Share

Kelasnya Indra

“Ya, tapi sekarang saatnya kamu maju, lupakan masa lalu itu. Tidak semua lelaki mau memperalat kamu dan mencari keuntungan darimu. Masalahnya, kamu tidak pernah memberi kesempatan lelaki untuk mendekatimu. Bagaimana kamu tahu mereka berniat jahat kepadamu? Lagipula mantan kamu itu mungkin sudah menikah dan bisa jadi dia bahagia dengan istri dia sekarang. Bisa saja dia saat ini sedang bermain-main dengan anaknya. Sedangkan kamu? Kamu masih saja bergelut dengan cerita dan sakit hati masa lalu. Dia tidak pantas mendapatkan itu Ca. Kalau ini ibarat perang, kamu adalah pihak yang kalah. Dia berhasil menguasaimu sampai lebih dari tujuh belas tahun. Ini buktinya. Kamu masih sakit hati dengan perbuatannya di masa lalu.”

“Balik lagi ke teori tadi Mbak. Lelaki itu kodratnya menguasai. Kalau mereka mendapatkan pasangan yang gampang dibodohi maka mereka akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Mereka akan selalu membodohi kita dan berbuat seenaknya sendiri. Sedangkan perempuan yang tidak mandiri hanya akan menjadi korban. Perempuan tidak akan bisa melawan dan hanya akan pasrah menerima semua perlakuan tidak menyenangkan. Lelaki tidak bisa diberi kesempatan seperti itu. Mereka harus diberi batasan. Perempuan harus pintar, berpendidikan, dan mandiri biar tidak bergantung terus dengan lelaki. Jadi, kalau lelaki berani melakukan perbuatan tidak menyenangkan, perempuan bisa membela diri dan berani mengambil keputusan.”

“Teori-teorimu itu bertentangan. Kamu maunya menikah dengan orang yang single, berpendidikan tinggi, tapi kamu tidak mau dibodohi. Kamu ndak tahu kalau semakin berpendidikan seorang lelaki semakin besar peluang mereka untuk berselingkuh? Semakin pintar mereka untuk membodohi perempuan?”

Caca terdiam.

“Kalau kamu maunya seorang lelaki yang tidak bisa membodohi kamu, kamu harusnya cari lelaki yang berpendidikan lebih rendah darimu. Sayangnya, lelaki yang berpendidikan lebih rendah darimu, minder. Kamu juga bilang sendiri malu kalau suamimu derajatnya lebih rendah.”

“Pokoknya aku yakin, di luar sana, ada lelaki yang cocok dengan kriteriaku.”

Jasmine menggeleng-gelengkan kepalanya dan memukul meja yang ada di hadapannya dengan pelan karena kesal.

“Terus kalau ndak ada lelaki yang seperti itu, apa rencanamu? Apa kamu mau selamanya seperti ini? Hanya ada dua pilihan bagimu sekarang, menemukan lelaki yang tepat seperti keinginanmu atau menyerah.”

“Semoga saja pilihan pertama. Kalau pilihan pertama itu gagal, aku akan mendirikan tenda di depan kampus dan mencegat siapapun yang mau masuk ke kampus. Aku akan memberikan teka-teki pada mereka, bagi siapa saja yang bisa menjawab bisa masuk kampus. Sedangkan yang tidak, mereka tidak boleh masuk kampus, termasuk Pak Rektor.” 

“Terserah kamu.” 

Caca menghabiskan sisa-sisa es jeruknya dan melihat jam dinding. Caca hampir saja menyemburkan es jeruk yang ada di mulutnya sebelum berkata, “Eh, telat. Aku ada kelas ini, belum sholat lagi.”

Jasmine berdiri dan mulai berjalan.

“Ngajar dimana kamu?”

“Pascasarjana, kelasnya Dik Indra.”

Mata Jasmine menyelidik menggoda. 

“Apa?” tantang Caca.

“Dik Indra? Cie.. sekarang pakai panggilan Dik? Sejak kapan nih?”

“Apa sih, aku hanya panggil dia dengan panggilan itu hanya di depan kamu, Mbak.”

“Kenapa panggilan Dik? Apa dia juga memanggilmu dengan Mbak?”

“Tidak, dia bahkan tidak tahu tentang ini. Dia juga masih memanggilku dengan sebutuan Bu. Dia itu ‘kan mahasiswaku, terserah aku mau panggil dia dengan panggilan apa. Aku bisa saja panggil dia dengan panggilan Bapak, Om, atau bahkan dengan sekedar nama Indra. Mbak juga tahu ’kan kalau mahasiswa itu terkadang memberikan julukan pada dosen-dosennya?”

