Saat ini Wina sedang berada di minimarket untuk membeli beberapa camilan ringan. Lebih tepatnya camilan murah, sih. Ia sangat terkejut karena melihat Dirga—Target Misinya—sedang mengantri di kasir.
Winapun langsung bersembunyi di rak-rak jajan sambil mengawasi targetnya. Ia juga melihat si Dokter Cerobong Asap menenteng snack, lalu merogoh uang bergambar dua tokoh proklamator Indonesia. Memang sih, Wina juga ragu kalau sang dokter masih mengingatnya. Tapi untuk berjaga-jaga, ia bersembunyi dengan bergeser ke bagian mesin penyeduh kopi dan mie instan.
Lumayan deh buat hangat-hangat mie-nya.
Setelah beberapa menit Wina yakin Dirga sudah pergi, ia pun berniat untuk membayar di kasir. Tapi naas, mie instan dalam cup yang masih panas tumpah karena ia menabrak laki-laki di belakangnya.
“Oh, Shit!” teriak laki-laki yang tingginya 30 centi di atas Wina.
“Maaf-maaf,” ucap Wina dengan tangan sibuk membersihkan mie instan yang berserakan menempel di kemeja biru langit milik laki-laki kini sedang mengumpat lirih. Terdengar sangat kesal!
Wina yang awalnya merasa bersalah karena membuat baju mahalnya kotor, sekarang ia justru merasa takut begitu melihat ponsel keluaran baru di tangan laki-laki itu ikut terkena kuah mie yang masih panas.
Oh, noooo! Kalau rusak terus disuruh ganti, gimana ini? Batinnya panik.
Tapi sepertinya kesialannya belum berakhir. Begitu ia mendongak, justru mereka berdua yang kaget.
Ini’kan bocah SMP kemarin? Tanya Dirga dalam hati.
Melihat Dirga yang sepertinya mengingatnya, Wina semakin khawatir.
Sial!
“Kamu lagi?! Sekarang harus ganti rugi. Aku gak mau dikadalin lagi!” Dirga langsung teriak karena masih merasa kesal dengan tingkah ‘bocah SMP’ di depannya.
Orang-orang yang berada di minimarket juga mulai mendekati meraka karena mendengar teriakan Dirga. Ada beberapa yang bertanya ‘apa yang terjadi?’. Belum sempat menjawab pertanyaan orang-orang, Dirga dan pengunjung minimarket lainnya menatap heran ketika melihat Wina yang tiba-tiba menangis.
“Ma-maaf, tapi itu uang du-dua ratus uang terakhir aku, Om,” kata Wina terbata-bata dengan wajah penuh air mata.
Berbeda dengan Dirga yang kebingungan, para pengunjung minimarket justru merasa simpati kepada Wina.
“Adek kenapa, kok malah nangis?” Tanya salah satu Ibu-ibu yang menenteng keranjang belanja berisi minyak goreng dan sembako lainnya.
“O-om ini minta ganti rugi lagi, Bu. Tapi aku udah gak punya uang lagi,” jawab Wina dengan suara tersendat-sendat karena tangisnya.
Dirga langsung paham. Dia akan ditipu lagi! Dan untuk mencegah kesalahpahaman semakin berlanjut, Dirga membantah dengan tegas tuduhan Wina.
“Pak, Bu. Kalian jangan percaya sama bocah ini. Dia itu penipu, Pak, Bu.”
Wina semakin deg-degan. Ia tidak mau jika harus disuruh ganti rugi. Dan tiba-tiba otaknya memberikan sebuah ide. Sambil menahan diri agar tidak tesenyum penuh kemenangan. Wina kembali mengatur wajahnya menjadi bocil yang memelas.
“Aku punya buktinya kok, Pak, Bu. Di kantong celana Om ini ada uang merah 2 lembar. Itu uang ganti rugi yang diminta karena aku ngotorin bajunya.”
Bapak-Ibu pengunjung minimarket sontak menoleh ke arah kantong celana Dirga. Entah kenapa Dirga justru ikut reflek merogoh saku celanya. Ya emang ada uang 200 ribu di kantong tersebut. Tapi ’kan itu uang punya Dirga.
Tapi naas, tindakan Dirga justru menyelamatkan Wina dan membenarkan tuduhannya. Minimarket jadi ramai karena pengunjungnya berganti menuduh Dirga. Mengatainya memalak anak kecil.
“Padahal tadi kesini naik mobil. Tapi uang segitu saja minta dari anak kecil.” Ucap salah satu bapak-bapak yang menggendong anak perempuan. Dan ramai lagi ucapan-ucapan buruk yang dituduhkan untuk Dirga.
Mendengar itu semua, Wina menyembunyikan wajah sumringahnya di balik tangannya. Ia benar-benar mengucap syukur dalam hati.
Sedangkan Dirga benar-benar menyumpah serapah dalam hati.
Sialan!
