Sangat melelahkan.Wina pikir saat kedua kali naik kendaraan laut, ia akan baik-baik saja. Nyatanya untuk kedua kalinya ia harus mengalami mabuk laut saat kapal itu membawanya kembali dari Pulau Karimunjawa.Namun selelah apapun tubuh kecilnya, Wina harus kembali bekerja. Ia tidak tahan dengan gangguan majikannya yang terus menerornya dengan panggilan dan pesan teks sejak ia naik kapal laut. Majikannya itu selalu menanyakan kapan ke apartemen, kapan bekerja lagi, dan berujung menyuruhnya langsung kembali bekerja siang itu juga.Tanpa sempat berganti pakaian, Wina datang ke apartemen Dirga dengan muka lusuhnya. Bersiap diomeli karena ia akan tetap bungkam perkara alasannya libur kemarin.Ceklek!Begitu ia membuka pintu utama, Dirga langsung menyambutnya. Seakan ia sudah menunggu sejak lama. Wajah leganya langsung terlihat saat asistennya sudah di depan matanya.“Nyil, finally!” soraknya. Ia bahkan langsung bergegas menghampiri Wina dan memeluknya tanpa aba-aba.Wina yang tubuhnya terbe
Sudah lebih dari 10 menit Wina mengurung diri di kamar mandi sejak insiden ‘penyingkapan kaos’ oleh Dirga. Ia tidak menduga jika Om Dokternya yang kata orang lain anti sentuh-menyentuh dengan wanita akan berbuat segila itu.Mungkin bagi Dirga sentuhan tadi hanya dilakukan dengan tujuan pemeriksaan kesehatan. Tapi bagi Wina, tindakan tersebut cukup membuat jantungnya berbunyi sangat berisik. Selain dengan ayahnya, selama ini Wina tidak pernah melakukan kontak fisik berlebihan dengan spesies laki-laki manapun.Wina mencuci wajahnya dengan harapan akan menyamarkan wajah merahnya dan meredam hatinya yang sudah deg-degan tidak karuan. Saat bercermin, tiba-tiba fokus matanya beralih pada bibirnya. Bibir yang pernah bertingkah nakal berlabuh di bibir Dirga.Ia menyentuh dadanya, merasakan jantungnya yang kembali berdentum kencang.“Nyil, mau aku bantu obatin memarnya atau—”“Aku obatin sendiri, Om!” Sahutnya saat Dirga berteriak dari luar kamar mandi.Tak berselang lama, pintu kamar mandi di
“Om, aku laper!”Entah sudah berapa kali Wina mengocehkan hal yang sama. Berapa kali juga Dirga tak mengindahkan rengekan asistennya. Ia tetap fokus melajukan mobilnya melintasi jalanan yang cukup ramai. Sebentar lagi waktunya jam pulang kerja, jadi ia tidak mau kena macet sebelum ke tempat tujuan.Tadi setelah mengobati luka Wina di rumah sakit, Dirga langsung mengajaknya keluar. Mumpung masih sore belum waktunya kerja, katanya.“Kamu mau makan enak?” Tawarnya setelah melihat wajah Wina tak bersahabat. Ternyata makhluk kecil di sampingnya benar-benar kelaparan.“Tadi buka baju, sekarang Om mau minta apa lagi? Buka celana?” sarkasnya.Dirga tertawa, “emang boleh?”“Om!” Teriak Wina memenuhi mobil Dirga.***Ciiit!Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah makan yang terlihat sederhana. Tanpa menunggu sang ‘supir’ keluar, Wina langsung bergegas turun dengan wajah berbinar.“Nyil, kemana?” Teriak yang belum beres memarkirkan mobilnya.Belum sampai pintu masuk rumah makan, Wina
Dirga menahan kantuk sejak semalam ia mendapat shift malam. Secangkir kopi instan terhidang untuk menhan kantuknya. Berkali-kali ia melihat alroji yang terpasang di tangan. Sudah lewat jam 6, tapi orang yang di tunggu belum juga datang.Ia meraih ponselnya, bermaksud menghubungi seseorang yang seharusnya sudah ada di apartemennya untuk bekerja. Namun tiba-tiba pintu utama terbuka, muncullah Wita, seseorang yang sudah ditunggunya sejak pulang kerja.Dirga yang duduk di ruang tamu memberi kode pada Wita lewat tatapan matanya untuk duduk di sofa. Wita sedikit penasaran, kenapa majikannya menyambutnya dengan wajah serius.“Maaf, tadi dari pasar dulu. Kata Wina kulkas sudah kosong,” jelasnya tanpa diminta. Kemudian ia maletakkan barang belanjaannya di pantry sebelum menyusul Dirga di ruang tamu.Saat sudah di dekatnya, Wita bisa melihat dengan jelas luka yang ada di leher majikannya. Diamatinya sejenak, “itu, kenapa, Pak?” Wita berpura-pura tidak tahu.Ya, sebenarnya ia tahu persis asal us
