Caca melemparkan tubuhnya ke kursi kerjanya, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan memejamkan matanya. Dia meregangkan seluruh tubuhnya, sehingga tulang-tulang yang ada di punggungnya meregang, capek pun berkurang. Hari ini Caca memang mengajar dua kelas beruntun, tapi kali ini capeknya dua kali lipat.
Selain itu otaknya juga masih melayang pada kejadian pagi tadi. Bencana yang datang di pagi hari. Tangannya memijat perlahan dahinya. Dia mulai mempertanyakan keyakinannya, apa benar laki-laki merasa minder dengannya? Apa benar bahwa tidak ada yang mendekatinya karena lelaki melihatnya terlalu tinggi hingga tak dapat diraih?
Apa dirinya harus menurunkan kriteria agar bisa cepat menikah?
"Tidak," kata Caca pada dirinya sendiri.
Ketika pikiran Caca masih menerawang, ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan telepon masuk. Jasmine menghubunginya.
“Halo, selamat siang dengan Ibu Kapolres disini.” jawab Caca.
“Oh, ya Bu. Saya mau melaporkan ada tindak kejahatan kelaparan. Apa Ibu bisa menangani kasus ini?”
“Ya, saya masih ada di ruangan saya. Bisa bertemu dimana? Langsung ke TKP atau bagaimana?”
“Saya ke ruangan Ibu saja.”
“Baiklah, saya tunggu.”
Tak lama kemudian, pintu ruangannya yang terbuka diketuk pelan. Caca memang membiarkan pintu ruangannya terbuka ketika dia di dalamnya. Caca hanya menutup pintunya ketika dia melakukan diskusi penting bersifat rahasia.
“Selamat siang Bu Kapolres.” Jasmine masuk dengan tingkah laku yang dibuat-buat, memberi hormat dan membungkukkan badannya.
“Silahkan berdiri saja, tidak perlu duduk.”
“Oh baik Bu.”
“Bisa saya catat tindak kejahatannya dimana?” Caca berdiri mengambil dompet dari tasnya dan mendatangi Jasmine.
“Tindak kejahatannya ada di warung belakang kampus Bu. Di warung nasi campur.”
“Baiklah mari kita kesana.”
“Mohon maaf Bu Kapolres, bagaimana kelanjutan tentang program bagi doktor yang mau dikirim ke luar negeri untuk program pertukaran?
“Masih menunggu instruksi pusat.”
Setelah sepiring penuh dengan nasi campur dan es jeruk tanpa perbincangan, Jasmine membuka obrolan.
“Kamu sudah dapat edaran bimbingan skripsi untuk Pascasarjana angkatan tahun ini?”
Caca melongo, “Semester berapa mereka sudah dapat pembibing saja? Yang angkatan tahun-tahun sebelumnya saja banyak yang belum lulus.”
“Semester dua Caca. Bukankah biasanya begitu untuk Pascasarjana? Semester dua sudah dapat pembimbing?”
Caca menggeleng, mulutnya menyeringai aneh. “Ada di tumpukan meja itu mungkin. Aku belum sempat ngecek. Aku baru masuk ruanganku siang ini sebelum Mbak telefon.”
“Tadi pagi kamu ndak ke ruangan dulu?”
Caca menggeleng, “Pagi ini, aku agak terlambat. Di rumah ada bencana tadi.”
Mata Jasmine membelalak.
“Bencana pertanyaan kapan nikah." klarifikasi cepat Caca sebelum Jasmine berpikir macam-macam.
Mata Jasmine mengerling. Caca bercerita dengan singkat kejadian tadi pagi.
“Aku juga pengen nikah, tapi belum ada yang cocok. Mereka tidak tahu saja betapa inginnya aku menikah. Siapa yang tidak ingin menikah? Apalagi aku yang sudah berumur. Sampai aku pasang aplikasi pencarian jodoh di ponselku. Tapi, menurutku, mereka semua tidak cocok untukku. Apa aku harus membuat pengumuman di seluruh Malang raya bahwa aku sudah ingin sekali menikah? 'Kan tidak seperti itu.”
Tanpa menanggapi bualan hiperbola Caca, Jasmine justru berkata, “Aku pernah baca jurnal kesehatan. Aku lupa judulnya, tapi aku simpan di laptop. Intinya adalah peluang kehamilan berdasarkan usia. Kalau aku tidak salah ingat semakin berumur, peluang hamil semakin sedikit. Ini untuk kehamilan pertama ya. Peluang kehamilan Maya sekitar tiga belas persen.”
Sekarang mata Caca yang membelalak.
“Kalau Maya saja tiga belas persen, terus kalau aku berapa?”
Jasmine mengangkat bahunya, “Sepuluh persen.”