Dirga membanting pintu ruangannya dengan emosi yang siap meledak. Melemparkan kantong plastik berisi aneka snack di atas sofa panjang. Buru-buru ia membuka kancing kemeja dan segera membersihkan diri di washtafle. Beruntung ia masih menyimpan baju cadangan di loker, jadi tidak perlu repot balik lagi ke apartement-nya. Andai sebentar lagi tidak ada jadwal operasi, ia lebih memilih untuk segera mengejar si Bocah SMP yang sudah dua kali menipunya terang-terangan. Dan bodohnya, dia selalu tertipu. Selesai berganti pakaian, Dirga menatap wajahnya di cermin cukup lama. Ia membasuh mukanya untuk meredam amarah. Memang sih, uang yang dilepaskan bukanlah jumlah yang besar, tapi caranya itu, lho. Dirga tidak habis fikir, kok bisa ada anak kecil otaknya selicik itu? Ting! Pesan dari senior sekaligus dosennya yang dari tadi meminta untuk menggantikan operasinya bersama anak-anak koas membuat Dirga sedikit menurunkan amarahnya. Proffesor Riko—dokter spesialis bedah—itu memang sudah tidak sekuat
“Sekarang siapa lagi korban penipuan kamu?” Tanya Dirga begitu berdiri tepat di depan Wina. Perasaan tadi aku udah menghindar, kenapa ketemu lagi sih? Gerutu Wina dalam hati. Iya, sebenarnya tadi Wina sudah melihat Dirga di loby rumah sakit, dan untuk menghindarinya Wina buru-buru lari ke taman. Ia merasa belum siap ketemu Dirga karena belum menyusun strategi untuk melakukan misi. Bahkan detail data diri Dirga sebagai amunisi saja belum Wina dapatkan dari Rizal. Jadi untuk sementara ia harus terus berpura-pura untuk jadi si Bocah SMP. “Kenapa diem aja?! Apapun keadaannya, perbuatan kamu itu tetap tidak bisa dibenarkan!” Mereka saling menatap dalam diam. Dirga yang menunggu jawaban, dan Wina yang tidak ingin menjawab. Kebetulan keadaan di taman lumayan ramai dengan orang-orang yang sedang menikmati matahari pagi. Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk Wina lari dari keadaan ini. Masa harus kaya gitu si? “eeeee...” “Kenapa? Gak bisa jawab kan?!” Hardik Dirga tak sabar menunggu jawa
Tin! Tin! Wina menoleh pada mobil berwarna silver yang berhenti tepat di depannya. Saat ini Wina berada di parkiran rumah sakit. Menunggu ‘Om Dokter Cerobong Asap’ sesuai perjanjian kemarin. Sebenarnya Wina sedikit deg-degan. Bagaimana tidak, hari ini—atau mulai hari ini—ia harus bisa berpura-pura menjadi anak SMP. Tangan Wina sibuk memilin tali tas kecil yang ia selempangkan di bahu kirinya. Bibirnya terus begumam lirih mengucapkan: “Aku anak SMP, anak SMP, anak SMP—” Tiiiiin! Gumamannya berhenti, berganti gerutuan. “Apaan sih berisik banget,” gerutunya lirih. Kemudian ia menggerakkan kepalanya ke kanan, kiri, dan sekitarnya. Memastikan tidak ada orang lain di dekatnya. Wina pikir, titik dimana ia menegakkan kaki bukanlah tempat yang mengganggu lalu-lalang kendaraan. Aah, apa itu adalah taksi online? Tapi aku kan gak order, batinnya. Tin, tin, tiiiiiin! Lagi-lagi suara klakson mobil silver itu membuatnya kesal. Tak hanya berkali-kali, kali ini suaranya juga semakin memekakkan
“Kamu sekolah di SMP mana?” ... “A-ada deh, disana. Jauh. Om Dokter gak bakalan tahu,” jawab Wina asal. “Om, puter musik dong!” Pinta Wina untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi sayang, laki-laki yang memegang kemudi itu tetap diam saja. Wina melirik, memilih ikut menutup mulut sambil menikmati angin dari jendela mobil. Sepanjang perjalanan, suasana menjadi sangat hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang tidak seberapa berisiknya. Meski bibir sama-sama terkatup, tapi isi kepala mereka sama-sama berkelana. Sampai-sampai Wina senyum-senyum sendiri mengingat apa yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Selain dengan mengubah gaya berpakaiannya, Wina saat ini mencoba mendalami peran dengan menata rambutnya seperti anak-anak. Sungguh, kepang dua sedikit ribet menurutnya. Tapi kayaknya udah gaya bocah banget nih, akunya sambil mematut dirinya di kaca spion tengah mobil. Tingkahnya tersebut sukses menarik atensi Dirga. Di matanya, Wina benar-benar terlihat layaknya bocil yang beranjak
