Dirga membanting pintu ruangannya dengan emosi yang siap meledak. Melemparkan kantong plastik berisi aneka snack di atas sofa panjang. Buru-buru ia membuka kancing kemeja dan segera membersihkan diri di washtafle.
Beruntung ia masih menyimpan baju cadangan di loker, jadi tidak perlu repot balik lagi ke apartement-nya. Andai sebentar lagi tidak ada jadwal operasi, ia lebih memilih untuk segera mengejar si Bocah SMP yang sudah dua kali menipunya terang-terangan. Dan bodohnya, dia selalu tertipu.
Selesai berganti pakaian, Dirga menatap wajahnya di cermin cukup lama. Ia membasuh mukanya untuk meredam amarah. Memang sih, uang yang dilepaskan bukanlah jumlah yang besar, tapi caranya itu, lho. Dirga tidak habis fikir, kok bisa ada anak kecil otaknya selicik itu?
Ting!
Pesan dari senior sekaligus dosennya yang dari tadi meminta untuk menggantikan operasinya bersama anak-anak koas membuat Dirga sedikit menurunkan amarahnya. Proffesor Riko—dokter spesialis bedah—itu memang sudah tidak sekuat dulu. Namun mendekati masa pensiunnya, beliau masih bersedia membagikan ilmunya kepada calon-calon dokter spesialis.
Tapi karena itu, para dokter residen harus siap menjadi “pemain cadangan” ketika beliau sudah terlalu lelah. Ya, salah satunya Dirga ini. Jadi mau tidak mau, meski saatnya istirahat, demi mendapatkan nilai yang memuaskan dan cepat selesai masa residennya.
Huft. Nasib dokter residen, kerja lembur bagai kuda.
***
Operasi kali ini memang hanya operasi kecil, tapi tenaganya sudah habis setelah seharian bertugas di IGD. Selain karena titah sang Professor, alasan lain adalah seseorang yang kini ada di depannya.
“Hai Dokter Dirga. Kirain udah pulang,” sapanya halus.
“Hai juga Dokter Sheryl. Harusnya iya. Tapi harus menggantikan Professor Riko operasi usus buntu,” jawabnya dengan wajah berbinar.
“Gak heran ya, kamu jadi anak emasnya Proffessor Riko. Oh ya, Sudah makan malam?” tanya Sheryl ketika anak-anak koas yang tadi bersama Dirga pamit satu persatu.
“Su—“
“Kebetulan aku mau cari makan, nih. Mau ikut sekalian?”
“M-mau banget!”
Bodo amat, meski tadi ayam penyet sudah mengisi perutnya.
***
Sheryl sama seperti Dirga, masih menjadi dokter residen. Namun dokter cantik ini mengambil spesialis kandungan. Sheryl merupakan pribadi yang menyenangkan, sikapnya sungguh dewasa.
Selain cantik, ia juga pintar dan sangat anggun. Tutur katanya selalu lembut, dan mudah mengalah dengan orang lain. Ia juga dekat dengan keluarga Hermanto sejak kecil karena kakeknya merupakan teman dari kakeknya Dirga.
Tubuhnya sangat ideal, slim, tingginya hampir 170 cm, dan kulitnya putih cerah. Wajahnya juga sangat cantik dengan mata indah yang dibingkai bulu mata lentik alami dan alis yang membentuk sempurna. Hidungnya juga sangat runcing, bibirnya yang tipis sangat cocok dengan bentuk wajahnya yang oval.
Dari kecil Dirga, Sheryl, dan Rizal memang selalu bersama. Mulai dari sekolah sampai pergi bermain. Dirga sangat kagum dan sayang pada Sheryl. Tapi ketika ia mengetahui Rizal juga mencintai Sheryl, ia ragu untuk mengatakannya dan memilih untuk memendamnya selama bertahun-tahun.
Bagaimana ia tidak jatuh cinta, jika Sheryl saja sangat perhatian pada Dirga. Tutur katanya selalu menenangkan Dirga yang sedang gundah, tidak seperti...
Apa?
Si bocah SMP licik?! Langkah Dirga terhenti tepat di drop off rumah sakit kala melihat musuh kecilnya di taman rumah sakit sambil makan es krim. Sekali lagi MAKAN ES KRIM!
Baru Dirga merasa senang setelah tadi malam makan bersama Sheryl, tapi pagi ini ia justru harus melihat orang yang semalam bikin gedeg.
Wina menjilati es krim sambil tersenyum, berbanding terbalik dengan Dirga yang menampilkan wajah penuh amarah. Apalagi ketika melihat Wina merogoh kantong dan mengeluarkan uang 100 ribuan lecek yang ia yakini sebagai uang rampasan dari korban lainnya.
Dengan langkah tergesa-gesa, Dirga menghampiri Wina yang duduk di bangku taman di bawah pohon rindang.
“Sekarang siapa lagi korban penipuan kamu?” Tanya Dirga begitu berdiri tepat di depan Wina.
