Dipenuhi rasa ingin tahu, Caca memberedel amplop itu. Matanya bergerak-gerak cepat. Sesaat kemudian, mulutnya menganga. Tangannya reflek menutup mulutnya yang menganga. Matanya melotot ke kertas itu lalu ke Jasmine bergantian. Caca melepaskan tangan yang menutupi mulutnya dan mulai tersenyum lebar.
“Indra bimbinganku?” sorak Caca gembira.
Jasmine mengangguk, “Cie… Yang dapat mahasiswa kesayangannya.”
“Ya iya tah.” sambut Caca sombong.
Jasmine tersenyum menang, menggoyang-goyangkan telunjuk kanannya.
“Mbak, aku hanya kagum, tidak lebih. Aku sudah bilang kemarin. Dia mahasiswa paling pintar di kelas, seorang pemimpin.” Pipi Caca bersemu merah sebelum melanjutkan perkataannya, “Lagipula apa kata orang kalau aku pacaran sama brondong yang notabene itu mahasiswaku sendiri. Mbak pikir ini novel dimana guru atau dosen bisa dengan gampang menjalin hubungan dan menikah dengan muridnya. Di novel pun itu yang guru adalah seorang lelaki dan muridnya perempuan. Hidup tidak semulus roman-roman karangan Jane Austen atau Dee Lestari.”
“Kenapa mikir apa kata orang? Kalau kamu mikir apa kata orang, maka kamu sekarang harusnya sudah nikah. Ndak ada gunanya kamu memikirkan gosip yang beredar di luar sana.”
“Memangnya gossip tentang aku masih beredar di luar sana?”
“Gosip yang mana?” tanya Jasmine sembari menggerakkan kepalanya menantang Caca.
“Gosip yang mana?” mata Caca melotot lehernya memanjang tidak percaya. Matanya melebar. Dengan wajah penasaran dan kaget, Caca bertanya, “Memangnya gosip tentangku apa saja?”
“Banyak kali.” Jasmine membenarkan posisi duduknya, “Misal, kamu adalah seorang feminist, pembela hak-hak perempuan yang tidak mau menikah dengan seorang lelaki. Bagimu, seorang wanita harus independen atau mandiri dan tidak perlu lelaki. Perempuan harus berdiri sejajar dengan lelaki. Perempuan harus mempunyai hak-hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Dan yang paling parah adalah ada yang bilamg bahwa kamu adalah seorang Mak Lampir ambisius yang menggadaikan semua termasuk berani lajang demi posisi Kepala Biro Urusan Luar Negeri.”
Caca mendengus menyeringai, “Hanya itu saja?”
Jasmine membuat wajah aneh. Bibir Jasmine menyeringai.
“Sampai sekarang?” tambah Caca.
Jasmine mengangkat bahunya menyandarkan tubuhnya, “Aku ndak tahu, mungkin mereka berhati-hati kalau ada aku. Mereka ‘kan tahu kamu dekat denganku. Kamu membuatku tertular virus burukmu.”
“Untung saja mereka belum mendengar yang itu.”
Kini Jasmine yang penasaran, “Yang itu?”
“Ya yang itu. Tentang Caca yang suka makan, yang tiba-tiba mules karena grogi ketika mau menguji skripsi atau thesis, dan yang suka menyembunyikan makanan saat ada tamu penting.”
Jasmine terkekeh.
Caca juga ikut terkekeh. Setelah selesai tertawa, Caca melanjutkan, “Lihat, bagaimana kata mereka kalau aku berhubungan dengan Indra. Aku yang hanya belum nikah saja, mereka sudah menelanjangiku seperti itu.”
“Kamu ndak perlu mikir kata orang. Yang menjalani kamu, bukan mereka. Lagipula, apa gunanya mendengarkan kata orang. Kamu berhak atas hidup kamu. Apa kamu akan bahagia jika kamu menuruti setiap kata orang?” Jasmine menambahkan dengan gelengan kepalanya.
“Yang kedua, Indra ada di bawahku, lebih muda dan dia baru S2. Keluargaku akan malu. Lagipula, Mbak bilang sendiri bahwa lelaki di bawahku akan merasa minder jika mendekatiku. Balik lagi ke teoriku kemarin, lelaki akan kesulitan jika mendapatkan istri yang mempunyai pendidikan dan penghasilan yang lebih tinggi.” jawab Caca seolah-olah tidak mendengarkan kata-kata Jasmine yang terakhir tadi.
Jasmine lagi-lagi menggelengkan kepala tidak setuju. “Lihat aku dan suamiku Ca. Rumah tangga kami baik-baik saja.”
“Yang ketiga, kalau sampai Komite Etik mengetahuinya, aku dan Indra akan mendapatkan masalah besar.” pungkas Caca tanpa mempedulikan sanggahan Jasmine.