Caca berdehem, “Berapa?”
Jasmine tidak menjawab, malah bertanya, “Terus rencanamu sekarang bagaimana?”
Caca menggeleng sembari mengangkat bahunya.
“Terus aplikasi pencarian jodoh itu, bagaimana hasilnya?”
“Aplikasi tidak ada gunanya. Seminggu aku pakai itu langsung ku hapus.” Caca berbohong.
“Kenapa?”
“Lelaki yang katanya cocok denganku itu umurnya sudah diatas empat puluh lima tahun dan semuanya duda. Lagipula aku tidak percaya dengan aplikasi itu, bisa saja mereka memberikan informasi palsu. Bisa saja mereka hanya lelaki hidung belang yang mencari mangsa lewat aplikasi itu.”
Jasmine mengangkat bahunya.
“Kamu itu kebanyakan milih. Maaf Ca, dengan usiamu yang sekarang, pilihanmu juga semakin sedikit.”
Caca mendengus, “Kata-kata Mbak mirip seperti yang aku dengar tadi di rumah.” Dengan satu tarikan nafas panjang, Caca melanjutkan, “Nggak Mbak, aku yakin di luar sana ada lelaki yang masih single, yang status sosialnya ada di atasku, yang derajatnya lebih dariku, yang mau sama aku. Lagipula, aku hanya minta lelaki yang single dan lebih berpendidikan dariku. Aku tidak mau menikah dengan lelaki yang derajatnya lebih rendah dari aku. Aku bisa malu. Apa kata orang kalau aku yang sudah lulus S3 menikah dengan lelaki yang hanya lulusan S1? Amit-amit jabang bayi.”
Jasmine menggelengkan kepalanya tidak setuju. “Memangnya, dengan berpendidikan tinggi dan berkedudukan tinggi kemungkinan untuk menyakitimu ndak ada?”
“Ada, tapi sangat sedikit. Aku juga tidak akan mudah terperdaya ataupun disakiti. Kalau saja, Naudzubillah, aku disakiti, aku mandiri, aku bisa saja hidup sendiri tidak menggantungkan hidupku pada lelaki. Lagipula Mbak, lelaki itu sukanya memimpin. Mereka lebih suka jika perempuan yang menjadi istrinya memiliki pencapaian yang lebih rendah daripada mereka. Lelaki akan merasa tersaingi dan akan berakibat buruk di rumah tangga.”
“Kamu berani bilang seperti itu di hadapanku? Kamu tahu sendiri bahwa suamiku hanya lulusan S1. Kami baik-baik saja. Suamiku ndak pernah mengungkit-ungkit jenjang pendidikan kami. Terus apa salahnya dengan yang sudah tua? Apa salahnya kalau itu duda? Yang penting ‘kan mereka berpendidikan lebih tinggi?”
“Ya iya lah suami Mbak tidak mempermasalahkan itu. Suami Mbak 'kan gajinya dua digit."
Caca menghela nafasnya dan meneruskan, "Duda? Mereka punya anak. Iya kalau mereka mau punya anak dariku kalau tidak? Iya kalau mereka masih panjang umurnya, kalau tidak? Aku bisa-bisa mengurusi anaknya, atau lebih buruk mengurusi hari tua mereka. Lagipula kalau duda seperti itu biasanya akan menyuruhku berdiam di rumah. Aku tidak mau. Aku masih ingin mengajar. Aku tidak mau karir yang aku rintis dari nol ini menjadi sia-sia.”
Jasmine menyerah, mengangkat tangannya.
“Kamu masih takut dengan lelaki?”
“Tidak. Aku tidak pernah takut dengan lelaki. Aku hanya tidak mau siapapun mengambil keuntungan dariku. Oleh karena itu, aku sekolah tinggi-tinggi. Biar siapapun yang jadi pasanganku nanti susah mengambil keuntungan dan memanfaatkanku.”
“Itu masa lalu, kamu harusnya sudah berdamai dengan itu. Tidak semua lelaki mau mengambil keuntungan darimu dan memanfaatkanmu. Itu sudah berlalu, berapa? Tujuh belas tahun yang lalu, dan kamu masih SMA saat itu.”
“Tujuh belas tahun yang lalu. Tapi sakitnya masih terasa sampai sekarang. Aku tidak akan lupa Mbak, bagaimana dia menyakitiku. Tapi berkat dia pula aku belajar bahwa perempuan harus bisa mandiri dan tidak bergantung pada lelaki.”
