“Begini, bukannya Mas mau mengekang Adik, Mas tahu kita sekarang belum ada ikatan apapun. Tapi, meskipun begitu, Mas sudah siap menikahi Adik, seharusnya itu sudah menjadi komitmen diantara kita berdua.”Caca tidak paham sama sekali apa yang dikatakan oleh Satrio.“Mas sudah berkomitmen untuk menikahi Adik dalam waktu dekat. Meskipun sebenarnya Mas bisa kapanpun menikahi Adik termasuk sekarang juga, tapi tampaknya kita tidak bisa melaksanakan hal tersebut.”Sejenak Caca tertegun. Caca tidak percaya dengan telinganya sendiri bahwa dia mendengar Satrio mengajaknya menikah saat ini juga. Hati kecil Caca bertanya apakah Satrio sudah gila untuk merubah rencana yang telah ditetapkan dan berniat untuk menikahinya saat ini juga? Pernikahan macam apa yang dilaksanakan mendadak tanpa ada persiapan sama sekali?“Mas, mohon jangan berbelit-belit. Langsung saja ke intinya.” Sergah Caca.“Mas akan tiba ke intinya sebentar lagi. Mohon Adik sabar sebentar.”Satrio mengambil nafas, “Mas sudah bicara p
Indra memutar-mutarkan cangkir kopinya dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menahan pipi kirinya di meja. Kegiatan itu sudah dia lakukan selama lebih dari sepuluh menit.Plok…Satu tepukan mendarat di punggungnya. Tepukan tersebut, meskipun pelan, cukup untuk membuat Indra terlonjak dan menumpahkan sebagian isi cangkirnya ke meja.“Nggak bagus pagi-pagi nglamun Ndra.” kata Ibuk.“Yang melamun siapa Buk? Aku tidak melamun.” kilah Indra sembari mengelus dadanya berusaha membuat detak jantungnya normal.“Terus yang kamu lakukan tadi apa? Meramal?” tanya Ibuk seraya menyerahkan lap meja pada Indra.Indra menghela nafasnya lalu mengambil lap meja dan mengelap tumpahan kopinya.“Ada apa Ndra?”Indra masih terdiam. Tangannya reflek menggaruk bagian belakang kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.“Bingung Buk.” jawab Indra singkat.Dahi Ibuk berkerut, mengambil duduk di samping Indra, dan bertanya, “Apa yang dibingungi?”Bibir Indra mengecap. Pandangannya kosong menatap dinding di
“Ibuk tidak bermaksud menghalangimu untuk ke Jakarta. Kalau kamu mau ke Jakarta, pergi saja. Kamu tidak perlu memikirkan Ibuk. Kamu tidak perlu memasukkan Ibuk ke dalam pertimbangan kamu.”Indra menghela nafasnya. Lagi-lagi Indra ragu. Apakah ini saat yang tepat untuk berbicara jujur pada Ibuk?“Ibuk ada pertimbangan sendiri tidak mau ikut tinggal dengan kamu di Jakarta. Ada menantu perempuan yang merasa mertua perempuannya terlalu berkuasa atas anak lelakinya. Si mertua sangat perfeksionis dan merasa bahwa si anak lelaki adalah anaknya dan dialah yang paling tahu segalanya tentang anak lelakinya. Mertua perempuan sama sekali tidak memberikan ruang untuk si menantu berbakti pada suaminya. Ada juga perbedaan mengasuh anak jika nanti sudah punya anak. Menurut si mertua, cara mendidik anak yang terbaik adalah menurut dia. Si mertua tidak memberikan ruang bagi si menantu untuk mendidik anaknya sendiri.”“Tapi Ibuk ‘kan tidak begitu.”“Memang Ibuk tidak begitu. Tapi suatu saat pasti ada sa
Hari kamis itu, tiga hari sebelum ujian akhir semester, cuacanya cerah. Matahari bersinar terang di timur di atas puncak Semeru. Angin dingin musim kemarau mulai merayap.Hati Indra, demikian juga, ikut cerah. Ada lampu hijau dari Ibuk atas hubungannya dengan Caca. Tidak, bukan lampu hijau, tapi ada harapan agar hubungannya dengan Caca disetujui oleh Ibuk. Indra hanya bisa berharap agar pertemuan Ibuk dengan Caca nantinya berjalan dengan lancar dan Ibuk mau memberikan lampu hijau.Indra yang sudah menyampirkan handuk di bahunya bersiap mandi, tiba-tiba mengambil ponselnya. Dengan semangat membara dan hati yang berbunga-bunga, jari-jarinya menari-nari cepat diatas papan ketik. “Pagi, My Precious. Hari ini ada ngajar jam berapa saja?” bunyi pesan Whatsapp Indra ke Caca.Mata Indra masih terpaku untuk beberapa saat ke layar ponselnya. Indra mengharapkan balasan dari Caca segera. Dua centang di layar ponsel Indra masih berwarna abu-abu. Matanya melirik jam, sudah jam enam lebih. Tidak mu