“Komite Etik bertindak kalau kamu melakukan asusila di kampus. Lagipula, apa kamu sudah gila melakukan tindak asusila di kampus? Seperti tidak ada tempat saja. Kalau hanya menjalin hubungan spesial, komite etik tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Sudah, aku tidak mau bahas Indra lagi.”
“Dik Indra.” Jasmine mengoreksi.
Caca menggeleng, “Indra.”
Setelah sekitar satu jam berdiskusi membenarkan pengajuan dana, yang akhirnya dana yang diajukan sangat minim, Jasmine berkata, “Ca, aku harus pulang. Aku sudah janjian dengan Papanya Si Kembar untuk membawa mereka jalan-jalan. Mumpung malam minggu.”
Caca mengangguk setuju, “Okay Mbak. Terima kasih atas bantuannya.”
Caca memperhatikan Jasmine yang seolah-olah tidak capek. Jasmine yang terlihat semakin bersemangat.
“Mbak tidak merasa capek? Seharian di kampus, setelah itu pulang, mengurusi suami dan Si Kembar, masak buat mereka. Mbak hanya ada pengasuh anak, bukan pembantu.”
Jasmine tersenyum, “Ndak, sama sekali ndak merasa capek. ‘Kan hanya memasak dan mengurusi mereka. Kalau hanya menyapu dan pekerjaan rumah yang remeh, suamiku selalu membantu. Kalau mencuci dan menyeterika, ’kan ada laundry.”
Caca masih memandanginya dengan penasaran.
“Kamu sekarang tidak mengerti dan bisa saja tidak percaya. Tapi bagiku seperti ini, capek dan lelah atau apapun itu tetapi begitu aku sampai rumah, melihat Si Kembar menyambutku dengan berlari senang ke pelukanku, semuanya hilang. Bagiku Si Kembar adalah pengusir lelah yang manjur. Semua kelelahan terbayarkan lunas ketika melihat Si Kembar.”
Caca mengangguk setengah, seolah menyangsikan perkataan Jasmine. Apa yang dia dengar dari Jasmine barusan hanyalah seperti omong kosong dan bualan belaka.
“Kesimpulannya adalah segera punya anak.” kata Jasmine saat menaikkan resleting jaketnya.
“Nikah dulu sebelum punya anak Mbak.”
“Ya ‘kan kamu habis ini dijodohkan, dengan pangeran berkuda dari negeri seberang, the knight with the shining armor, ksatria dengan baju zirah yang mengkilat.”
Caca tergelak.
“Terus apa rencanamu untuk merayu Pak Warek agar tetap melanjutkan program pertukaran doktor?” tanya Jasmine.
Caca tersenyum.
“Apa? Apa rencanamu? Jangan-jangan kamu sudah dapat ide?” kejar Jasmine penasaran.
“Sudah tah. Tapi aku tidak akan memberitahu Mbak. Aku tidak akan bilang apapun sebelum berhasil.”
Jasmine mengangkat bahunya, “Terserah, pokoknya aku mau program itu tetap berjalan. Satu semester di Australian National University, dibayari kampus, dapat ilmu, siapa yang ndak mau?”
“Pokoknya Mbak tenang saja. Aku adalah Mak Lampir penguasa Biro Kerjasama Luar Negeri yang bisa mengabulkan seluruh permintaan.”
Jasmine bertepuk tangan, mengacungkan jempol. Caca menaruh tangan kanannya di dadanya dan tersenyum menganggukkan kepalanya.
Kerika Jasmine membuka pintu ruangan Caca, dia berhenti. Jasmine membalikkan badannya menghadap Caca. Dengan tangan yang masih memegangi pintu yang setengah terbuka, Jasmine berkata, “Ada yang lebih realistis daripada pangeran negeri seberang.”
“Apa?”
“Indra.”
Seketika, si kupu-kupu menggelitiki perut Caca.
“Entahlah, aku tidak mau memikirkan itu dulu.”
“Menikah?”
Caca mengangguk, “Aku antara ingin segera menikah dan tidak ingin segera menikah. Aku ingin segera menikah ya karena usiaku yang sudah tiga puluh lima. Aku sudah dilangkahi Maya, dan aku tidak mau Ratu juga mendahuluiku menikah. Aku tidak buru-buru karena aku menginginkan lelaki yang sempurna untukku. Lagipula Ratu masih muda. Dia tidak akan menikah dalam waktu dekat.”
“Aku tidak ada maksud buruk, tapi kalau Ratu akan menikah dalam waktu dekat, apa yang akan kamu lakukan?”
“Akan aku culik Ratu dan akan menyekapnya agar dia tidak jadi menikah.” kata Caca sambil tertawa terbahak-bahak.
