Tanpa berganti baju, Caca langsung telungkup di atas kasurnya. Dunianya seolah-olah berhenti berputar. Detik jam yang biasanya terdengar, sepertinya ikut-ikutan berhenti berdetak. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya terasa berlubang dan hancur.
Tangan Caca menempel di dadanya. Caca berusaha meredakan rasa sakit, hancur, dan perih di dadanya dengan terus memegangi dadanya. Tak puas hanya dengan memegangi dadanya, Caca memukul-mukul kasurnya dengan keras. Caca mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul. Setelah beberapa pukulan tak bersuara dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan di kasur, Caca kelelahan dan berhenti memukuli.
Tangisan Caca meledak. Air mata menetes dengan deras. Hidungnya berair mengucur. Tubuhnya berguncang di atas kasurnya, bergerak naik turun tak berirama.
Caca tidak dapat memutuskan mana yang lebih sakit. Pikirannya buntu tidak dapat memilih dan memilah mana yang lebih menyakitkan diantara dua fakta yang dia ketahui.
Apakah Ratu yang dilamar Zul, yang artinya dia akan dilangkahi dua adiknya?
Atau karena seluruh orang rumah merahasiakan hal tersebut?
Setelah beberapa lama dalam posisi telungkup, dia berganti posisi miring. Bekas air mata sangat tampak di kasurnya meninggalkan bercak basah. Dia peluk gulingnya dan kembali menangis meratap. Tenggorokannya terasa sangat kaku dan tebal.
Kamar Caca yang seharusnya bisa menjadi ruang kelas itu kini terasa sangat sempit. Keempat dindingnya serasa menghimpit membuat dadanya sesak dan susah bernafas. Gelapnya ruangan, karena lampu yang belum dinyalakan, membuat Caca semakin merasakan kesendirian.
Caca kesepian, sendiri, tidak ada satu orang yang mengerti, bahkan orang rumahnya sendiri. Orang rumah yang Caca kira selama ini menyayanginya ternyata mengkhianatinya.
Kenapa tidak ada yang memberitahunya kalau Ratu akan lamaran?
Kini terjawab sudah semua desas-desus dan sikap rahasia di rumah. Mereka semua mempersiapkan lamaran dan pernikahan Ratu tanpa dirinya. Kemarahan yang hanya tertuju pada orang rumah kecuali Ratu.
Caca sekarang telentang. Matanya terpaku pada langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Dengan sisa-sisa tenaga dia menuju kamar mandi. Tubuhnya bergetar kerika diguyur air dingin. Di tengah guyuran air itu, air matanya mengucur lagi meluapkan seluruh rasa sakit di hati. Isakannya kembali membuat tubuhnya bergetar tak berirama. Hanya satu harapan Caca, air mata dan guyuran air mampu meluruhkan rasa remuk redam yang terasa sangat nyata di dada.
Lama sekali Caca ada di kamar mandi. Dia bahkan tidak tahu jam berapa tadi dia masuk rumah atau masuk kamar mandi. Tapi yang jelas sekarang sudah jam sembilan tiga puluh malam. Dirinya sudah jauh lebih tenang ketika sudah berganti baju.
Lagi-lagi, tubuhnya telentang di atas dipannya. Pandangannya masih kosong menatap langit-langit. Dia memikirkan satu pertanyaan. Namun pikirannya tidak bisa fokus. Pikirannya melayang-layang seperti layangan putus tertiup angin, terbang ke sana kemari tak tentu arah.
Tangannya masih sesekali meluapkan kemarahan kepada kasurnya. Kasur itu memang kuat, masih tidak rusak meskipun sudah dipukuli Caca berkali-kali.
“Apa yang harus aku lakukan saat ini?”
“Apa aku langsung saja melabrak mereka? Aku tanyakan pada mereka apa alasan mereka tidak memberitahuku?”
“Apa aku tetap diam saja dan berpura-pura bodoh, sampai ada yang memberitahuku?”
Caca cenderung untuk melakukan pilihan yang pertama. Namun, beratnya hati menjadi penghalang diri.
Pikirannya yang melayang terhenti oleh suara ketukan di pintu kamarnya.
“Ca.. Ca…” suara berat terdengar dari balik pintu. “Kamu sudah tidur, Nduk?”
Caca masih diam. Ternyata, hasrat yang lebih besar adalah menutup diri dan tidak ingin untuk bicara dengan siapapun. Papa mengetuk pintu kamarnya yang artinya beliau ingin menjelaskan semuanya. Maka, Mbak Sri sudah bicara pada orang rumah kalau dirinya sudah tahu tentang lamarannya Ratu.