Wina duduk di cafe tempat perjanjiannya dengan Rizal. Tapi sudah hampir habis 2 gelas jus jambu, seseorang yang membuat janji belum juga menampakkan wujudnya. Hingga seorang waitress menghampirinya. Wina pikir ia akan diusir karena sedari tadi hanya memesan minuman dengan harga paling murah saja. “Maaf, Kak. Pak Dwi menunggu di dalam,” tutur waitres itu lembut. Wina malah bingung, karena merasa tidak mengenal nama tersebut. “Sepertinya salah orang deh, Kak. Soalnya saya janjiannya sama Rizal. Orangnya udah booking meja ini, kok.” Waitress dengan name tag ‘Karin’ itu tersenyum, “Pak Dwi sama Pak Rizal itu satu orang, Kak.” Oh, iya. Wina baru ingat kalau nama lengkap Dokter Rizal itu Rizal Dwi Hermanto. Wina meringis. Jadi malu’kan? Kemudian Wina mengikuti Karin ke dalam. Melewati area staff, lalu naik ke lantai dua. “Silakan, Kak!” Ucap sang waitress ketika sudah berada di depan pintu bertuliskan ‘DILARANG MASUK’. *** Berkat tulisan yang menggantung di daun pintu dan desain pint
Flashback Isi Paket Datang Setelah membalas pesan dari Rizal, Wina mengedarkan pandangan sekitarnya memastikan si empunya rumah belum keluar kamar. Kemudian ia mendekati kotak paket, memastikan tadi tidak salah baca. SEX TOYS Begitu isi paket yang tertulis di kolom deskripsi barang. Sungguh Wina tidak menduga. Dari tampangnya, Dirga seperti orang yang lempeng-lempeng saja. Masih belum percaya, Wina pun membaca nama penerima paket. Memang tidak salah kok. Itu nama Dirga, si Dokter Cerobong Asap yang ia kenal. “Paket apaan, sih?!” Wina hampir saja berteriak kaget mendengar suara Dirga yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya. “Perasaan tidak pesan apa-apa,” ucap Dirga. Tapi tak urung ia meraih paket yang tergeletak di atas meja ruang tamu. “Astaga!” Teriak Dirga langsung melempar kardus begitu membaca deskripsi barangnya. “Ka-kamu udah lihat?” tanya Dirga was-was. Dalam hati ia berdoa semoga ART dadakannya ini belum membaca. Andai sudah membaca, ia berharap asistennya yang masih
Hari ini Wina datang ke apartemen Dirga lebih pagi dari kemarin. Ia sudah diberitahu password apartemen, jadi ia bisa masuk meski si empunya masih di rumah sakit. Tangan Wina sibuk memasak nasi goreng untuk sarapan, tapi batinnya tengah berkecamuk. Ia merasa takut jika harus di dekat Dirga. Tapi hanya dengan berada di sekitar Dirga lah ia bisa melancarkan misinya. Kemarin sebenarnya Wina sudah ingin mundur menjadi asisten Dirga. Namun Rizal melarangnya dengan iming-iming pekerjaan di cafe tempat mereka bertemu. Rizal bahkan menjanjikan akan memberikan kebebasan pada Wina terkait jam kerjanya. Wina jadi ragu. “Lagi masak apa, Cil?” “Kambing!” Wina melonjak kaget mendengar pertanyaan Dirga. Pasalnya ia bahkan tidak sadar kapan Dirga masuk. “Haha, lagi masak kambing apa ngatain aku kambing, Cil?” ledek Dirga. “Kapan masuknya sih. Kok aku gak denger?” tanya Wina mengabaikan pertanyaan majikannya. “Baru saja,” jawab Dirga sambil meletakkan tasnya di meja mini bar lalu menyusul Wina
Wina pikir setelah lari, ia bisa langsung ke apartemen untuk melanjutkan pekerjaannya. Tapi ternyata Dirga menyeretnya ke sebuah outlet perlengkapan olahraga yang baru saja dibuka. Tak hanya kesal, Wina juga malu. Bayangkan saja, dia dipaksa ikut meski tubuhnya masih banjir keringat. Kan malu! Ya, butik khusus pakaian dalam dan serba-serbi wanita tadi hanya sebuah kesalahpahaman. Butik dan outlet itu letaknya bersebelahan. Pemilik butik dan outlet itu juga sepasang suami istri. Namun khusus minggu terakhir dalam setiap bulan, outlet akan buka lebih siang. Thank’s to Sheryl, Dirga jadi kenal dengan pemilik butik. Sehingga ia diizinkan untuk mengunjungi outlet lebih pagi. Tentunya dengan ditemani staff butik. “Sana pilih!” Perintahnya pada Wina. “Apa lagi sih, Om? Pekerjaan aku masih banyak, loh. Aku juga gak ada duit,” tolak Wina. Sungguh, sepatu disini harganya sangat tidak bersahabat. “Aku gak sepelit itu, Cil.” Ucap Dirga dengan mata menelusuri sepatu yang berjejer di rak sepat