“Ya, aku tahu. Tetapi, kenapa ndak panggil Indra dengan sebutan Pak Indra? ‘Kan lebih formal. Lebih cocok juga, dia ‘kan mahasiswa pascasarjana, sudah pantas dipanggil Bapak. Lagipula dalam satu kelas itu, yang kamu panggil dik cuma dia seorang. Sekarang, dari seluruh mahasiswamu, berapa mahasiswa yang kamu anugerahi panggilan berbeda? Hanya Indra 'kan?”

“Dia masih muda, masa aku harus panggil dia dengan sebutan Bapak? Tidak patut.” jelas Caca dengan mengangkat kedua tangannya.

Caca berjalan lagi. Namun Jasmine berhasil mengerjar dan melemparkan pandangan yang menggoda lagi.

“Apa lagi?” Caca berhenti berjalan dan memandang Jasmine dengan sebal.

“Kenapa tidak kamu dekati saja Dik Indra itu? Analisisku, dengan kamu memanggil dia dengan sebutan dik, dia sudah berada di tempat yang istimewa di hatimu.”

“Dengar ya Mbak, dia itu jauh lebih muda dariku. Dan satu-satunya yang membuat aku memanggil dia dengan sebutan seperti itu adalah karena dia mahasiswa paling pintar di kelas. Ya, menurutku, dia pantas mendapatkan panggilan berbeda dari yang lain, meski panggilan itu hanya aku yang tahu. Dan sekarang Mbak juga tahu. Dan memang dari semua mahasiswaku dari dulu sampai detik ini hanya dia yang aku anugerahi panggilan berbeda. Tapi, Indra berhak mendapatkannya karena dia memang pantas. Aku belum pernah mengajar mahasiswa sepintar dan sekritis Indra ini.”

Jasmine semakin menggoda dengan pandangan matanya.

“Apa sih, lagipula bagaimana bisa sampai ke analisis? Padahal pendahuluan, rumusan masalah, metode penelitian belum ada.”

“Tetapi, Indra mendapatkan panggilan istimewa darimu memberitahuku sesuatu.”

Caca mendongakkan kepalanya.

“Kamu ada rasa dengan Indra. Meskipun kamu belum menyadarinya.”

“Idih… Amit-amit… Masa aku berhubungan sama brondong?”

Jasmine memelototinya.

“Peluang aku dan dia berhubungan itu kecil banget. Kalau kata orang bule, the odds were astronomical. Dengan kata lain, tidak mungkin. Seperti ini lo Mbak …” kata Caca seraya mengangkat kedua tangannya. “Aku dan Indra ibarat telapak tangan dan punggung tangan, tidak bisa bersatu.”

Jasmine hanya menggeleng dan tersenyum, “Kamu keliru. Bisa saja telapak dan punggung tangan bersatu.” Jasmine memutar tangan kiri Caca dan merekatkan telapak tangan kanan ke punggung tangan kiri Caca.

Caca terhenyak.

“Yang diperlukan hanyalah sedikit perubahan.” pungkas Jasmine.

Meskipun begitu, Caca tidak bisa menjelaskan kenapa tiap kali mengajar kelas Indra, dirinya selalu semangat. Awalnya, mengajar di kelasnya Indra menyenangkan karena hampir semua mahasiswa di kelas itu kritis dan pintar. Adalah suatu anugerah jika seorang pengajar mendapatkan kelas yang aktif dan mudah diajar. Alhasil, kalau Caca meminta mereka untuk berdiskusi ataupun presentasi di depan kelas, pasti seru. 

Caca tidak pernah sadar. Sebelum mengajar di kelas Indra, dia pasti menyisir rambutnya lebih lama. Caca juga suka memandangi Indra sambil dia mendengarkan mahasiswanya mengemukakan pendapat. Dia juga merasa kecewa ketika kelompoknya Indra presentasi, bukan Indra yang menjadi pembicaranya. Pasti ada kupu-kupu kecil yang menggelitiki perutnya tiap kali dia mengajar kelas itu. 

Kali ini juga sama. Setelah sholat dhuhur, dia menyisir rambutnya lebih lama, mengoleskan lagi lipstick di bibirnya dan mematut dirinya di depan cermin lebih lama daripada biasanya. Dia puas memandangi dirinya di depan cermin. 

Caca juga tidak sadar, setiap kali dia masuk ke kelas Indra, matanya akan langsung mencari Indra. Meskipun Indra tidak pernah melihatnya ketika masuk kelas. Entah dia sedang berbincang dengan temannya atau sibuk membaca buku. Tetapi hari ini berbeda, ketika hari itu dia masuk ke kelas Indra, orang pertama yang membuat kontak mata dengannya adalah Indra. 

Dan Indra duduk di depan mejanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status