Jasmine tidak merespon.
Sabtu sore, jalanan Malang lebih padat daripada hari-hari biasa. Kota dingin itu menjadi tujuan wisata akhir minggu oleh orang-orang dari luar kota Malang. Caca sedang terjebak di lampu merah di daerah Dinoyo selama lebih dari satu setengah jam. Walau begitu, Caca tidak mengeluh. Sensasi kupu-kupu yang menggelitik perutnya terlalu menyenangkan. Kemacetan itu tidak berarti baginya. Caca menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Indra. Perbincangannya dengan Jasmine tempo hari membuatnya sadar, hatinya sudah menjadi milik Indra. Untuk pertama kalinya dalam tujuh belas atau delapan belas tahun terakhir, Caca merasakan indahnya jatuh cinta. Caca tersenyum-senyum sendiri. Berkali-kali Caca menoleh pada cermin tengah mengaca, membenarkan rambutnya, melihat pipinya yang bersemu merah. Mobil-mobil yang ada di sekililingnya seolah-olah kumpulan binatang kesukaanya, panda. Caca tidak berada di tengah kemacetan, tapi berada di hamparan hutan belantara bambu yang sejuk. Warna jingga matahari me
Tanpa berganti baju, Caca langsung telungkup di atas kasurnya. Dunianya seolah-olah berhenti berputar. Detik jam yang biasanya terdengar, sepertinya ikut-ikutan berhenti berdetak. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya terasa berlubang dan hancur. Tangan Caca menempel di dadanya. Caca berusaha meredakan rasa sakit, hancur, dan perih di dadanya dengan terus memegangi dadanya. Tak puas hanya dengan memegangi dadanya, Caca memukul-mukul kasurnya dengan keras. Caca mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul. Setelah beberapa pukulan tak bersuara dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan di kasur, Caca kelelahan dan berhenti memukuli. Tangisan Caca meledak. Air mata menetes dengan deras. Hidungnya berair mengucur. Tubuhnya berguncang di atas kasurnya, bergerak naik turun tak berirama. Caca tidak dapat memutuskan mana yang lebih sakit. Pikirannya buntu tidak dapat memilih dan memilah mana yang lebih menyakitkan diantara dua fakta yang dia ketahui. Apakah Ratu yang dilamar Zul, yan
Caca mematung di kursinya. Suara Papa menggelegar seperti petir menghantam tubuhnya. Dengan mulut menganga lebar, tangan Caca menunjuk ke dadanya. Caca melihat ke arah Mama. Mama tidak menunjukkan ekspresi apapun. Caca menoleh ke arah Mbah. Mbah mengangguk seolah menyetujui rencana Papa. Papa masih menatapnya dengan pandangan serius. Mulut Papa menganga seolah ingin berkata lebih lanjut ketika Mbah memotong Papa terlebih dahulu. “Ca, sebenarnya ini adalah ide Mbah. Mbah cuma mikirin kamu. Mbah sayang sama kamu. Di rumah ini hanya Mbah yang memikirkan kamu, yang peduli dengan kamu. Kamu ingat kemarin Mbah ke dokter Satrio?” Caca mengangguk enteng, tidak mengerti. “Dokter Satrio itu ternyata adalah cucu dari teman Nenek.” Caca semakin tidak paham dengan arah pembicaraan ini. “Terus?” sahut Caca tidak sabar. “Ya…” jawab Mama, “Kami mau mengenalkan kamu dengan dokter Satrio itu.” “Jadi aku mau dijodohkan dengan dokter Satrio itu?” Caca melotot tidak percaya. Mbah tersenyum mengan
Pikiran Caca berjalan. Secara rasional, Satrio ini adalah orang yang paling cocok dengannya. Satrio memenuhi segala kriteria yang diharapkannya. Tetapi hatinya membantah hal tersebut. Hatinya mengatakan bahwa yang Caca harapkan adalah Indra, bukan Satrio. Pikirannya menyahut apakah Indra juga mempunyai rasa yang sama dengan dirinya. Kalaupun ada rasa yang sama, lalu apa kata orang kalau dia menikahi mahasiswanya sendiri yang jauh lebih muda dan ada di bawahnya? Terlebih lagi, dia adalah seorang pejabat penting di kampus. “Ca, bukannya Mama mau mendikte kamu. Tapi menurut Mama, dokter Satrio ini adalah calon yang terbaik untuk kamu. Mama memang belum mengenal dia secara utuh dan Mama baru bertemu dokter Satrio itu dua kali. Tapi dari dua kali pertemuan itu, Mama bisa menyimpulkan kalau dokter Satrio itu adalah orang yang baik. Mama juga yakin, kalau dokter Satrio itu cocok menjadi suamimu.” Suara Mama lebih tenang sekarang. Caca mengernyitkan dahinya, ada kata-kata yang mencurigakan
