Share

Program Pertukaran Doktor

“Mohon maaf Bu Syasmala, Pak Warek tidak bisa ditemui hari ini. Beliau menemani Pak Rektor ke Surabaya bertemu Ibu Gubernur.” kata seseorang di seberang telepon.

“Balik hari ini atau menginap Pak?”

InsyaAllah langsung pulang Bu.”

“Berarti besok bisa langsung ditemui ya Pak?”

“Mohon maaf Bu Syasmala, besok hari minggu. Pak Warek tidak ke kampus.”

Caca terkekeh menertawakan kebodohannya. Bagaimana dia tidak sadar kalau hari ini adalah hari sabtu?

“Mohon maaf juga Pak. Saya lupa kalau hari ini adalah hari sabtu. Maksud saya adalah, apakah senin Bapak ke kantor?”

“Untuk saat ini Bu, hari Senin Bapak tidak ada jadwal kemana-mana. Kalau tidak ada rencana mendadak, hari senin Bapak bisa ditemui. Saya masukkan nama Ibu untuk jadwal Bapak Warek senin pagi. Saya hubungi Ibu untuk jamnya senin pagi.”

“Terima kasih Pak.”

“Iya Bu, sama-sama.”

Caca menutup telefonnya. Kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya karena seharusnya Pak Warek atau Wakil Rektor langsung menyetujui seperti tahun-tahun kemarin. Memang program pertukaran doktor ini ada dibawah pengawasan wakil rektor satu bidang akademik. Jadi semua keputusan bergantung pada Pak Warek ini.

Setelah beberapa saat termenung dan bingung, tubuhnya bersandar di kursi, bersedekap dan menatap langit-langit ruangannya. Pikirannya berpacu, apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini. 

Caca juga baru sadar kenapa dari tadi lorong yang ada di depannya sepi. Tidak ada mahasiswa yang lalu-lalang seperti hari-hari biasa. 

“Bu Jasmine sedang mengajar? Atau ada mengajar setelah ini?” ketiknya di W******p.

Tapi sebelum sempat pesan itu dikirim, Caca melirik jam yang ada di pojok kanan atas ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul satu tiga puluh. Tangannya menampar jidatnya. Caca menghapus pesan tersebut dan menggantinya menjadi, “Bu Jasmine masih di kantor atau sudah pulang?”

Tak berapa lama, Jasmine membalas, “Saya sedang persiapan pulang Bu. Ada apa?”

Caca menimbang-nimbang sebentar. Ponselnya diketuk-ketuk pelan dengan jari telunjuknya. Setelah beberapa saat berpikir, Caca memutuskan untuk mengirim pesan sebagai berikut, “Tidak apa-apa Bu Jasmine. Hati-hati di jalan.”

Caca melemparkan ponselnya ke atas mejanya. Meja yang penuh dengan kertas dan dokumen yang bertumpuk di kanan-kiri meja itu berhasil menjadi tempat mendarat ponselnya. Hanya menyisakan sedikit ruang kosong di tengah-tengah meja. Ruang kosong yang hanya cukup ditempati oleh laptop Caca. 

Caca akhirnya membuka kembali dokumen proposal pengajuan program pertukaran doktor di laptopnya. Caca langsung menuju ke halaman pengajuan dana. Mungkin saja kalau dana yang diajukan dipangkas, Pak Warek akan setuju dengan program ini. Tidak ada satupun ide yang berhasil masuk ke otaknya meskipun sudah beberapa kali membaca urutan pengajuan dana itu. Semua dana sudah dipangkas sesuai dengan kebutuhan saja ketika kemarin mengerjakan proposal ini bersama Jasmine. Kalau dana ini dipotong lagi, maka tidak akan cukup. 

Nafas panjang terhembus dari kedua hidungnya yang mancung dan tangan kanannya menggaruk-garuk punggung tangan kiri. 

Belum sempat Caca menyunting apapun, pintu ruangannya yang terbuka diketuk.

Jasmine berdiri di depan ruangannya. Dia memang sudah siap untuk pulang.

“Ada apa Bu Kapolres?”

“Katanya pulang?”

“Ndak, kamu tanya seperti itu biasanya ada yang penting.”

Caca menggeleng, “Tidak ada apa-apa.”

Jasmine masuk ke ruangan Caca. Dia meletakkan tasnya dan duduk di kursi depan meja kerja Caca. 

“Ndak mungkin kalau ndak ada apa-apa.” balas Jasmine.