“Ya, tapi sekarang saatnya kamu maju, lupakan masa lalu itu. Tidak semua lelaki mau memperalat kamu dan mencari keuntungan darimu. Masalahnya, kamu tidak pernah memberi kesempatan lelaki untuk mendekatimu. Bagaimana kamu tahu mereka berniat jahat kepadamu? Lagipula mantan kamu itu mungkin sudah menikah dan bisa jadi dia bahagia dengan istri dia sekarang. Bisa saja dia saat ini sedang bermain-main dengan anaknya. Sedangkan kamu? Kamu masih saja bergelut dengan cerita dan sakit hati masa lalu. Dia tidak pantas mendapatkan itu Ca. Kalau ini ibarat perang, kamu adalah pihak yang kalah. Dia berhasil menguasaimu sampai lebih dari tujuh belas tahun. Ini buktinya. Kamu masih sakit hati dengan perbuatannya di masa lalu.” “Balik lagi ke teori tadi Mbak. Lelaki itu kodratnya menguasai. Kalau mereka mendapatkan pasangan yang gampang dibodohi maka mereka akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Mereka akan selalu membodohi kita dan berbuat seenaknya sendiri. Sedangkan perempuan yang tidak m
“Mohon maaf Bu Syasmala, Pak Warek tidak bisa ditemui hari ini. Beliau menemani Pak Rektor ke Surabaya bertemu Ibu Gubernur.” kata seseorang di seberang telepon. “Balik hari ini atau menginap Pak?” “InsyaAllah langsung pulang Bu.” “Berarti besok bisa langsung ditemui ya Pak?” “Mohon maaf Bu Syasmala, besok hari minggu. Pak Warek tidak ke kampus.” Caca terkekeh menertawakan kebodohannya. Bagaimana dia tidak sadar kalau hari ini adalah hari sabtu? “Mohon maaf juga Pak. Saya lupa kalau hari ini adalah hari sabtu. Maksud saya adalah, apakah senin Bapak ke kantor?” “Untuk saat ini Bu, hari Senin Bapak tidak ada jadwal kemana-mana. Kalau tidak ada rencana mendadak, hari senin Bapak bisa ditemui. Saya masukkan nama Ibu untuk jadwal Bapak Warek senin pagi. Saya hubungi Ibu untuk jamnya senin pagi.” “Terima kasih Pak.” “Iya Bu, sama-sama.” Caca menutup telefonnya. Kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya karena seharusnya Pak Warek atau Wakil Rektor langsung menyetujui seperti tahun-
Dipenuhi rasa ingin tahu, Caca memberedel amplop itu. Matanya bergerak-gerak cepat. Sesaat kemudian, mulutnya menganga. Tangannya reflek menutup mulutnya yang menganga. Matanya melotot ke kertas itu lalu ke Jasmine bergantian. Caca melepaskan tangan yang menutupi mulutnya dan mulai tersenyum lebar. “Indra bimbinganku?” sorak Caca gembira. Jasmine mengangguk, “Cie… Yang dapat mahasiswa kesayangannya.” “Ya iya tah.” sambut Caca sombong. Jasmine tersenyum menang, menggoyang-goyangkan telunjuk kanannya. “Mbak, aku hanya kagum, tidak lebih. Aku sudah bilang kemarin. Dia mahasiswa paling pintar di kelas, seorang pemimpin.” Pipi Caca bersemu merah sebelum melanjutkan perkataannya, “Lagipula apa kata orang kalau aku pacaran sama brondong yang notabene itu mahasiswaku sendiri. Mbak pikir ini novel dimana guru atau dosen bisa dengan gampang menjalin hubungan dan menikah dengan muridnya. Di novel pun itu yang guru adalah seorang lelaki dan muridnya perempuan. Hidup tidak semulus roman-roman
Sabtu sore, jalanan Malang lebih padat daripada hari-hari biasa. Kota dingin itu menjadi tujuan wisata akhir minggu oleh orang-orang dari luar kota Malang. Caca sedang terjebak di lampu merah di daerah Dinoyo selama lebih dari satu setengah jam. Walau begitu, Caca tidak mengeluh. Sensasi kupu-kupu yang menggelitik perutnya terlalu menyenangkan. Kemacetan itu tidak berarti baginya. Caca menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Indra. Perbincangannya dengan Jasmine tempo hari membuatnya sadar, hatinya sudah menjadi milik Indra. Untuk pertama kalinya dalam tujuh belas atau delapan belas tahun terakhir, Caca merasakan indahnya jatuh cinta. Caca tersenyum-senyum sendiri. Berkali-kali Caca menoleh pada cermin tengah mengaca, membenarkan rambutnya, melihat pipinya yang bersemu merah. Mobil-mobil yang ada di sekililingnya seolah-olah kumpulan binatang kesukaanya, panda. Caca tidak berada di tengah kemacetan, tapi berada di hamparan hutan belantara bambu yang sejuk. Warna jingga matahari me
