“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
Di anak tangga taman selebar 80 cm yang terbuat dari batu alam, suasana semakin akward. Di taman yang tak jauh dari rumah sakit, Dirga yang sedang menyalakan rokok menggeser duduknya karena gadis remaja yang duduk di sampingnya terus menatapnya heran sedari tadi. Ehem! Dirga berdehem untuk sekedar mengurangi kecanggungan. Merasa risih, ia mematikan rokoknya. Kemudian menyeruput kopi yang masih hangat dalam gelas sekali pakai. “Itu minumannya ....” Setelah hanya menatap, gadis itu akhirnya bicara sambil menunjuk kopi di tangan Dirga. “Kenapa? Pingin?” Tanya Dirga, laki-laki berkulit tan dengan nada ketus. Setelah melirik sedikit ke arah gadis remaja yang memakai pakaian olahraga dengan rambut dikuncir kuda. Gadis itu menggeleng. “Bukan. Itu minumannya tadi ada lalatnya.” Uhukk! Minuman yang sudah sampai di ujung tenggorokan membuatnya tersedak karena berusaha untuk dimuntahkan. Ia terus terbatuk-batuk dengan tangan yang sibuk menepuk-nepuk dadanya. Sambil menahan tawa, gadis remaj
Obrolan absurd antara Wina dan Dirga di taman rupanya menarik perhatian Rizal, lelaki yang bekerja di rumah sakit tempat Dirga mengobati pasiennya. Awalnya ia masa bodoh dengan percakapan random tersebut. Tapi mendapati kejadian langka—Dirga meladeni orang asing—membuat Rizal akhirnya sengaja mencuri dengar percakapan mereka. Melihat hal tersebut, Rizal seakan mendapat jawaban untuk melancarkan misinya. Misi menghancurkan Dirga tanpa harus menggunakan tangan sendiri. Ya, Rizal akan memanfaatkan Wina untuk melaksanakan aksinya. Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum dikalangan dokter di Rumah Sakit Cipta Medika bahwa hubungan antara Dirga dan Rizal tidak pernah berjalan baik. Mereka selalu berkompetisi dalam segala hal, baik urusan pekerjaan hingga urusan pribadi. Tapi pihak Rumah Sakit tetap membiarkannya, karena bagaimanapun Dirga dan Rizal merupakan keluarga dari pemilik Rumah Sakit tersebut. Mereka berdua memang seumuran, tapi Dirga kini sedang mengambil spesialisasi sedangkan Ri
Wina terus berjalan mengikuti laki-laki berseragam putih itu menuju taman Rumah Sakit yang malam itu suasananya sudah sepi. Kalimat singkat yang dilontarkan Dokter Rizal tentu membuatnya bingung. Pasalnya mereka tidak saling kenal dan tidak merasa memiliki hutang budi. “Saya tahu kita tidak saling kenal, tapi percaya saya tidak ada maksud untuk berbuat jahat.” Ucap Rizal memulai percakapan. Mereka memutuskan duduk di bangku taman yang mendapat penerangan remang-remang dari lampu taman. Rizal berdehem lirih untuk menetralkan suaranya, “seperti yang tadi saya bilang. Saya akan menanggung biaya rumah sakit ayah kamu!” Sepanjang perjalanan dari bangsal tempat ayahnya dirawat menuju taman rumah sakit, Wina berpikir keras maksud dari perkataan sang dokter residen. Hingga ia mendapat sebuah pemikiran yang menurutnya paling masuk akal. “Dokter merangkap jadi rentenir, ya?” “A-apa?!” Mata sipit Rizal membulat seketika. Baru kali ini ia dituduh seperti itu oleh orang lain. Orang asing pu
