“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
Di anak tangga taman selebar 80 cm yang terbuat dari batu alam, suasana semakin akward. Di taman yang tak jauh dari rumah sakit, Dirga yang sedang menyalakan rokok menggeser duduknya karena gadis remaja yang duduk di sampingnya terus menatapnya heran sedari tadi. Ehem! Dirga berdehem untuk sekedar mengurangi kecanggungan. Merasa risih, ia mematikan rokoknya. Kemudian menyeruput kopi yang masih hangat dalam gelas sekali pakai. “Itu minumannya ....” Setelah hanya menatap, gadis itu akhirnya bicara sambil menunjuk kopi di tangan Dirga. “Kenapa? Pingin?” Tanya Dirga, laki-laki berkulit tan dengan nada ketus. Setelah melirik sedikit ke arah gadis remaja yang memakai pakaian olahraga dengan rambut dikuncir kuda. Gadis itu menggeleng. “Bukan. Itu minumannya tadi ada lalatnya.” Uhukk! Minuman yang sudah sampai di ujung tenggorokan membuatnya tersedak karena berusaha untuk dimuntahkan. Ia terus terbatuk-batuk dengan tangan yang sibuk menepuk-nepuk dadanya. Sambil menahan tawa, gadis remaj
Obrolan absurd antara Wina dan Dirga di taman rupanya menarik perhatian Rizal, lelaki yang bekerja di rumah sakit tempat Dirga mengobati pasiennya. Awalnya ia masa bodoh dengan percakapan random tersebut. Tapi mendapati kejadian langka—Dirga meladeni orang asing—membuat Rizal akhirnya sengaja mencuri dengar percakapan mereka. Melihat hal tersebut, Rizal seakan mendapat jawaban untuk melancarkan misinya. Misi menghancurkan Dirga tanpa harus menggunakan tangan sendiri. Ya, Rizal akan memanfaatkan Wina untuk melaksanakan aksinya. Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum dikalangan dokter di Rumah Sakit Cipta Medika bahwa hubungan antara Dirga dan Rizal tidak pernah berjalan baik. Mereka selalu berkompetisi dalam segala hal, baik urusan pekerjaan hingga urusan pribadi. Tapi pihak Rumah Sakit tetap membiarkannya, karena bagaimanapun Dirga dan Rizal merupakan keluarga dari pemilik Rumah Sakit tersebut. Mereka berdua memang seumuran, tapi Dirga kini sedang mengambil spesialisasi sedangkan Ri
Wina terus berjalan mengikuti laki-laki berseragam putih itu menuju taman Rumah Sakit yang malam itu suasananya sudah sepi. Kalimat singkat yang dilontarkan Dokter Rizal tentu membuatnya bingung. Pasalnya mereka tidak saling kenal dan tidak merasa memiliki hutang budi. “Saya tahu kita tidak saling kenal, tapi percaya saya tidak ada maksud untuk berbuat jahat.” Ucap Rizal memulai percakapan. Mereka memutuskan duduk di bangku taman yang mendapat penerangan remang-remang dari lampu taman. Rizal berdehem lirih untuk menetralkan suaranya, “seperti yang tadi saya bilang. Saya akan menanggung biaya rumah sakit ayah kamu!” Sepanjang perjalanan dari bangsal tempat ayahnya dirawat menuju taman rumah sakit, Wina berpikir keras maksud dari perkataan sang dokter residen. Hingga ia mendapat sebuah pemikiran yang menurutnya paling masuk akal. “Dokter merangkap jadi rentenir, ya?” “A-apa?!” Mata sipit Rizal membulat seketika. Baru kali ini ia dituduh seperti itu oleh orang lain. Orang asing pu
Setelah obrolan semalam dengan dokter Rizal, Wina jadi tidak bisa tidur nyenyak. Kartu nama yang semalam diselipkan di saku jaketnya hanya dibolak-balikkan hingga salah satu ujungnya tak lagi runcing. Tawaran itu sungguh menggiurkan, tapi beresiko dan sulit. Ia meletakkan kartu nama berwarna biru itu di atas nakas dekat dengan piring yang hanya berisi 3 buah jeruk. Kemudian ia mengambil smartphone-nya dan kembali membuka 2 pesan yang belum dibalasnya. Kata Pak Gun kamu harus secepatnya ngajuin judul skripsi. Ngejar target wisuda semester ini. GAK USAH CUTI LAGI! Pesan dari Edo—teman kuliahnya—membuatnya tersenyum pedih mengingat alasan mengapa ia cuti kuliah. Semester kemarin, seharusnya ia disibukkan dengan skripsi dan persiapan wisuda dari pendidikan strata 1 jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tapi kecelakaan sepeda motor yang ditumpangi ayahnya, ibunya, dan adik pertamanya membuat Wina sibuk di rumah sakit. Ayahnya selamat, tapi sudah lebih dari 4 bulan terbaring koma. Adik per