Dengan terpaksa, Wita masuk ke kamar majikannya. Memeriksa bawah ranjang king size tersebut. Ia berjalan ragu. Lampu kamar ia nyalakan semua. Gorden dan jendela ia buka lebar-lebar.Sedikit was-was, ia mengendap-endap seperti maling. Tak lupa tangannya memegang sapu dengan erat. Perlahan ia jongkok. Merapalkan beberapa kata untuk menenangkan dirinya.“Sendirinya juga takut. Sok-soan ngerjain orang,” ledek sang empunya kamar dari ambang pintu.Ssttt!Dengan pedenya pria berusia menjelang kepala tiga itu masuk sambil menenteng camilan. Seakan pekerjaan Wita adalah tontonan menarik.“Tapi aku gak naruh bunyi-bunyian,” Wita menatap horor ranjang majikannya. Apalagi saat terdengar bunyi dari kolong tempat tidur.Buk buk buk!Dirga ikut mendengar dengan seksama. Melihat wajah ketakutan ART-nya, keberaniannya menguap. Ia mengambil ancang-ancang siap lari.Berbekal lampu senter dari ponselnya, Wita memeriksa kolong ranjang yang hanya berjarak 20 cm dari lantai. Begitu cahaya senter menerangi
Semenjak tragedi file tesis yang menghilang tanpa jejak, pola hidup Dirga memang sangat berantakan. Masa ‘berkabungnya’ bahkan sampai satu minggu. Alkohol dan rokok tidak pernah absen seharipun. Ditambah setelah masuk kerja, ia langsung mendapat jatah 2 kali shift malam berturut-turut. Tidurnyapun jelas terganggu.Jadi, tak heran jika tubuhnya langsung protes.Tadi pagi saat menunggu Wita, sebenarnya tubuhnya sudah demam. Sayangnya, terjadilah peristiwa burung hantu plus tubrukan Wita yang membuatnya jatuh. Jadi ia harus menunggu beberapa saat untuk merebahkan tubuhnya di kasur empuknya.Ternyata tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Dirga juga enggan meminta bantuan pada asistennya yang tengah berkutat membersihkan kamarnya. Akhirnya ia memilih sofa panjang sebagai tempat berlabuh—meski tidak bisa menampung seluruh kakinya.Setelah tertidur cukup lama, ia merasakan goncangan pelan di lengannya. Sebenarnya ia sadar dan dengar suara-suara di sekitarnya. Termasuk suara Wita yang memanggilnya
Mansion utama keluarga Hermanto terbangun di atas tanah yang luasnya hampir mencapai satu hektare. Setiap sudutnya menegaskan kemewahan dan kekayaan pemiliknya. Fasilitasnya pun tak kalah lengkap. Berjejer 20 kamar, ruang tamu mewah bertema Eropa klasik, ruang keluarga yang mampu menampung hingga 50 orang lebih, dan banyak lagi ruangan-ruangan berkapasitas besar.Jangan lupakan fasilitas gym, jogging track, kolam renang, taman, rumah kaca, garasi mobil dan kendaraan lainnya, mini studio foto, home teater, gudang wine berusia lebih dari 20 tahun, air terjun buatan di halaman belakang, serta masih banyak lagi.Tentunya paviliun sendiri di sayap kanan mansion khusus para pembantu, tukang kebun, dan pegawai lainnya.Namun di balik semua kemawahan ada satu ruangan yang paling dihindari oleh semua penghuni mansion dan anak-cucu Hermanto.Ruang pribadi Hermanto.Hanya ada dua kemungkinan alasan seseorang dipanggil ke ruangan tersebut yakni 20 persen akan mendapatkan hadih, dan sisanya akan
“Mau aku bantu dapatkan Dirga?”Sheryl menoleh, mencari suara bariton yang tiba-tiba menghampirinya. Tadinya dokter ber-IQ 140 itu enggan menggubris pria yang mendekatinya. Namun mendengar nama Dirga disebut, ia tertarik untuk sekedar mendengarnya.Pagi itu, Sheryl sedang menunggu supirnya. Ia baru saja lari pagi di tempat biasanya Dirga lari pagi. Sayangnya sudah lebih dari tiga putaran ia lari, pria yang ditunggu tak juga datang. Sheryl menyerah dan meminta supirnya segera menjemputnya.Saat sedang menunggu di pinggir jalan sembari menggulir layar ponselnya, pria yang ia tahu merupakan sepupu Dirga mengatakan hal yang menarik atensinya.Mereka tidak perlu saling mengenalkan diri. Karena meski tak berteman, mereka pernah beberapa kali bertemu saat bermain bersama Dirga. Atau saat ada acara keluarga Hermanto.“Maaf, saya tidak tertarik.”Tentu saja Sheryl tak langsung percaya. Terlebih lagi pada sepupu Dirga satu ini yang terkenal paling ‘gila’. Selain itu Ia juga harus menjaga image-