Share

Caca Dijodohkan

Tanpa berganti baju, Caca langsung telungkup di atas kasurnya. Dunianya seolah-olah berhenti berputar. Detik jam yang biasanya terdengar, sepertinya ikut-ikutan berhenti berdetak. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya terasa berlubang dan hancur. 

Tangan Caca menempel di dadanya. Caca berusaha meredakan rasa sakit, hancur, dan perih di dadanya dengan terus memegangi dadanya. Tak puas hanya dengan memegangi dadanya, Caca memukul-mukul kasurnya dengan keras. Caca mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul. Setelah beberapa pukulan tak bersuara dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan di kasur, Caca kelelahan dan berhenti memukuli. 

Tangisan Caca meledak. Air mata menetes dengan deras. Hidungnya berair mengucur. Tubuhnya berguncang di atas kasurnya, bergerak naik turun tak berirama. 

Caca tidak dapat memutuskan mana yang lebih sakit. Pikirannya buntu tidak dapat memilih dan memilah mana yang lebih menyakitkan diantara dua fakta yang dia ketahui. 

Apakah Ratu yang dilamar Zul, yang artinya dia akan dilangkahi dua adiknya?

Atau karena seluruh orang rumah merahasiakan hal tersebut?

Setelah beberapa lama dalam posisi telungkup, dia berganti posisi miring. Bekas air mata sangat tampak di kasurnya meninggalkan bercak basah. Dia peluk gulingnya dan kembali menangis meratap. Tenggorokannya terasa sangat kaku dan tebal. 

Kamar Caca yang seharusnya bisa menjadi ruang kelas itu kini terasa sangat sempit. Keempat dindingnya serasa menghimpit membuat dadanya sesak dan susah bernafas. Gelapnya ruangan, karena lampu yang belum dinyalakan, membuat Caca semakin merasakan kesendirian. 

Caca kesepian, sendiri, tidak ada satu orang yang mengerti, bahkan orang rumahnya sendiri. Orang rumah yang Caca kira selama ini menyayanginya ternyata mengkhianatinya. 

Kenapa tidak ada yang memberitahunya kalau Ratu akan lamaran?

Kini terjawab sudah semua desas-desus dan sikap rahasia di rumah. Mereka semua mempersiapkan lamaran dan pernikahan Ratu tanpa dirinya. Kemarahan yang hanya tertuju pada orang rumah kecuali Ratu.

Caca sekarang telentang. Matanya terpaku pada langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Dengan sisa-sisa tenaga dia menuju kamar mandi. Tubuhnya bergetar kerika diguyur air dingin. Di tengah guyuran air itu, air matanya mengucur lagi meluapkan seluruh rasa sakit di hati. Isakannya kembali membuat tubuhnya bergetar tak berirama. Hanya satu harapan Caca, air mata dan guyuran air mampu meluruhkan rasa remuk redam yang terasa sangat nyata di dada. 

Lama sekali Caca ada di kamar mandi. Dia bahkan tidak tahu jam berapa tadi dia masuk rumah atau masuk kamar mandi. Tapi yang jelas sekarang sudah jam sembilan tiga puluh malam. Dirinya sudah jauh lebih tenang ketika sudah berganti baju. 

Lagi-lagi, tubuhnya telentang di atas dipannya. Pandangannya masih kosong menatap langit-langit. Dia memikirkan satu pertanyaan. Namun pikirannya tidak bisa fokus. Pikirannya melayang-layang seperti layangan putus tertiup angin, terbang ke sana kemari tak tentu arah. 

Tangannya masih sesekali meluapkan kemarahan kepada kasurnya. Kasur itu memang kuat, masih tidak rusak meskipun sudah dipukuli Caca berkali-kali. 

“Apa yang harus aku lakukan saat ini?”

“Apa aku langsung saja melabrak mereka? Aku tanyakan pada mereka apa alasan mereka tidak memberitahuku?”

“Apa aku tetap diam saja dan berpura-pura bodoh, sampai ada yang memberitahuku?”

Caca cenderung untuk melakukan pilihan yang pertama. Namun, beratnya hati menjadi penghalang diri.

Pikirannya yang melayang terhenti oleh suara ketukan di pintu kamarnya.

“Ca.. Ca…” suara berat terdengar dari balik pintu. “Kamu sudah tidur, Nduk?” 

