caca merah menatap mata Mbak Sri.

“Iya.. Iya Mbak Caca.. Papa, Mama, dan Ndoro Ning keluar untuk bertemu dengan orang tuanya Mas Zul.”

Caca tertegun. “Ada apa memangnya? Ratu kenapa dengan Zul? Kenapa mereka berdua? Mereka …”

Tenggorokan Caca tercekat, menyusut, dan kering. Mulutnya menganga menyadari sesuatu. Perut Caca meronta semakin kuat. Hasrat ingin buang air besar semakin tidak tertahankan. Nafasnya terhenti untuk sesaat. Dadanya terasa sesak, seolah-olah seluruh udara telah meninggalkan paru-parunya menjadi kosong dan hampa. Caca kesulitan untuk bernafas. Rasa dingin yang aneh menyelimuti dirinya.

“Mereka lamaran?”

Mbak Sri mengangguk perlahan.

“Makasih Mbak.” Caca membalikkan badannya dan langsung masuk ke kamarnya.

Hati Caca terasa remuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Penolakan Caca

    “Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”Nada Caca ter

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Tuntutan Satrio Pada Caca

    Awal bulan Desember, kebahagiaan Caca terus menerus menyumber.Caca merasakan energi yang dahsyat setiap harinya. Caca merasakan semangat yang membakar dan membara di dalam tubuhnya. Semangat itu memberinya energi yang luar biasa. Bisa saja dengan energi dan adrenalin yang meluap-luap tersebut, Caca mampu mewujudkan perdamaian dunia sekaligus mengatasi kelaparan di negara dunia ketiga.Tiada hari tanpa senyuman tersungging di bibirnya. Semua yang Caca idamkan akan terwujud dalam waktu dekat. Caca akan menikah bulan depan, Ratu tidak jadi melangkahinya. Caca juga berhasil menjalankan program kerjanya di kampus dengan berhasil mewujudkan program pertukaran doktor ke Australian National University, yang juga akan terwujud bulan depan setelah pernikahannya. Semua sudah siap, tinggal berangkat.Kerja keras yang akan terbayar lunas.Caca juga sudah melupakan permasalahannya dengan Indra. Mau bagaimanapun juga, apa yang difitnahkan Indra kepadanya terbu

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Ada Yang Tidak Beres Dengan Satrio

    “Mbah, kok merokok disini? Nanti kalau aku bau rokok bagaimana?” protes Caca.Mbah tidak bergeming atas protes Caca. Bahkan, Mbah menghisap kuat-kuat rokok kreteknya dan mengeluarkan asapnya yang mengepul ke atas.Caca mengambil nafas panjang, “Mas Satrio tahu kalau Mbah masih merokok?”“Jangan bilang-bilang dokter Satrio kalau Mbah masih merokok. Dokter Satrio bisa-bisa marah nanti.” jawab Mbah bersungut-sungut.Sekarang justru Caca yang terdiam. Caca menatap Mbah menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mbah masih menghindari kontak mata dengan Caca.Setelah menghabiskan setengah dari rokoknya, Mbah berkata, “Nduk, yang membuat Mbah dan Papamu bertengkar saat itu ya soal Papamu yang tidak mau merestui kamu menikah kemarin.”Caca tahu betul Mbah berbohong. Maka Caca kembali bertanya, “Terus apa yang Mbah maksud dengan hanya Mbah dan Papa yang tahu soal itu? Yang aku tanyakan Mba

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Caca Lamaran

    Tak terasa hari ini adalah hari Caca lamaran. Dua bulan terakhir ini dia disibukkan dengan kegiatan kampus yang membombardirnya tanpa henti bagaikan serangan tantara Jerman ke Perancis pada perang dunia kedua. Kegiatan yang dilakukan cukup menyita waktu Caca. Mendapatkan empat belas sks mengajar di semester genap ini dan melakukan pengabdian masyarakat juga menjalankan tugas sebagai Kepala Biro Urusan Luar Negeri berhasil melupakan masalah yang dihadapinya baik di kampus.Maka Caca sekarang sedang duduk di depan cermin rias yang ada di kamar Papa dan Mama. Dipandangi wajahnya yang sudah didandani oleh seorang make-up artist pilihan Mama. Caca bisa melihat jelas wajahnya yang berseri-seri kemarahan, yang mana rona kemerahan itu diyakini dari kebahagiaan yang timbul dari dalam dirinya. Senyuman kecil juga selalu tersungging manis di bibir Caca. Tulang pipinya yang sedikit menyembul menjadi semakin jelas karena senyuman tersebut.Badannya juga terlihat sangat ril

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Mbah Ning Marah-Marah

    Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya

  • Penakluk Cinta Sang Dosen   Caca Bukan Pembimbing Indra Lagi

    Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status