“Kalau kamu belum tidur, Papa, Mama, dan Mbah menunggumu di ruang makan.”
Caca masih tidak menjawab. Tenggorokannya kering, tak mampu berucap satu patah kata.
“Kalau kamu mau bicara, kami menunggumu sampai jam sepuluh. Tapi kalau tidak, kami mengerti alasanmu.”
Yang sebenarnya Caca inginkan adalah Papa mendobrak pintu kamarnya bahkan kalau perlu merusaknya sekalipun, memeluknya seperti saat dirinya masih kecil dulu. Tapi yang terjadi sebaliknya, Caca tidak lagi mendengar ketukan di pintu kamarnya ataupun suara Papanya lagi. Papa sudah menunggunya di bawah.
Perbuatan orang rumah hari ini sudah melukai hatinya terlalu dalam. Caca menghembuskan nafas kuat-kuat. Keputusan sudah diambil. Dia bangkit dan menuju kaca besar yang tertempel di lemari bajunya. Lututnya terasa lemah untuk berdiri.
Matanya sembab dan bengkak. Bekas-bekas tangisan sangat kentara di wajahnya. Hampir saja dia mengurungkan niatnya untuk turun menemui orang rumah. Tetapi, tidak. Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Caca membuka pintu kamarnya. Jantungnya hampir copot ketika tepat di depan pintu ada Ratu yang mau mengetuk pintu kamarnya. Ratu juga kaget dengan kemunculan Caca yang tiba-tiba.
Caca langsung menghambur ke pelukan Ratu. Ratu membalas pelukan Caca dengan erat. Caca menangis kembali. Tubuh Ratu berguncang di pelukan Caca.
“Selamat ya. Aku ikut bahagia.”
“Kamu nggak marah sama aku?”
Caca melepaskan pelukannya dan memandang Ratu dengan pandangan aneh, “Marah? Kamu pikir aku sudah gila?”
Ada air mata menetes di pipi Ratu. Caca menghapusnya.
“Aku inginnya belum mau menikah dulu. Aku mau fokus sama pekerjaanku dulu. Tapi Zul mengancam. Dia mau menikah sekarang dan tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
Ratu terisak, “Aku mau kamu yang menikah terlebih dahulu.”
“Hus.. jodoh sudah ada yang mengatur. Tidak ada peraturan yang mengharuskan yang tua menikah dulu. Kalau aku belum menikah berarti jodohku belum datang.”
Ratu terisak, “Maafin aku.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.”
Ratu mengangguk.
Caca memaksakan lututnya untuk kuat berjalan. Lututnya yang lemas protes tidak mau diajak berjalan. Jadi, tangannya menahan berat tubuhnya dengan berpegangan pada dinding. Dengan susah payah berakting kuat, Caca akhirnya sampai di meja makan dan duduk. Papa, Mama, dan Mbah ada disana.
Kedua tangan Papa yang besar dilipat di atas meja, “Papa minta maaf merahasiakan tentang Ratu darimu. Papa pikir, ini adalah jalan yang terbaik bagi kamu dan semuanya. Tapi Papa salah, ternyata, terbaik bagi semuanya kecuali kamu.”
Tatapan mata Papa lembut kepada Caca. Caca tahu Papa telah meminta maaf dengan tulus.
Caca tersenyum sinis. Mbah melihatnya lalu melihat Papa lalu menggelengkan kepala penuh arti seolah-olah Papa telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan.
“Ratu akan menikah Februari tahun depan. Jadi masih ada waktu tiga belas bulan.”
Caca menguap bosan. Tangannya terlipat di depan tubuhnya. Caca tidak tertarik dengan perbincangan ini.
“Tiga belas bulan itu waktu untuk persiapan Ratu menikah, tetapi buat kamu …”
Caca melihat Papanya. Papa memandangnya dengan pandangan serius.
“Kamu punya waktu kurang dari satu tahun untuk menikah. Papa tidak mau kamu dilangkahi adikmu lagi.”
Caca terhenyak dari duduknya. Kedua tangannya kini ada dan bertumpu di atas meja.
“Papa mau kamu menikah tahun ini.” suara berat itu menggelegar seperti petir.