Caca masih diam. Ternyata, hasrat yang lebih besar adalah menutup diri dan tidak ingin untuk bicara dengan siapapun. Papa mengetuk pintu kamarnya yang artinya beliau ingin menjelaskan semuanya. Maka, Mbak Sri sudah bicara pada orang rumah kalau dirinya sudah tahu tentang lamarannya Ratu. 

“Kalau kamu belum tidur, Papa, Mama, dan Mbah menunggumu di ruang makan.”

Caca masih tidak menjawab. Tenggorokannya kering, tak mampu berucap satu patah kata.

“Kalau kamu mau bicara, kami menunggumu sampai jam sepuluh. Tapi kalau tidak, kami mengerti alasanmu.”

Yang sebenarnya Caca inginkan adalah Papa mendobrak pintu kamarnya bahkan kalau perlu merusaknya sekalipun, memeluknya seperti saat dirinya masih kecil dulu. Tapi yang terjadi sebaliknya, Caca tidak lagi mendengar ketukan di pintu kamarnya ataupun suara Papanya lagi. Papa sudah menunggunya di bawah.

Perbuatan orang rumah hari ini sudah melukai hatinya terlalu dalam. Caca menghembuskan nafas kuat-kuat. Keputusan sudah diambil. Dia bangkit dan menuju kaca besar yang tertempel di lemari bajunya. Lututnya terasa lemah untuk berdiri. 

Matanya sembab dan bengkak. Bekas-bekas tangisan sangat kentara di wajahnya. Hampir saja dia mengurungkan niatnya untuk turun menemui orang rumah. Tetapi, tidak. Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. 

Caca membuka pintu kamarnya. Jantungnya hampir copot ketika tepat di depan pintu ada Ratu yang mau mengetuk pintu kamarnya. Ratu juga kaget dengan kemunculan Caca yang tiba-tiba. 

Caca langsung menghambur ke pelukan Ratu. Ratu membalas pelukan Caca dengan erat. Caca menangis kembali. Tubuh Ratu berguncang di pelukan Caca. 

“Selamat ya. Aku ikut bahagia.”

“Kamu nggak marah sama aku?”

Caca melepaskan pelukannya dan memandang Ratu dengan pandangan aneh, “Marah? Kamu pikir aku sudah gila?”

Ada air mata menetes di pipi Ratu. Caca menghapusnya.

“Aku inginnya belum mau menikah dulu. Aku mau fokus sama pekerjaanku dulu. Tapi Zul mengancam. Dia mau menikah sekarang dan tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Ratu terisak, “Aku mau kamu yang menikah terlebih dahulu.”

“Hus.. jodoh sudah ada yang mengatur. Tidak ada peraturan yang mengharuskan yang tua menikah dulu. Kalau aku belum menikah berarti jodohku belum datang.”

Ratu terisak, “Maafin aku.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan.”

Ratu mengangguk.

Caca memaksakan lututnya untuk kuat berjalan. Lututnya yang lemas protes tidak mau diajak berjalan. Jadi, tangannya menahan berat tubuhnya dengan berpegangan pada dinding. Dengan susah payah berakting kuat, Caca akhirnya sampai di meja makan dan duduk. Papa, Mama, dan Mbah ada disana.

Kedua tangan Papa yang besar dilipat di atas meja, “Papa minta maaf merahasiakan tentang Ratu darimu. Papa pikir, ini adalah jalan yang terbaik bagi kamu dan semuanya. Tapi Papa salah, ternyata, terbaik bagi semuanya kecuali kamu.”

Tatapan mata Papa lembut kepada Caca. Caca tahu Papa telah meminta maaf dengan tulus.

Caca tersenyum sinis. Mbah melihatnya lalu melihat Papa lalu menggelengkan kepala penuh arti seolah-olah Papa telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan.

“Ratu akan menikah Februari tahun depan. Jadi masih ada waktu tiga belas bulan.”

Caca menguap bosan. Tangannya terlipat di depan tubuhnya. Caca tidak tertarik dengan perbincangan ini. 

“Tiga belas bulan itu waktu untuk persiapan Ratu menikah, tetapi buat kamu …”

Caca melihat Papanya. Papa memandangnya dengan pandangan serius.

“Kamu punya waktu kurang dari satu tahun untuk menikah. Papa tidak mau kamu dilangkahi adikmu lagi.”

Caca terhenyak dari duduknya. Kedua tangannya kini ada dan bertumpu di atas meja. 

“Papa mau kamu menikah tahun ini.” suara berat itu menggelegar seperti petir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status