Setelah obrolan semalam dengan dokter Rizal, Wina jadi tidak bisa tidur nyenyak. Kartu nama yang semalam diselipkan di saku jaketnya hanya dibolak-balikkan hingga salah satu ujungnya tak lagi runcing. Tawaran itu sungguh menggiurkan, tapi beresiko dan sulit. Ia meletakkan kartu nama berwarna biru itu di atas nakas dekat dengan piring yang hanya berisi 3 buah jeruk. Kemudian ia mengambil smartphone-nya dan kembali membuka 2 pesan yang belum dibalasnya. Kata Pak Gun kamu harus secepatnya ngajuin judul skripsi. Ngejar target wisuda semester ini. GAK USAH CUTI LAGI! Pesan dari Edo—teman kuliahnya—membuatnya tersenyum pedih mengingat alasan mengapa ia cuti kuliah. Semester kemarin, seharusnya ia disibukkan dengan skripsi dan persiapan wisuda dari pendidikan strata 1 jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tapi kecelakaan sepeda motor yang ditumpangi ayahnya, ibunya, dan adik pertamanya membuat Wina sibuk di rumah sakit. Ayahnya selamat, tapi sudah lebih dari 4 bulan terbaring koma. Adik per
Sayang sekali ruang inap ayahnya dan kantin rumah sakit jaraknya cukup jauh. Jadi Wina harus lari mengejar waktu sebelum pukul 12 siang. 11.57! Hosh..hosh Melihat Rizal duduk di kursi ujung kantin, Wina segera berlari dan berhenti tepat di belakang Rizal sambil menata nafasnya. “11.58! Dua menit lagi perjanjian hangus,” tegur Rizal sambi melihat jam tangan tanpa menoleh ke arah Wina. Sembari menyeka keringat, Wina berjalan dengan wajah cengengesan. Tanpa disuruh, ia duduk di kursi sebrang laki-laki yang mengenakan kemeja merah maroon yang sudah tidak rapi. Belum lagi matanya yang sangat terlihat sayu. Ngantuk katanya. “Kan masih ada last minute, Dok.” “Jadi?” tanya Rizal menagih jawaban begitu selesai menyeruput separuh gelas jus jambu. Dengan senyum yang dibuat manis, Wina menggeser gelas milik Rizal yang masih terasa dingin ke arah kiri. Ia mengulurkan tangan kanannya pada Rizal. “Deal!” Akhirnya, Wina mengambil keputusan yang tanpa ia sadari akan mengubah rute hidupnya. Be
Seperginya Edo, Wina segera menghubungi Rizal untuk mengirimkan e-mail tentang perjanjian kerjasama aneh mereka. Kerjasama ini merupakan pekerjaan ter-absurd yang pernah ia temui. Tapi harus ia terima karena sedang membutuhkan biaya banyak. Semester ini memang bulan-bulan terberat bagi Wina dan keluarganya. Bahkan ia pernah berpikir untuk berhenti kuliah karena tidak tega melihat ibunya harus bekerja keras mencari nafkah, mengurus rumah, memikirkan suami dan anaknya. Ketika Wina meminta izin untuk berhenti kuliah dan memutuskan untuk bekerja, ibunya langsung menolak dengan tegas. Bagi ibunya, jika ia tidak bisa memenuhi kebutuhan anaknya, maka ia tidak ingin menambah beban anaknya. Ting! Bunyi pesan di ponselnya membuyarkan lamunan Wina. Pesan melalui e-mail dari Rizal tentang perjanjian kerjasamanya. Ia segera membuka dan membacanya dengan seksama. PERJANJIAN KEJASAMA Misi Rahasia Nama : Rizal Dwi Hermanto Selanjutnya disebut sebagai pihak PERTAMA Nama : Wina Widyawati Selan
Saat ini Wina sedang berada di minimarket untuk membeli beberapa camilan ringan. Lebih tepatnya camilan murah, sih. Ia sangat terkejut karena melihat Dirga—Target Misinya—sedang mengantri di kasir. Winapun langsung bersembunyi di rak-rak jajan sambil mengawasi targetnya. Ia juga melihat si Dokter Cerobong Asap menenteng snack, lalu merogoh uang bergambar dua tokoh proklamator Indonesia. Memang sih, Wina juga ragu kalau sang dokter masih mengingatnya. Tapi untuk berjaga-jaga, ia bersembunyi dengan bergeser ke bagian mesin penyeduh kopi dan mie instan. Lumayan deh buat hangat-hangat mie-nya. Setelah beberapa menit Wina yakin Dirga sudah pergi, ia pun berniat untuk membayar di kasir. Tapi naas, mie instan dalam cup yang masih panas tumpah karena ia menabrak laki-laki di belakangnya. “Oh, Shit!” teriak laki-laki yang tingginya 30 centi di atas Wina. “Maaf-maaf,” ucap Wina dengan tangan sibuk membersihkan mie instan yang berserakan menempel di kemeja biru langit milik laki-laki kini se