Caca mematung di kursinya. Suara Papa menggelegar seperti petir menghantam tubuhnya. Dengan mulut menganga lebar, tangan Caca menunjuk ke dadanya. Caca melihat ke arah Mama. Mama tidak menunjukkan ekspresi apapun. Caca menoleh ke arah Mbah. Mbah mengangguk seolah menyetujui rencana Papa. Papa masih menatapnya dengan pandangan serius. Mulut Papa menganga seolah ingin berkata lebih lanjut ketika Mbah memotong Papa terlebih dahulu. “Ca, sebenarnya ini adalah ide Mbah. Mbah cuma mikirin kamu. Mbah sayang sama kamu. Di rumah ini hanya Mbah yang memikirkan kamu, yang peduli dengan kamu. Kamu ingat kemarin Mbah ke dokter Satrio?” Caca mengangguk enteng, tidak mengerti. “Dokter Satrio itu ternyata adalah cucu dari teman Nenek.” Caca semakin tidak paham dengan arah pembicaraan ini. “Terus?” sahut Caca tidak sabar. “Ya…” jawab Mama, “Kami mau mengenalkan kamu dengan dokter Satrio itu.” “Jadi aku mau dijodohkan dengan dokter Satrio itu?” Caca melotot tidak percaya. Mbah tersenyum mengan
Pikiran Caca berjalan. Secara rasional, Satrio ini adalah orang yang paling cocok dengannya. Satrio memenuhi segala kriteria yang diharapkannya. Tetapi hatinya membantah hal tersebut. Hatinya mengatakan bahwa yang Caca harapkan adalah Indra, bukan Satrio. Pikirannya menyahut apakah Indra juga mempunyai rasa yang sama dengan dirinya. Kalaupun ada rasa yang sama, lalu apa kata orang kalau dia menikahi mahasiswanya sendiri yang jauh lebih muda dan ada di bawahnya? Terlebih lagi, dia adalah seorang pejabat penting di kampus. “Ca, bukannya Mama mau mendikte kamu. Tapi menurut Mama, dokter Satrio ini adalah calon yang terbaik untuk kamu. Mama memang belum mengenal dia secara utuh dan Mama baru bertemu dokter Satrio itu dua kali. Tapi dari dua kali pertemuan itu, Mama bisa menyimpulkan kalau dokter Satrio itu adalah orang yang baik. Mama juga yakin, kalau dokter Satrio itu cocok menjadi suamimu.” Suara Mama lebih tenang sekarang. Caca mengernyitkan dahinya, ada kata-kata yang mencurigakan
Hari selasa kemarin. Satrio menutup Qur’annya ketika jam sudah menunjuk pukul lima lewat tiga puluh. Dia bersiap mandi dan berangkat. Hari selasa adalah hari yang sibuk baginya. Dia harus bekerja di tiga tempat, praktek bersama, rumah sakit swasta, dan rumah sakit umum milik pemerintah. Jam enam dia sudah siap untuk berangkat ke tempat pertama, tempat praktek bersama. Tetapi sebelum itu, dia mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan masuk. Namun, tidak ada pesan baru. Matanya terpaku pada pesan yang terletak di paling atas. Pesan ungkapan terima kasih dari seorang dokter residen yang dia bela kemarin. “Bagaimana bisa seseorang bangga pada hal yang absurd dan menganggap orang yang tidak berasal dari golongan yang sama lebih rendah derajatnya?” tanya Satrio pada dirinya sendiri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Jam sembilan kurang lima belas, pasien terakhir di tempat prakteknya bernama Sukarminingsih, perempuan, berusia tujuh puluh delapan tahun. Pasien terakhir ini
“Omong kosong, kamu bukan seorang lelaki yang bisa dianggap remeh oleh seorang perempuan. Kekurangan apa yang kamu maksud?” “Aku yang terlalu bekerja keras, terlalu memperhatikan pasien-pasienku hingga mengesampingkan keluargaku sendiri.” “Kamu itu seharusnya sudah bisa memaafkan dirimu sendiri. Mamamu meninggal bukan karena kamu. Mama kamu meninggal karena depresi ditinggal Papamu. Berapa kali Kakek harus bilang? Tidak ada bedanya meskipun kamu saat itu ada disini.” Kakeknya berjalan ke belakang, ke arah dapur. Beliau kembali dengan membawa dua gelas besar es teh dan memberikan salah satu gelas ke Satrio. Setelah meminum es tehnya, Kakek melanjutkan perkataanya, “Kamu tidak bisa terus menerus seperti ini Sat. Apakah kamu pikir, dengan terus menerus menghukum diri kamu, Mamamu akan kembali hidup? Mau sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu tidak ingat apa yang kamu rasakan kemari ketika terinfeksi Corona?” Kakeknya berkacak pinggang. “Malam minggu, kita berdua akan bertemu d