Caca menghela nafasnya, dia berdiri dan menutup pintunya sebelum berkata, “Pak Warek tidak setuju dengan program pertukaran doktor. Beliau bilang universitas sedang kekurangan uang, makanya program itu mau ditunda atau dibatalkan sekalian.”

Mata Jasmine melotot, “Bagaimana Pak Warek ini. Kegiatan ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan reguler, masa mau dibatalkan? Masa mau dibatalkan saat jatah kita berangkat? Ndak mau aku. Tahun kemarin saja, saat jatah fakultasnya Pak Warek yang berangkat, pengajuan dananya lebih dari kita.”

“Aku juga sudah bilang seperti itu. Kubilang, pengajuan dana kita berdasarkan proposal tahun lalu dan bahkan ada beberapa item yang dikurangi dan dihilangkan.”

“Terus Pak Warek jawab bagaimana?”

“Ya itu tahun lalu Bu Syasmala, tahun ini beda lagi. Anggaran tahun lalu dan anggaran tahun ini juga berbeda.”

Jasmine telihat sangat kesal. Mulutnya monyong-monyong seolah-olah memperagakan kata-kata itu keluar dari mulutnya. “Padahal pertukaran doktor itu sudah menjadi agenda rutin tiap tahun, anggaran pun seharusnya sudah disiapkan. Mau universitas kekurangan uang, kalau sudah dianggarkan 'kan harus tetap jalan.”

Caca hanya mengangkat bahunya.

Jasmine membuka jaketnya, “Apa yang bisa aku bantu?”

“Tidak ada. Mbak pulang saja. Ini malam minggu. Weekend. Kerja terus tidak istirahat. Proposal dan masalah ini dipikir hari senin saja. Mbak harusnya di rumah bersama Si Kembar dan Suami Mbak. Bukan disini mengurusi hal ini.”

Jasmine mengibaskan tangannya dan berkata, “Ndak, kamu bilang begitu soalnya ndak enak sama aku. Kamu pasti masih di sini mengerjakan ini. Harusnya yang bilang seperti itu aku kepadamu. Ingat Ca, hidup ndak hanya kerja, butuh istirahat.”

Caca tersenyum kecut, “Aku malas di rumah.”

“Kamu di suruh nikah lagi?”

“Nikah lagi? Nikah sekali saja belum sudah disuruh nikah lagi? Mbak ini bagaimana?” Caca sewot.

Jasmine terkekeh disambut juga Caca yang terkekeh.

“Apalagi kalau bukan itu. Tapi ada yang aneh. Aku merasa orang rumah sedang merencanakan sesuatu.”

“Maksudmu?”

“Orang rumah merahasiakan sesuatu dariku. Biasanya, mereka berbicara dan berdiskusi di meja makan, tempat favorit orang rumah. Tapi sekarang mereka lebih suka berdiskusi dan berbincang di gazebo belakang. Beberapa kali aku melihat Papa dan Mama ada di gazebo belakang berbincang serius. Kadang kala Ratu juga ikut nimbrung.”

Jasmine mengibaskan tangannya, “Paling orang rumah bosan di ruang makan, butuh suasana baru? Atau kalau tidak kamu mau dinikahkan paksa. Kamu mau dijodohkan.”

Caca tergelak dan mengolok-olok, “Dengan pangeran berkuda dari negeri seberang. Baju zirah dari besi yang mengkilat, pedang yang terhunus, bermahkotakan emas dan permata.”

“Memangnya kalau kamu dijodohkan kamu mau?”

Caca hanya mengangkat bahunya. “Kalau pangeran berkuda dari negeri sebarang ini lajang, memiliki status sosial dan derajat yang lebih tinggi dari aku, dan lebih tua daripada aku, maka dengan segenap hati dan tangan terbuka aku akan menerimanya.”

Jasmine menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan pernyataan Caca barusan. 

Maka, Jasmine duduk dan mengeluarkan laptopnya. Ketika menunggu laptopnya menyala dengan sempurna, pandangan Jasmine terpaku pada amplop warna coklat yang tergeletak di tumpukan berkas-berkas. Jasmine mengambil amplop tersebut dan mengacung-acungkannya pada Caca. 

“Kamu belum buka ini dan membacanya?” Jasmine menyodorkan amplop itu ke Caca, “Kamu akan kaget begitu kamu tahu siapa yang ada di bawah bimbinganmu.”

Caca mengambil amplop yang berisi surat tugas bimbingan thesis untuk mahasiswa S2 dari tangan Jasmine. Dengan pandangan ingin tahu, dia melihat balik ke Jasmine.

“Buka saja, kamu akan tahu sendiri.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status