Tanpa berganti baju, Caca langsung telungkup di atas kasurnya. Dunianya seolah-olah berhenti berputar. Detik jam yang biasanya terdengar, sepertinya ikut-ikutan berhenti berdetak. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya terasa berlubang dan hancur. Tangan Caca menempel di dadanya. Caca berusaha meredakan rasa sakit, hancur, dan perih di dadanya dengan terus memegangi dadanya. Tak puas hanya dengan memegangi dadanya, Caca memukul-mukul kasurnya dengan keras. Caca mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul. Setelah beberapa pukulan tak bersuara dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan di kasur, Caca kelelahan dan berhenti memukuli. Tangisan Caca meledak. Air mata menetes dengan deras. Hidungnya berair mengucur. Tubuhnya berguncang di atas kasurnya, bergerak naik turun tak berirama. Caca tidak dapat memutuskan mana yang lebih sakit. Pikirannya buntu tidak dapat memilih dan memilah mana yang lebih menyakitkan diantara dua fakta yang dia ketahui. Apakah Ratu yang dilamar Zul, yan
Caca mematung di kursinya. Suara Papa menggelegar seperti petir menghantam tubuhnya. Dengan mulut menganga lebar, tangan Caca menunjuk ke dadanya. Caca melihat ke arah Mama. Mama tidak menunjukkan ekspresi apapun. Caca menoleh ke arah Mbah. Mbah mengangguk seolah menyetujui rencana Papa. Papa masih menatapnya dengan pandangan serius. Mulut Papa menganga seolah ingin berkata lebih lanjut ketika Mbah memotong Papa terlebih dahulu. “Ca, sebenarnya ini adalah ide Mbah. Mbah cuma mikirin kamu. Mbah sayang sama kamu. Di rumah ini hanya Mbah yang memikirkan kamu, yang peduli dengan kamu. Kamu ingat kemarin Mbah ke dokter Satrio?” Caca mengangguk enteng, tidak mengerti. “Dokter Satrio itu ternyata adalah cucu dari teman Nenek.” Caca semakin tidak paham dengan arah pembicaraan ini. “Terus?” sahut Caca tidak sabar. “Ya…” jawab Mama, “Kami mau mengenalkan kamu dengan dokter Satrio itu.” “Jadi aku mau dijodohkan dengan dokter Satrio itu?” Caca melotot tidak percaya. Mbah tersenyum mengan
Pikiran Caca berjalan. Secara rasional, Satrio ini adalah orang yang paling cocok dengannya. Satrio memenuhi segala kriteria yang diharapkannya. Tetapi hatinya membantah hal tersebut. Hatinya mengatakan bahwa yang Caca harapkan adalah Indra, bukan Satrio. Pikirannya menyahut apakah Indra juga mempunyai rasa yang sama dengan dirinya. Kalaupun ada rasa yang sama, lalu apa kata orang kalau dia menikahi mahasiswanya sendiri yang jauh lebih muda dan ada di bawahnya? Terlebih lagi, dia adalah seorang pejabat penting di kampus. “Ca, bukannya Mama mau mendikte kamu. Tapi menurut Mama, dokter Satrio ini adalah calon yang terbaik untuk kamu. Mama memang belum mengenal dia secara utuh dan Mama baru bertemu dokter Satrio itu dua kali. Tapi dari dua kali pertemuan itu, Mama bisa menyimpulkan kalau dokter Satrio itu adalah orang yang baik. Mama juga yakin, kalau dokter Satrio itu cocok menjadi suamimu.” Suara Mama lebih tenang sekarang. Caca mengernyitkan dahinya, ada kata-kata yang mencurigakan
Hari selasa kemarin. Satrio menutup Qur’annya ketika jam sudah menunjuk pukul lima lewat tiga puluh. Dia bersiap mandi dan berangkat. Hari selasa adalah hari yang sibuk baginya. Dia harus bekerja di tiga tempat, praktek bersama, rumah sakit swasta, dan rumah sakit umum milik pemerintah. Jam enam dia sudah siap untuk berangkat ke tempat pertama, tempat praktek bersama. Tetapi sebelum itu, dia mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan masuk. Namun, tidak ada pesan baru. Matanya terpaku pada pesan yang terletak di paling atas. Pesan ungkapan terima kasih dari seorang dokter residen yang dia bela kemarin. “Bagaimana bisa seseorang bangga pada hal yang absurd dan menganggap orang yang tidak berasal dari golongan yang sama lebih rendah derajatnya?” tanya Satrio pada dirinya sendiri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Jam sembilan kurang lima belas, pasien terakhir di tempat prakteknya bernama Sukarminingsih, perempuan, berusia tujuh puluh delapan tahun. Pasien terakhir ini