Mata Indra terbelalak ketika melihat isi ruangan tersebut. Mulutnya kelu, lidahnya kaku. Keringat dingin meluncur. Pandangannya kabur.“Ya Mas?” tanya seorang lelaki dewasa yang juga tak kalah bingung.Hanya dengungan dari mulut Indra yang terdengar. Yang dirawat di ruangan tersebut bukanlah Ibuk. Begitu Indra masuk ruangan, ada orang lain yang dirawat di ruangan itu. Dia harus beberapa kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa ruangan yang dia masuki benar. Indra meminta maaf dan segera berlalu dari kamar itu.Dengan perasaan malu dan panik, Indra setengah berlari menuju ke Nurse Station dan menanyakan Ibuknya. Indra tidak bisa melihat jelas kecuali apa yang ada di depannya. Telinganya juga sedikit tuli karena jantungnya yang berdetak lebih cepat. Keringat bermunculan di dahi dan kepalanya. Indra didera ketakutan yang absolut. Dia takut, ada hal yang mengerikan terjadi pada Ibuk.Apa yang dia dengar dari para perawat membuatnya lebih kaget lagi. Perawat mengatakan bahwa Ibuknya dipindah
“Tadi Nak Izzy telpon ke ponsel Ibuk. Mbakmu yang menjawab. Mbakmu bilang kalau Ibuk lagi sakit dan dirawat di rumah sakit.”Kepala Indra tertunduk lesu. Jauh di dalam dirinya, dia ingin merahasiakan soal Ibuk. Indra tidak berniat mengumumkan ini pada siapapun. Jangankan pada Izzy, kepada Caca saja Indra tidak berkata apapun soal Ibu. Meskipun jauh di dalam hatinya Indra tahu, Caca akan segera menghubungi atau membalas pesannya jika Indra menyebutkan bahwa Ibuk masuk rumah sakit.“Tiba-tiba saja dia datang dan minta kamarnya Ibuk dipindah. Ibuk dan Mbakmu bahkan tidak punya kuasa untuk menolaknya. Seolah-olah semua perawat itu tunduk kepadanya. Ibuk lihat tadi semua perawat itu kenal dengan Nak Izzy kok.”Mata Indra berkerut. Dalam hatinya, dia bertanya, “Jangan jangan …” Indra terdiam sejenak. Pikirannya mencoba berputar-putar mengingat sesuatu, namun gagal.“Terus parcel sebanyak itu darimana?” tangan Indra bergerak menunjuk mengelilingi ruangan.Ibuknya menggeleng. Indra menatap Mb
Hari selasa kemarin. Hari dimana Indra dan Caca bertemu tatap muka sebelum Caca menghilang bagai ditelan bumi.Hari selasa itu, Caca menyampaikan kisi-kisi ujian akhir semester untuk mata kuliahnya. Sepanjang kelas, Caca hanya mengulangi materi yang diajarkan sepanjang semester, atau dalam hal ini, Caca hanya mengulangi hasil presentasi tiap kelompok sepanjang semester. Indra memandangi Caca sepanjang kelas. Dan akibat hal itu pulalah, semua yang keluar dari mulut Caca gagal masuk ke otaknya.Sementara itu, Caca beberapa kali melihat ke arahnya. Senyuman tipis yang hampir tak tampak bagi mata orang awam tersungging di bibir Caca. Senyuman yang hanya untuk Indra. Selasa itu, Indra tidak bertegur sapa dengan Caca. Dan memang seperti itulah biasanya. Caca setelah kelas akan langsung meninggalkan kelas tanpa menoleh ke belakang untuk mencari Indra. Dan Indra juga tidak akan mengejar Caca.Kepala Indra menggeleng. Dia yakin tidak ada yang aneh selasa kemarin. Indra tidak merasakan keanehan
Satrio duduk diam menunggu jawaban dari Caca yang juga terdiam duduk di depannya. Pertanyaan krusial yang akan menunjukkan arah hubungan mereka berdua. Pandangan Satrio ke bawah, ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Seharusnya, kalau Caca benar-benar mencintaiku dan menginginkanku, jawaban itu akan meluncur mulus dari mulutnya tanpa pikir panjang.” kata Satrio dalam hati.Satrio tidak tahu sudah berapa lama waktu berjalan sejak pertanyaan itu dilempar. Yang dia rasakan hanyalah waktu yang berjalan sangat lambat.Saat itulah, ponsel Satrio tiba-tiba menyala, berdering dengan menampilkan nama Irene di layarnya. Irene meneleponnya.“Dokter ada dimana? Bisa ke rumah sakit sekarang?” Suara Irene terdengar panik.“Saya ada di luar. Ada apa?” jawab Satrio sambil berdiri. Jauh dari lubuk hatinya, Satrio merasakan ada hal yang salah dengan telepon Irene.“Ada pasien lelaki muda kecelakaan dan jantungnya tidak berdetak dengan normal dan pasien mengalami syok yang hebat dan pendaraha