Caca masih di kasurnya, tidak bergerak dengan mata yang masih mengantuk menatap langit-langit. Perutnya terasa aneh. Rasa buang air besar semalam masih terasa. Tidak ada yang keluar meskipun dia sudah mencoba, hanya kesemutan merajalela. Jam yang berdetik di dinding menunjukkan pukul enam. Hanya ada rasa enggan beranjak dari kasurnya menggelayut. Dia ingin bumi membuka, menelannya hidup-hidup tanpa ada kemungkinan untuk kembali lagi. Bukan, Caca bukan ingin mati. Caca masih ingin hidup. Nasi pecel dan lalapan masih sayang untuk ditinggalkan, apalagi rawon. Caca hanya malu dan tidak ingin bertemu dengan siapapun, termasuk dengan Satrio nanti. Biasanya pada minggu pagi seperti ini, Caca akan berada di dapur. Karena dia tidak bisa memasak, maka dia akan membantu Mama dan Mbak Sri memasak. Caca yang bertanggung jawab untuk mencuci semua perkakas memasak dan sarapan. Caca bukannya tidak mau belajar masak. Caca sudah belajar masak, tetapi seberapa keras Caca berusaha, hasil masakannya ti
Satrio menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Dia tidak melihat ke wajah ataupun mata Caca ketika mengenalkan dirinya. Satrio terus menundukkan pandangannya, tidak berani memandang Caca. Untuk beberapa saat Caca tidak mengerti kenapa Satrio tidak berani menatapnya. Tetapi dalam sekejap pula, Caca paham kenapa Satrio tidak berani menatap dan hanya menundukkan pandangannya. Dari sikap Satrio itu, Caca bisa menyimpulkan bahwa Satrio adalah seseorang yang religius dan memegang teguh syariat-syariat agama di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk beberapa saat itu juga, Caca merasa terbanting dan merasa malu. Caca tahu hukum agama tetapi jarang mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Caca hanya melakukan syariat-syariat yang bersifat wajib seperti sholat, puasa, dan zakat. Caca masih berat untuk melakukan hal-hal selain itu, termasuk memakai jilbab, meskipunan Papanya juga sudah berkali-kali mengingatkan dan mengatakan kewajiban berjilbab bagi perempuan dewasa adalah wajib dan sa
Senin pagi itu terasa berat sekali. Mendung petang menggelayut di cakrawala ketika dia melihat keluar jendela. Tak ada niatan Caca beranjak dari kasurnya. Dadanya sesak. Meski sudah menghela nafas kuat-kuat berkali-kali, beban itu tak mau pergi. Satu hal yang berkesan dari pertemuan dengan Satrio kemarin adalah Caca bisa menangkap betapa seriusnya Satrio untuk memperistri dirinya. Berbeda dengan pengalamannya ketika bertemu dengan seseorang yang mengenalnya lewat aplikasi kencan itu. Perbedaan jelas adalah ketika Satrio sama sekali tidak menatap wajahnya, sedangkan lelaki aplikasi itu selalu memandanginya. Sebegitu buruknya kesan yang dibuat lelaki aplikasi itu sampai Caca tidak mau mengingat namanya dan hanya memanggilnya lelaki aplikasi. Caca sampai merasa risih karena terus dipandangi. Caca merasa ditelanjangi karena lelaki itu terus menerus melihat ke arah dadanya. Terlebih lagi jawaban-jawaban Satrio atas semua pertanyaan Caca terdengar masuk akal dan terdengar meyakinkan. Satr
Jasmine menepuk tangannya bersemangat. “Bukankah dia mahasiswa bimbinganmu? Bukankah lebih mudah memberikan kode pada dia ketika bimbingan thesis?” tanya Jasmine berapi-api laksana panglima perang mengobarkan semangat pada prajurit. “Mbak tahu sendiri kalau caraku melakukan bimbingan …” Jasmine menunggu Caca menyelesaikan kalimatnya. Tetapi, ketika sepertinya Caca tidak berniat menyelesaikannya, Jasmine menyarankan, “Ya diubah caramu melakukan bimbingan.” Caca tidak merespon apapun. Bahkan Caca berdiri dan berkata hal lain, “Aku mau menguji seminar proposal thesis dulu.” “Kamu nggak makan?” Caca menjawab hanya dengan gelengan kepalanya, “Aku sedang tidak ingin makan. Tidak ada nafsu makan.” “Kamu menguji di Gedung Pascasarjana?” Caca mengangguk. “Bawa payung. Takutnya hujan.” Kata Jasmine seraya melihat keluar jendela dan menunjuk mendung yang sudah bergerombol berat. Caca mengambil payung kecil dan memasukkannya ke dalam tas yang dia tenteng. Di ruang sidang seminar proposal