Hari selasa kemarin. Satrio menutup Qur’annya ketika jam sudah menunjuk pukul lima lewat tiga puluh. Dia bersiap mandi dan berangkat. Hari selasa adalah hari yang sibuk baginya. Dia harus bekerja di tiga tempat, praktek bersama, rumah sakit swasta, dan rumah sakit umum milik pemerintah. Jam enam dia sudah siap untuk berangkat ke tempat pertama, tempat praktek bersama. Tetapi sebelum itu, dia mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan masuk. Namun, tidak ada pesan baru. Matanya terpaku pada pesan yang terletak di paling atas. Pesan ungkapan terima kasih dari seorang dokter residen yang dia bela kemarin. “Bagaimana bisa seseorang bangga pada hal yang absurd dan menganggap orang yang tidak berasal dari golongan yang sama lebih rendah derajatnya?” tanya Satrio pada dirinya sendiri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Jam sembilan kurang lima belas, pasien terakhir di tempat prakteknya bernama Sukarminingsih, perempuan, berusia tujuh puluh delapan tahun. Pasien terakhir ini
“Omong kosong, kamu bukan seorang lelaki yang bisa dianggap remeh oleh seorang perempuan. Kekurangan apa yang kamu maksud?” “Aku yang terlalu bekerja keras, terlalu memperhatikan pasien-pasienku hingga mengesampingkan keluargaku sendiri.” “Kamu itu seharusnya sudah bisa memaafkan dirimu sendiri. Mamamu meninggal bukan karena kamu. Mama kamu meninggal karena depresi ditinggal Papamu. Berapa kali Kakek harus bilang? Tidak ada bedanya meskipun kamu saat itu ada disini.” Kakeknya berjalan ke belakang, ke arah dapur. Beliau kembali dengan membawa dua gelas besar es teh dan memberikan salah satu gelas ke Satrio. Setelah meminum es tehnya, Kakek melanjutkan perkataanya, “Kamu tidak bisa terus menerus seperti ini Sat. Apakah kamu pikir, dengan terus menerus menghukum diri kamu, Mamamu akan kembali hidup? Mau sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu tidak ingat apa yang kamu rasakan kemari ketika terinfeksi Corona?” Kakeknya berkacak pinggang. “Malam minggu, kita berdua akan bertemu d
Caca masih di kasurnya, tidak bergerak dengan mata yang masih mengantuk menatap langit-langit. Perutnya terasa aneh. Rasa buang air besar semalam masih terasa. Tidak ada yang keluar meskipun dia sudah mencoba, hanya kesemutan merajalela. Jam yang berdetik di dinding menunjukkan pukul enam. Hanya ada rasa enggan beranjak dari kasurnya menggelayut. Dia ingin bumi membuka, menelannya hidup-hidup tanpa ada kemungkinan untuk kembali lagi. Bukan, Caca bukan ingin mati. Caca masih ingin hidup. Nasi pecel dan lalapan masih sayang untuk ditinggalkan, apalagi rawon. Caca hanya malu dan tidak ingin bertemu dengan siapapun, termasuk dengan Satrio nanti. Biasanya pada minggu pagi seperti ini, Caca akan berada di dapur. Karena dia tidak bisa memasak, maka dia akan membantu Mama dan Mbak Sri memasak. Caca yang bertanggung jawab untuk mencuci semua perkakas memasak dan sarapan. Caca bukannya tidak mau belajar masak. Caca sudah belajar masak, tetapi seberapa keras Caca berusaha, hasil masakannya ti
Satrio menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Dia tidak melihat ke wajah ataupun mata Caca ketika mengenalkan dirinya. Satrio terus menundukkan pandangannya, tidak berani memandang Caca. Untuk beberapa saat Caca tidak mengerti kenapa Satrio tidak berani menatapnya. Tetapi dalam sekejap pula, Caca paham kenapa Satrio tidak berani menatap dan hanya menundukkan pandangannya. Dari sikap Satrio itu, Caca bisa menyimpulkan bahwa Satrio adalah seseorang yang religius dan memegang teguh syariat-syariat agama di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk beberapa saat itu juga, Caca merasa terbanting dan merasa malu. Caca tahu hukum agama tetapi jarang mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Caca hanya melakukan syariat-syariat yang bersifat wajib seperti sholat, puasa, dan zakat. Caca masih berat untuk melakukan hal-hal selain itu, termasuk memakai jilbab, meskipunan Papanya juga sudah berkali-kali mengingatkan dan mengatakan kewajiban berjilbab bagi perempuan dewasa adalah wajib dan sa