“Sekarang siapa lagi korban penipuan kamu?” Tanya Dirga begitu berdiri tepat di depan Wina. Perasaan tadi aku udah menghindar, kenapa ketemu lagi sih? Gerutu Wina dalam hati. Iya, sebenarnya tadi Wina sudah melihat Dirga di loby rumah sakit, dan untuk menghindarinya Wina buru-buru lari ke taman. Ia merasa belum siap ketemu Dirga karena belum menyusun strategi untuk melakukan misi. Bahkan detail data diri Dirga sebagai amunisi saja belum Wina dapatkan dari Rizal. Jadi untuk sementara ia harus terus berpura-pura untuk jadi si Bocah SMP. “Kenapa diem aja?! Apapun keadaannya, perbuatan kamu itu tetap tidak bisa dibenarkan!” Mereka saling menatap dalam diam. Dirga yang menunggu jawaban, dan Wina yang tidak ingin menjawab. Kebetulan keadaan di taman lumayan ramai dengan orang-orang yang sedang menikmati matahari pagi. Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk Wina lari dari keadaan ini. Masa harus kaya gitu si? “eeeee...” “Kenapa? Gak bisa jawab kan?!” Hardik Dirga tak sabar menunggu jawa
Tin! Tin! Wina menoleh pada mobil berwarna silver yang berhenti tepat di depannya. Saat ini Wina berada di parkiran rumah sakit. Menunggu ‘Om Dokter Cerobong Asap’ sesuai perjanjian kemarin. Sebenarnya Wina sedikit deg-degan. Bagaimana tidak, hari ini—atau mulai hari ini—ia harus bisa berpura-pura menjadi anak SMP. Tangan Wina sibuk memilin tali tas kecil yang ia selempangkan di bahu kirinya. Bibirnya terus begumam lirih mengucapkan: “Aku anak SMP, anak SMP, anak SMP—” Tiiiiin! Gumamannya berhenti, berganti gerutuan. “Apaan sih berisik banget,” gerutunya lirih. Kemudian ia menggerakkan kepalanya ke kanan, kiri, dan sekitarnya. Memastikan tidak ada orang lain di dekatnya. Wina pikir, titik dimana ia menegakkan kaki bukanlah tempat yang mengganggu lalu-lalang kendaraan. Aah, apa itu adalah taksi online? Tapi aku kan gak order, batinnya. Tin, tin, tiiiiiin! Lagi-lagi suara klakson mobil silver itu membuatnya kesal. Tak hanya berkali-kali, kali ini suaranya juga semakin memekakkan
“Kamu sekolah di SMP mana?” ... “A-ada deh, disana. Jauh. Om Dokter gak bakalan tahu,” jawab Wina asal. “Om, puter musik dong!” Pinta Wina untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi sayang, laki-laki yang memegang kemudi itu tetap diam saja. Wina melirik, memilih ikut menutup mulut sambil menikmati angin dari jendela mobil. Sepanjang perjalanan, suasana menjadi sangat hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang tidak seberapa berisiknya. Meski bibir sama-sama terkatup, tapi isi kepala mereka sama-sama berkelana. Sampai-sampai Wina senyum-senyum sendiri mengingat apa yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Selain dengan mengubah gaya berpakaiannya, Wina saat ini mencoba mendalami peran dengan menata rambutnya seperti anak-anak. Sungguh, kepang dua sedikit ribet menurutnya. Tapi kayaknya udah gaya bocah banget nih, akunya sambil mematut dirinya di kaca spion tengah mobil. Tingkahnya tersebut sukses menarik atensi Dirga. Di matanya, Wina benar-benar terlihat layaknya bocil yang beranjak
Wina duduk di cafe tempat perjanjiannya dengan Rizal. Tapi sudah hampir habis 2 gelas jus jambu, seseorang yang membuat janji belum juga menampakkan wujudnya. Hingga seorang waitress menghampirinya. Wina pikir ia akan diusir karena sedari tadi hanya memesan minuman dengan harga paling murah saja. “Maaf, Kak. Pak Dwi menunggu di dalam,” tutur waitres itu lembut. Wina malah bingung, karena merasa tidak mengenal nama tersebut. “Sepertinya salah orang deh, Kak. Soalnya saya janjiannya sama Rizal. Orangnya udah booking meja ini, kok.” Waitress dengan name tag ‘Karin’ itu tersenyum, “Pak Dwi sama Pak Rizal itu satu orang, Kak.” Oh, iya. Wina baru ingat kalau nama lengkap Dokter Rizal itu Rizal Dwi Hermanto. Wina meringis. Jadi malu’kan? Kemudian Wina mengikuti Karin ke dalam. Melewati area staff, lalu naik ke lantai dua. “Silakan, Kak!” Ucap sang waitress ketika sudah berada di depan pintu bertuliskan ‘DILARANG MASUK’. *** Berkat tulisan yang menggantung di daun pintu dan desain pint
Flashback Isi Paket Datang Setelah membalas pesan dari Rizal, Wina mengedarkan pandangan sekitarnya memastikan si empunya rumah belum keluar kamar. Kemudian ia mendekati kotak paket, memastikan tadi tidak salah baca. SEX TOYS Begitu isi paket yang tertulis di kolom deskripsi barang. Sungguh Wina tidak menduga. Dari tampangnya, Dirga seperti orang yang lempeng-lempeng saja. Masih belum percaya, Wina pun membaca nama penerima paket. Memang tidak salah kok. Itu nama Dirga, si Dokter Cerobong Asap yang ia kenal. “Paket apaan, sih?!” Wina hampir saja berteriak kaget mendengar suara Dirga yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya. “Perasaan tidak pesan apa-apa,” ucap Dirga. Tapi tak urung ia meraih paket yang tergeletak di atas meja ruang tamu. “Astaga!” Teriak Dirga langsung melempar kardus begitu membaca deskripsi barangnya. “Ka-kamu udah lihat?” tanya Dirga was-was. Dalam hati ia berdoa semoga ART dadakannya ini belum membaca. Andai sudah membaca, ia berharap asistennya yang masih
Hari ini Wina datang ke apartemen Dirga lebih pagi dari kemarin. Ia sudah diberitahu password apartemen, jadi ia bisa masuk meski si empunya masih di rumah sakit. Tangan Wina sibuk memasak nasi goreng untuk sarapan, tapi batinnya tengah berkecamuk. Ia merasa takut jika harus di dekat Dirga. Tapi hanya dengan berada di sekitar Dirga lah ia bisa melancarkan misinya. Kemarin sebenarnya Wina sudah ingin mundur menjadi asisten Dirga. Namun Rizal melarangnya dengan iming-iming pekerjaan di cafe tempat mereka bertemu. Rizal bahkan menjanjikan akan memberikan kebebasan pada Wina terkait jam kerjanya. Wina jadi ragu. “Lagi masak apa, Cil?” “Kambing!” Wina melonjak kaget mendengar pertanyaan Dirga. Pasalnya ia bahkan tidak sadar kapan Dirga masuk. “Haha, lagi masak kambing apa ngatain aku kambing, Cil?” ledek Dirga. “Kapan masuknya sih. Kok aku gak denger?” tanya Wina mengabaikan pertanyaan majikannya. “Baru saja,” jawab Dirga sambil meletakkan tasnya di meja mini bar lalu menyusul Wina
Wina pikir setelah lari, ia bisa langsung ke apartemen untuk melanjutkan pekerjaannya. Tapi ternyata Dirga menyeretnya ke sebuah outlet perlengkapan olahraga yang baru saja dibuka. Tak hanya kesal, Wina juga malu. Bayangkan saja, dia dipaksa ikut meski tubuhnya masih banjir keringat. Kan malu! Ya, butik khusus pakaian dalam dan serba-serbi wanita tadi hanya sebuah kesalahpahaman. Butik dan outlet itu letaknya bersebelahan. Pemilik butik dan outlet itu juga sepasang suami istri. Namun khusus minggu terakhir dalam setiap bulan, outlet akan buka lebih siang. Thank’s to Sheryl, Dirga jadi kenal dengan pemilik butik. Sehingga ia diizinkan untuk mengunjungi outlet lebih pagi. Tentunya dengan ditemani staff butik. “Sana pilih!” Perintahnya pada Wina. “Apa lagi sih, Om? Pekerjaan aku masih banyak, loh. Aku juga gak ada duit,” tolak Wina. Sungguh, sepatu disini harganya sangat tidak bersahabat. “Aku gak sepelit itu, Cil.” Ucap Dirga dengan mata menelusuri sepatu yang berjejer di rak sepat
“Ngapain lari?” Tentu saja Dirga bingung dengan tingkah Wina. Belum lagi ekspresinya yang seperti orang ketakutan.“Om, aku mo-mohon. Lepasin aku, ya. Ak—”Put your head on my shoulder...Alunan musik dari lagu lawas berjudul Put Your Head On My Shoulder yang dinyanyikan oleh Paul Anka menginterupsi ketegangan antara Dirga dan Wina. Keduanya menoleh ke arah pintu utama. Ternyata di depannya sudah berdiri seorang laki-laki bermata sipit berbadan atletis.Dia adalah Aldo, teman sekaligus sepupu Rizal.Put your lips next to mine, dear...Lagu yang dijadikan nada dering itu masih berbunyi dari ponsel Aldo. Mereka bertiga juga masih sama-sama mematung di ambang pintu masuk.“Iya, halo Mom...He’eh nanti Al janji kalau udah pulang kerja.”“Oke, Mom. Bye, love you.”Tut!Panggilan telepon pun terputus.“Emmm, tadinya aku mau ambil paket kemarin.” Ucap Aldo tanpa bergerak sedikitpun.“Tapi,” Aldo mulai canggung sendiri. Matanya melirik pada cemeti yang berada di tangan kanan Dirga, sementara t